PEKANBARU, GORIAU.COM -cSeperti kabut asap dampak dari kebakaran lahan hutan, korupsi "mengerogoti" setiap sendi-sendi perekonomian masyarakat. Layaknya bencana banjir yang merendam ribuan rumah dan memakan korban, para koruptor seakan tak ada matinya. Menjamur bagai kutu air yang merusak kulit, namun lebih parah dibandingkan AIDS yang mematikan.

Cuaca mendung di awal pekan kedua pada Desember kelabu tidak menyurutkan semangat puluhan aktivis dari berbagai elemen masyarakat untuk memperingati Hari Anti Korupsi. Sebagian kelompok beraksi di depan pintu gerbang Markas Polda Riau, sementara sebagian lagi berusaha mendobrak pintu utama kantor gubernur yang terledak nyaris saling berhadapan.

Namun sekelompok lainnya seakan tak peduli atas peringatan hari dimana seharusnya kaum koruptor mendapat pembencian yang menyakitkan. Kalangan ini juga berunjuk rasa, hanya saja memiliki alasan yang lebih simple, untuk sebatas perut dan tak lebih atau dilebih-lebihkan hingga dibawah perut.

Secara kebetulan, mereka juga "menyerang" Kantor Gubernur Riau di Pekanbaru, menuntut penaikan upah seperti yang dijanjikan sang penguasa sejak lama. Tapi jika ditotalkan, tidak sedikit pula uang yang mereka tuntut. Nilainya mencapai Rp1,6 triliun dan itu dianggap sebagai hutang pemerintah daerah yang gagal dilunasi hingga mendatangkan "bunga-bunga" keganasan.

Buruh merasa diperkosa hingga menderita, meski sebenarnya gaji mereka jauh lebih lumayan dibanding dengan para pemotret kehidupan manusia. Para aktivis buruh menyatakan, bahwa tunggakan gaji tersebut seharusnya telah diterima oleh sekitar 19.000 buruh sektor migas setelah ditetapkan kenaikan sebesar Rp720 ribu atau 47 persen Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) sektor migas tahun 2013. Jumlah sebesar itu merupakan rapel selama enam bulan sejak Januari yang belum dibayarkan kontraktor kepada buruh mitra kerja.

Janji tak terlunasi, karena sejak beberapa bulan silam, sang gubernur selakupengambil keputusan dan kebijakan telah disibukkan dengan urusan yang lebih menyengsarakan masyarakat. Dia dituduh terlibat skandal korupsi besar-besaran, hingga harus mendekam di dalam sel sampai masa jabatannya sebagai gubernur pun "tanggal" dipenghujung usia.

Gantung Koruptor

Jika demikian, sungguh berkaitan antara buruh yang merasa "teraniaya" dengan para aktivis dalam memperjuangan hak-hak rakyat yang telah dirampas para koruptor. Sebagian kelompok itu, membentangkan spandung, meminta agar aparat penegak hukum menggantung sang gubernur jika terbukti bersalah,karena merampas uang rakyat.

Sebuah pernyataan yang terlalu dibesar-besarkan, karena sampai saat ini tidak ada satu pasal pun pada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan pelaku bisa di hukum gantung.

Agaknya, itu hanya bisa terjadi jika mereka (para pelaku korupsi) merelakan diri untuk mengikatkan leher di tiang gantungan, layaknya janji sang Annas Urbaningrum.

Desember kelabu, peringatan Hari Anti Korupsi diberangi dengan bencana banjir di Kota Pekanbaru. Ribuan rumah terendam dan ratusan keluarga terpaksa mengungsi, pululan bocah mengalami gatal-gatal dan demam.

Bayangan itu nyaris menyamai ungkapan duka para korban-korban koruptor. Terendam dalam kepedihan, terungsikan dari kemampuan ekonomi, dan gatal ketika melihat para perampas terus saja menindas. "Riau Dalam Bencana Korupsi" adalah judul dari aksi unjuk rasa oleh kaum Forum Riau Anti Korupsi (Forak) dalam memperingati hari "pembencian" kali ini.

Beberapa aktivis mengenakan topeng, menutup wajah memancing opini ; "koruptor itu memalukan, layaknya topeng monyet yang selalu menari dan merampas ketika liar."

Para aktivis beranggapan, Riau saat ini tengah dalam bencana korupsi yang luar biasa. Tidak luput satu kabupaten atau kota pun dari perkara yang menyengsarakan rakyat itu. "Hasil monitoring menyimpulkan, trend korupsi yang selalu terjadi berupa korupsi perizinan sektor kehutanan dan korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di 12 kabupaten/kota dan di Pemerintah Provinsi Riau," kata Suyeni selaku koordinator lapangan dalam unjuk rasa itu, Senin siang (9/12).

Forak merupakan gabungan dari sejumlah organisasi mahasiswa dan LSM di Riau yang terdiri dari Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Riau Corruption Trial (RCT), serta Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Riau dan BEM Universitas Islam Negeri (UIN).

Dalam sepuluh tahun terakhir (2004-2013), menunjukkan adanya fenomena besar selalu melanda Riau. Hasil monitoring yang dilakukan Indonesian Corruption Watch (ICW) dan sejumlah aktivis dari LSM lainnya, di Riau setidaknya ada dua kasus korupsi besar.

