Oleh Qusthalani

MEA merupakan akronim dari Masyarakat Ekonomi ASEAN merupakan kesepakatan yang lahir di Bali tahun 2003 lalu, pada saat KTT ASEAN ke-9. Dengan berlakunya MEA, pasar produk kita tidak lagi sebatas 240 juta penduduk Indonesia, tetapi sudah 615 juta penduduk di 10 Negara ASEAN. Luasnya cakupan negara-negara ASEAN tersebut berdampak pada peningkatan ekonomi di beberapa negara yang telah menandatangani tersebut.

Namun perlu dipahami dengan cakupan yang luas maka akan berdampak pada persaingan bisnis dan ekonominya juga. Tenaga Kerja baik dibidang pendidikan maupun tidak merupakan salah satu kesepakatan dari lima hal penting yang akan diberlakukan secara globalisasi antar sesama negara ASEAN, yaitu (1) Barang, (2) Jasa, (3) Tenaga Kerja Terampil, (4) Modal, dan (5) Investasi. MEA dalam dunia pendidikan yaitu akan menjamurnya lembaga pendidikan asing, serta pasar tenaga kerja yang dibanjiri tenaga kerja asing.

Untuk itu era globalisasi se ASEAN, harus disambut oleh dunia pendidikan dengan cepat, agar sumber daya manusia Indonesia siap menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan negara-negara lain. Mengacu pada faktor penentu kemajuan suatu negara, yaitu ; penguasaan inovasi (45%), penguasaan jaringan/networking (25%), penguasaan teknologi (20%), dan kekayaan sumber daya alam hanya (10%). Pertanyaannya sejauhmana Indonesia sudah siap dengan keadaan yang demikian rupa.

Pendidikan bila dikaitkan dengan kecakapan hidup (life skills) lebih difokuskan pada sekolah dan sistem persekolahan, berangkat dari universalisasi yang terus meluas dan meningkat. Kecakapan hidup, paling utama kecakapan hidup sehari-hari (day to day life skills) semakin dirasakan pentingnya oleh kehidupan masing-masing personal dan kolektif yang sering kali berhadapan dengan fenomena kehidupan dengan berbagai persoalan pada tingkat pribadi, lokal, nasional, regional dan global.

Era yang semakin maju dan pesat ini harus dilalui oleh siapa saja yang hidup di abad XXI ini di dalamnya sarat dengan kompetisi yang pemenangnya sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Bagi bangsa Indonesia siap atau tidak siap harus masuk di dalamnya. Karena pada dasarnya menyiapkan sumber daya manusia yang handal menjadi kunci utama untuk memetik kemenangan pada era yang serba kompetisi ini.

Namun, kenyataan yang terjadi masih banyak lulusan SMK belum diterima di lapangan kerja yang ada. Lulusan SMK dengan keahlian tertentu selama pendidikan di sekolah 3 Tahun belum bisa apa-apa. Fenomena seperti ini jangan sampai bertolak belakang dengan harapan pemerintah dimana untuk mengurangi pengangguran, tetapi malah akan bertambahnya pengangguran.

Indra Djati (2003) menyebutkan terdapat kelemahan dalam pendidikan kejuruan model lama, yaitu (1) Penerapan pendekatan supply-driven, yaitu totalitas penyelenggaraan pendidikan kejuruan dilakukan secara sepihak; (2) Penerapan school-based model telah membuat anak didik tertinggal oleh kemajuan dunia usaha/industri; (3) Pendidikan berbasis sekolah tidak luwes.

Berdasarkan data Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan dan Menengah Depdiknas, ada sejumlah kendala yang muncul dalam penyelenggaraan uji kompetensi antara lain pemerintah hanya mampu menyediakan Rp 50.000,00 per siswa, terbatasnya infrastruktur yang dimiliki SMK untuk menjadi tempat uji kompetensi serta terbatasnya jumlah asesor yang dimiliki oleh tempat uji kompetensi. Bisa dikatakan model seperti ini akan menghasilkan lulusan SMK yang masih rendah life skill nya walaupun mereka sudah belajar selama 3 tahun.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) di atas didapatkan pengangguran  terbanyak ditemukan pada sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) umum (sekolah menengah atas/madrasah aliyah) ini mengindikasikan bahwa para lulusan SLTA belum  memiliki keahlian atau keterampilan yang dengan kebutuhan dunia Usaha dan dunia  industri (DUDI).

Sehingga, meskipun lapangan pekerjaan tersedia tetapi lulusan SLTA  Umum tidak bisa mengisi lowongan pekerjaan tersebut karenan rendahnya keahlian  yang diperoleh di sekolah. Juga didapatkan angka statistik yaitu  tingkat pengangguran  lulusan  SMK  berjumlah  847.052  orang, jumlah  tersebut tidaklah  sedikit  walaupun  tidak  sama jumlahnyan dengan angka  lulusan SLTA Umum. Sebenarnya  lulusan  SMK  diharapkan  bisa  langsung  terserap di DUDI karena pada pendidikan SMK sudah dibekali keahlian dan keterampilan, tapi kenyataannya belum memenuhi harapan yang dimaksud (BPS, 2013).

