SAYA masih ingat, saat mengikuti kampanye politik pada tahun 1998, salah satu partai politik terbesar yang ada membopong kami untuk ikut memeriahkan kampanye politik pasangan salah satu calon gubernur Riau waktu itu. Dengan menggunakan beberapa unit mobil yang telah disediakan, ratusan simpatisan diangkut menuju pelataran di seputaran Rumbai, tepatnya di depan Sation Rumbai sekarang. Cukup meriah, karena acara itu dihibur artis dari ibukota serta ditambah hiburan lain, yang tentunya menelan biaya yang lumayan besar.

Keikutsertaan saya dan ratusan warga disebabkan kepandaian tim-tim sukses yang berada di PAC dalam membujuk serta mengiming-imingi dengan hadiah. Ironisnya, hanya dengan sepasang kaos, yang berlambangkan partai ditambah sedikit uang makan, ratusan warga bahkan ada ribuan warga rela meninggalkan pekerjaan mereka demi untuk memeriahkan kampanye politik calon Gubernur yang note benenya sama sekali tidak mereka kenal.

Saat itu, masyarakat hanya tahu jika ada suatu partai politik datang mengunjungi tempat mereka dan memberikan sedikit bantuan maka pastinya dukungan akan berpihak kepada partai tersebut.

Seiring perjalanan waktu, partai-partai politik kian bermunculan, sebagai pemilih, rakyat menjadi sasaran bujuk rayu dan iming-iming yang mungkin tidak seberapa. Lebih parahnya lagi, demi untuk mendapatkan dukungan, sebagian calon sanggup menjanjikan sesuatu yang besar jika nanti ia terpilih. Namun apa yang terjadi, setelah duduk di singgasana, janji tinggalah janji, tidak ada realisasi.

Bukan hanya sekali dua, rakyat dibuat kecewa, pemimpin yang menjadi harapan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan malah telah lupa dengan asalnya. Jangankan untuk menepati janji janji saat kampanye, aspirasi masyarakat yang ada didepan mata tidak juga ditanggapi. Akibatnya, masayarakat tidak lagi mau percaya dengan janji-janji, jika tidak ada uang maka tidak ada dukungan, bahkan jika diberi uang malah golput yang menjadi pilihan.

Sebagai contoh pada kasus pemilihan calon legeslatif di kota Dumai pada tahun 2008 silam, di berbagai media massa saat itu juga menulis kisah ini. Salah seorang tim sukses dari Caleg tertentu menjanjikan bantuan penerangan listrik kepada warga, asal memilih calon yang diusulkan. Karena memang membutuhkan penerangan jalan, warga menyambut baik usulan itu dan menyetujui untuk menandatangi perjanjian secara tertulis. Tidak berapa lama kemudian, sekitar lima tiang listrik pun didirikan di seputaran rumah warga tersebut. Namun alangkah mengejutkan, disaat pemilihan ternyata dukungan suara di kawasan itu berpihak kepada calon yang lain. Kenapa bisa? Ternyata pagi hari sebelum pemilihan berlangsung, salah seorang tim sukses dari Caleg lainnya mengetuk pintu rumah warga dan membagikan amplop berisi uang Rp300 ribu dengan catatan warga harus memilih pasangan yang diinginkan.

Nah, kejadian ini sebagai contoh bahwasanya masyarakat sudah mulai tidak percaya kepada calon pemimpin di negeri ini. Pelajaran terdahululah yang telah merubah karakter seseorang menjadi lebih cerdik dalam menghadapi dunia politik. Beruntung masyarakat masih menggunakan hak suaranya, jika sampai Golput maka masyarakat benar benar tidak lagi peduli siapa pemimpin di negeri kita tercinta ini. Khusus di bumi Melayu, Lancang Kuning, dalam menghadapi pemilihan calon Gubernur Riau, 2013-2014 mendatang masyarakat diharapkan dapat menggunakan hak suaranya. Hendaknya masyarakat memilih pemimpin yang berpihak kepada masyarakat, pemimpin yang amanah serta pemimpin yang sehat rohani dan jasmaniahnya. ***Penulis adalah pemerhati masalah sosial politik, tinggal di Pekanbaru.