Pertama terkait perkembangan penanganan kasus korupsi yang masuk dalam koordinasi dan supervisi (korsup) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Polda Riau dan Kejaksaan Tinggi setempat.

Kedua, kata dia, yakni terkait perkembangan penanganan kasus korupsi yang ditangani oleh Polda dan Kejati Riau.

Catatan monitoring sejumlah LSM itu menurut dia menunjukkan, bahwa selama periode 2004-2013, total ada 55 kasus korupsi yang ditangani oleh Kejati Riau dan Polda Riau. Dengan rincian, ada sekitar 51 kasus yang ditangani Kejati Riau, dan hanya empat perkara berada di Polda Riau.

Sementara khususnya untuk perkara korupsi yang ditangani oleh KPK, ada sebanyak 20 kasus, dengan demikian, secara keseluruhan ada 75 kasus yang ditangani oleh tiga lembaga itu.

Korupsi Terbesar

Satu contoh kasus korupsi terbesar yang telah mendatangkan kerugian triliunan rupiah di Riau adalah perkara perizinan ilegal kehutanan di Kabupaten Pelalawan dan Siak.

Miris, Jaringan Kerja Penyelamatan Hutan Riau (Jikalahari) menyebutkan kasus korupsi kehutanan di dua kabupaten itu telah menjerat enam pejabat setingkat kepala dinas dan bupati serta gubernur.

Jelasnya, ada dua bupati atau mantan bupati yang terbukti terlibat dan telah dihukum. Kemudian juga ada tiga kepala dinas kehutanan yang juga menjadi terpidana. Sementara untuk mantan Gubernur Riau (HM Rusli Zainal) saat ini masih dalam proses persidangan di Pengadilan Tipikor Pekanbaru. Untuk dua mantan bupati yang telah terbukti terlibat adalah Arwin AS selaku mantan Bupati Siak, kemudian Tengku Azmun Jaafar selaku mantan Bupati Pelalawan.

Sementara itu, tiga mantan Kepala Dinas Kehutanan Riau yang juga dihukum atas perkara yang sama masing-masing adalah Burhanuddin Husin, Syuhada Tasman, dan Asral Rahman.

Untuk mantan Gubernur Riau, HM Rusli Zainal, sampai saat ini masih terus menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Pekanbaru terkait perkara yang sama. Dalam dakwaan Jaksa Penuntut dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan Rusli Zainal disangkakan telah mengakibatkan negara dirugikan Rp265 miliar.

Jikalahari menyatakan korupsi sektor kehutanan telah menguntungkan 20 perusahaan (korporasi) tanaman industri senilai hampir Rp3 triliun yang terjadi di Kabupaten Pelalawan dan Siak.

Sementara itu, sebelumnya Indonesia Corruption Watch (ICW) juga menduga PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) telah mendatangkan kerugian bagi negara sebesar Rp939,29 miliar dari kasus penyalahgunaan izin kehutanan di Provinsi Riau.

Kesehatan Murah

Yang lebih menyakitkan lagi, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran membcorkan bahwa biaya obat-obatan masyarakat miskin di Riau tidak lebih mahal dari harga lima unit mobil tiga pejabat tertinggi di pemerintah provinsi ini. "Pemprov Riau telah memboroskan anggaran untuk tiga orang pejabat di tahun 2013 yakni sebesar Rp9,4 miliar yang dilaksanakan oleh Biro Perlengkapan," kata Usman, selaku Koordinator Fitra Riau dalam surat tertulisnya.

Dana sebesar itu menurut dia, merupakan pemborosan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2013 karena hanya untuk pembelian lima unit mobil dinas gubernur, wakil gubernur dan Sekretaris Daerah Riau.

Fitra mencatat, untuk mobil Gubernur Riau 2013 ada dua unit yakni satu jenis (merk) Jeep seharga Rp2,6 miliar dan satu jenis sedan seharga Rp1,65 miiar. Kemudian untuk Wakil Gubernur Riau, juga satu mobil jenis jeep seharga Rp2,6 miliar dan sedan seharga Rp1,65 miliar.

Selanjutnya ada juga satu unit mobil sedan seharga Rp829,4 juta yang dialokasikan untuk Sekretaris Daerah Provinsi Riau. Jika ditotalkan, kata dia, jumlahnya mencapai Rp9,4 miliar dan semunya bersumber dari dana APBD 2013.

Terkait itu, menurut Usman, Pemprov Riau telah melakukan pemborosan yang luar biasa karena jika dibandingkan dengan anggaran yang dialokasikan untuk obat-obatan masyarakat miskin, sangat jauh berbedaannya.

Fitra meriliskan, bahwa untuk anggaran obat-obatan bagi masyarakat miskin, Pemprov Riau hanya mengalokasikan sekitar Rp6 miliar dari APBD 2013. Sungguh kondisi yang miris.

Hentikan pemerkosaan ini. Riau membutuhkan pemimpin yang komitmen memberantas korupsi dan berani memerangi koruptor. Atau, membiarkan si miskin semakin sengsara, terendam banjir dan terseret arus hingga meluapkan amarah jauh lebih ganas ketimbang demonstrasi buruh yang menuntut penaikan upah.

Selamat Hari Anti Korupsi !(fzr)