Kebijakan Revitalisasi SMK

Revitalisasi Sekolah Kejuruan merupakan sebuah kebijakan pemerintah di tahun 2016 untuk mengangkat kembali derajat dari sekolah kejuruan itu sendiri. Pemerintah juga memiliki tujuan mempercepat upaya revitalisasi pendidikan dan pelatihan vokasional dalam rangka meningkatkan kualitas tenaga kerja Indonesia agar lebih profesional guna menghadapi persaingan bebas, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Pemerintah melalui Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2016 telah menunjukkan itikad baik akan pentingnya output dari SMK yang ada di Indonesia untuk menghadapi era MEA tersebut. Sekolah yang menyiapakan siswanya memiliki lifeskill tersebut diharapkan mampu menjadikan Indonesia jadi negara produktif bukannya konsumtif.

Kebijakan ini dinilai sebagian kalangan agak terlambat, mengingat pembenahan SMK terutama dalam Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional tahun 2004-2009 mengenai bantuan penyediaan fasilitas praktek, penguatan kerjasama dengan dunia usaha atau industri, penyediaan lapangan pekerjaan bagi lulusannya, pelatihan dan penambahan guru bidang kejuruan, dst. sudah lama dilakukan namun karena sistemnya tidak terintegrasi dan tidak secara komprehensip, makap erkembangan SMK seakan jalan ditempat.

Ditambah lagi dengan adanya laporan dari World Economic Forum (WEF) tahun 2016 terutama masalah efesiensi pasar tenaga kerja di Indonesia yang jatuh diperingkat ke 108 dari 138 negara, menuntut pembenahan SMK terutama aspek lulusannya untuk siap bersaing di pasar regional, nasional bahkan internasional benar-benar perlu segera dilakukan secara serius dan fokus.

Namun, tidak ada kata terlambat apabila permasalahan akan persoalan tersebut sudah dapat diidentifikasi dan dicarikan solusinya. Dengan terbitnya Inpres tersebut merupakan langkah yang sangat tepat dan cepat untuk mengejar ketertinggalan persoalan menyiapkan SDM terutama dari lulusan SMK di Indonesia.

Inpres Revitalisasi SMK itu sendiri mengagendakan sejumlah tugas bagi kementerian dan lembaga terkait sesuai fungsinya. Di antaranya, membuat peta jalan pengembangan SMK, penyusunan proyeksi jenis kompetensi dan lokasi industri, penyempurnaan kurikulum, peningkatan pendidik dan tenaga kependidikan, dan kemudahan layanan pendidikan SMK serta SMK unggulan berbasis potensi daerah. Selain itu, revitalisasi Balai Latihan Kerja (BLK), kerja sama dengan pemda, kementerian atau lembaga, dan dunia usaha. Pengembangan bengkel kerja dan infrastruktur, kemudahan akses magang, kemudahan praktik kerja balai latihan kerja (BLK), peningkatan akses akreditasi SMK, sertifikasi, dan sebagainya.

Pemerintah memiliki harapan besar dengan terbitnya inpres revitalisasi SMK tersebut, tetapi perlu dipahami juga akan permasalahan SMK selama ini yang harus dibenahi bersama yaitu ketersediaannya pendidik produktif yang masih minim, SMK dinilai oleh banyak kalangan sebagai salah satu jenjang pendidikan tingkat menengah yang diorientasikan lulusannya supaya mudah bekerja. Namun menurut data statistik tahun 2015 jumlah lulusan SMK yang belum terserap di dunia usaha atau industri ternyata masih tergolong banyak. Bahkan dari total 7,56 juta total pengangguran terbuka, 20,76 % berpendidikan SMK (BPS, 2015). Selama ini pemerintah terlalu ambisius menjadikan lulusan SMK sejatinya untuk mudah bekerja di Dunia Usaha maupun Dunia Industri (DUDI), belum ada upaya untuk menjadikan lulusan SMK menjadi seorang entrepreneur sejati.

SMK sebagai lembaga vokasi dalam konteks global, setidaknya harus siap dengan perkembangan zaman. Perkembangan pertama dalam menghadapi peraturan global (regulation changes) dimana terjadi pergeseran terutama aspek ekonomi dari orientasi monopoli ke era kompetisi terbuka. Perkembangan kedua, terjadi perubahan orientasi pasar (market changes), yaitu dari pasar yang terproteksi ke pasar bebas atau dari pasar yang berorientasi produk ke arah pengendalian pasar (driven market). Terakhir yaitu perkembangan dalam perubahan teknologi (technological changes). Dalam hal ini SMK sebagai salah satu bagian dari instrumen pendidikan vokasi tingkat menengah mau tidak mau harus berorientasi pada penyesuaian tuntutan perkembangan tersebut.

Pentingnya School Entrepreneur

Hasil survei pada 2015 terhadap 460 perusahaan tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan  Sulawesi,  dengan beragam  bidang  usaha  dan  beragam  ukuran,  menunjukkan  bahwa pada  umumnya perusahaan cukup puas dengan lulusan SMK yang telah mereka rekrut meski tingkat keahliannya  belum  sesuai  dengan  kebutuhan  perusahaan.  Pendidikan  kejuruan  bertujuan  menyiapkan  generasi  muda  yang  siap  latih  untuk  memasuki  dunia  kerja  formal  sesuai  bidang keahlian yang dipelajarinya. Walaupun demikian kita jangan dulu terlalu puas, kemampuan kita masih dalam tahap bekerja bukan menciptakan lapangan kerja. Mindset kita masih dalam ranah mencari tempat bekerja yang masih terbatas di sekitar kita, bukannya mengumpulkan beberapa lulusan SMK dengan keahlian yang dimilikinya untuk membangun sebuah usaha sendiri.

Contohnya jurusan tata boga yang memiliki kemampuan memasak, namun bisa dihitung dengan jari usaha boga yang pengelolanya adalah lulusan dari SMK. Begitu pula dengan program keahlian lainnya seperti teknik pemanfaatan tenaga listrik, jurusan teknik audio video, dan teknik konstruksi batu beton, tentu keahlian itu di samping bisa diterima di pasar kerja juga bisa digunakan untuk membuka lapangan kerja sendiri. Masih banyak contoh lainnya yang miris kalau kita perhatikan lemahnya kekuatan kewirausahaan yang dimiliki seorang lulusan SMK itu sendiri.

Entrepreneur itu sendiri sudah ada dalam kurikulum pendidikan kejuruan sebelum SMA mengenalnya. Harapannya lulusan SMK memiliki jiwa kewirausahaan untuk mencetak pengusaha-pengusaha muda nantinya. Lulusan SMK lah menjadi tulang punggung penggerak ekonomi dalam masyarakat, mereka juga bisa membantu untuk mengurangi angka pengangguran minimal di lingungan sekitarnya. Oleh karena itu pemerintah sepatutnya juga memfokuskan kekuatan entrepreneur di SMK itu sendiri, bukan hanya memetakan sejauhmana daya serap lulusan SMK di Industri yang ada di Indonesia.

Penulis coba menawarkan sebuah konsep dengan nama School Entrepreneur yaitu sebuah konsep kewirausahaan yang ada di sekolah itu senditi. Artinya sekolah yang akan menjadi Dunia Usaha/Dunia Industri, siswa yang akan menjadi pengelola dari DUDI tersebut dan sekolah juga yang membantu untuk memasarkan produk-produk. Sekolah menjadi inkubator sebuah miniatur dari perusahaan yang ada di Indonesia. Sejauhmana pentingnya konsep tersebut diberlakukan pada pendidikan vokasi dan bagaimana menjalankan school entrepreneur tersebut.

Kita telah memahami bersama bahwa permasalahan yang sering muncul ketika seorang ingin menjadi entrepreneur adalah legalitas, kurangnya modal usaha, kurangnya kemampuan untuk mempromosikan, ketidakmampuan manajemen dan tidak tahu memasarkan kemana produk yang dihasilkan. Namun ketika sebuah kebijakan pemerintah atau instansi tertentu yang memihak kepada pengusaha itu sendiri maka sebuah usaha akan sangat mudah dijalankan. Contohnya ketika sebuah sekolah menjadi inkubator industri maka berbagai persoalan yang ada tersebut akan teratasi.

Legalitas sangat mudah diproses ketika yang bergerak adalah sebuah instansi pemerintah melalui sekolah kejuruan. Sekolah bisa mengajukan legalitas kepada intansi lainnya untuk mengeluarkan sebuah legalitas usaha untuk siswa SMK ataupun lulusan SMK tersebut. Modal usaha dapat diperoleh dengan bekerjasama dengan beberapa DUDI yang ada, melalui pengajuan kredit lunak. Pengusaha pemula juga bisa membentuk satu kelompok usaha dan memanfaatkan dana desa di sekitar tempat tinggalnya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kewenangannya sesuai dengan kebutuhan pokok dan prioritas desa. Dana desa tersebut juga bisa untuk pemberian kredit lunak kepada pelaku usaha yang ada. Begitu juga dengan pemasaran, sekolah bisa mengusahakan pemasaran kepada beberapa pasar yang ada, baik di daerah, nasional maupun internasional.

Tantangan ke depan dalam revitalisasi pendidikan kejuruan adalah bagaimana agar SMK diminati semua kalangan, bukan sekadar tempat bersekolah demi status sosial dan bukan sekadar upaya untuk peningkatan angka partisipasi kasar pendidikan menengah. SMK juga diharapkan mampu membuka cakrawala dunia bagaimana berwirausaha bukan hanya berharap kerja di DUDI yang ada. School Entrepreneur sangat penting diterapkan di sekolah-sekolah untuk mengubah paradigma dan mindset lulusan SMK menjadi pengusaha handal nantinya. Harapan besar Indonesia menjadi negara produktif bukannya konsumtif dan siap bersaing bukan hanya di ASEAN tetapi juga didunia. Semoga!

Qusthalani, M.Pd ialah Pemerhati Pendidikan Vokasi Indonesia, dan Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) Aceh Utara