GELAGAR pemberitaan tentang kasus korupsi KTP elektronik ( KTP -el) dahsyatnya melebihi bom atom yang menghantam Hirosima dan Nagasaki. Presiden sampai harus minta maaf kepada masyarakat. Sementara Ketua KPK berharap proses mengungkap kasus KTP-el tidak akan memicu guncangan percaturan jagat politik Indonesia.

Riuhnya nyaris sepadan dengan gerakan bela Islam oleh jutaan umat Islam bersama Imam FPI Habib Riziq Sihab - menggetarkan dunia tatkala Al- quran dilecehkan.

Disudut lain, sederet nama-nama dari pejabat dan staf kementerian dalam negeri, auditor BPK, pimpinan dan anggota DPR RI, swasta dan korporasi semua yang tersebut dalam dakwaan dipastikan menjadi gundah gulana.

Dibarisan media, peristiwa ini dijadikan berita utama. Judulnya beraneka macam, rata-rata diangkat sebagai laporan utama serta dibuat dengan judul yang bombastis bahkan terkesan sadis.

Proyek KTP-el Jadi Bancakan - Mega Kasus KTP-el itulah diantara judul salah satu koran cetak Nasional terbitan Jakarta. Koran lokal Riau dihalaman utama memuat judul Rp6 T Cuma KTP Plastik.

Di hari berikutnya pemilik nama-nama yang disebut tidak tinggal diam. ''Saya betol- betol terhina'' demikian dikatakan Marzuki Alie, mantan ketua DPR RI periode 2009- 2014.

Marzuki berang dan melaporkan ke Badan Reserse dan Kriminal ( Bareskrim) Polri. Karena menurut Marzuki, pengusaha Andi Agustinus alias Andi Naragong yang secara sepihak mengaku telah memberi uang Rp20 miliar kepada diirinya. Sementara politisi demokrat ini dengan lantang membantah dan menyebut sebagai fitnah.

Tidak lupa Ganjar Pranowo Gubernur Jawa Tengah dibuat tidak nyaman namanya masuk dalam dakwaan. Meski terkesan santai, Politisi PDIP ini mengaku terganggu dengan pemberitaan yang terus memunculkan namanya.

Yang paling disorot tentu Ketua DPR RI Setya Novanto. Jaksa penuntut umum dari KPK dengan jelas telah menyebutnya sebagai aktor utama dalam kasus korupsi KTP-el Dalam kondisi tersudut Ketua Golkar yang pernah diturunkan dari kursi Ketua DPR RI lalu dilantik kembali, harus wira-wiri untuk meyakinkan para kadernya.

Ramai orang dan media terkesan menghujat dan menghakimi para terdakwa. Sedikit yang cenderung mengerti seperti apa tercabik-cabiknya hati dan perasaan isteri, anak dan kerabat mereka meski hanya disebut namanya.

Media lebih senang memasang pemberitaan yang bernada kasar, sebab mendongkrak oplah, rating dan iklan. Wajar, media Lebih mengutamakan mengutip dari sisi kegeraman masyarakat ketika menelisik angka triliunan yang diduga merugikan negara.

Namun, mari sejenak juga kita lihat dari keluarga yang terkena musibah. Isteri Irman yang sudah dijadikan terdakwa oleh KPK, tiada terhenti menangis. Air matanya habis terkuras atas musibah yang diterima suami tercintanya.

Isteri Irman tidak menyangka nasib karier suaminya yang pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Kementerian Dalam Negeri berakhir ditangan KPK.

Tragisnya Irman yang sudah terbelit perkara, sekarang sedang berjuang melawan penyakit yang menyerang raganya, seiring usia yang semakin menua.

Atas pengusutan Dugaan korupsi KTP-el Fahri Hamzah politisi PKS yang dikenal pemberani menyerukan agar ketua KPK megundurkan diri demi menghindari konflik kepentingan. Fahri juga mengajak rekan anggota DPR RI untuk menggunakan hak angket. Supaya dapat membuka secara terang apa yang terjadi atas kasus yang menghebohkan negeri.

Meskipun Fahri tidak termasuk disebut namanya pada dakwaan, Fahri merasa perlu untuk dapat mengungkap secara menyeluruh. Pada kondisi yang mencuat saat ini menurut Fahri mengesankan anggota DPR RI adalah para koruptor.

Dengan hak angket, DPR RI akan terbuka atas apa yang terjadi sesuai fakta. Disamping itu hak angket juga akan dapat membuka tabir ketua KPK Agus Rahardjo yaang pada proses pelaksanaan proyek KTP-el diketahui sebagai kepala lembaga kebijakan pengadaan barang pada pemerintah.

Keberadaan KPK memang sangat luar biasa. Rakyat Indonesia masih haqul yakin atas kendali KPK dalam penegakan hukum. KPK masih mendapat nilai istimewa dalam memberantas korupsi.

Tetapi juga tak dipungkiri, dengan nama besar KPK, banyak masyarakat yang dibuat gagap. Setiap orang yang berurusan dengan KPK dengan serta merta dianggap atau langsung di stempel terlibat turut bersalah.

Menyadur tulisan DR Moh Mahfud MD mantan Ketua MK - RI 2008-2013. Bahwa dikalangan masyarakat masih banyak kesalah pahaman atas istilah-istilah standar dalam hukum.

Ketika diangkat berita dengan istilah kata dipanggil oleh KPK, diartikan atau dianggap terlibat dalam kasus. Padahal orang yang dipanggil ke KPK ada dua kemungkinan, yakni diperiksa atau dimintai keterangan. Meskipun secara teknis sama, kedua istilah terbuat mempunyai latar belakang dan tujuan yang beda.

Orang yang diperiksa biasanya didasarkan pada dugaan keterlibatan dalam kasus yang sedang ditangani KPK. Misalnya diduga ikut serta melakukan, mendapat bagian, membiarkan suatu kejahatan.

Sementara orang yang dimintai keterangan biasanya hanya terkait dengan kelengkapan informasi yang dibutuhkan penyidik sesuai dengan posisi dan pengetahuan orang yang dimintai keterangan.

Berjibun pejabat, pengusaha di Indonesia telah merasakan dipanggil KPK. Belum lama ini Ketua MK Arief Hidayat juga dipanggil dan datang ke Gedung KPK. Ketua MK ini dipanggil hanya untuk dimintai keterangan terkait jabatannya. Dia bukan diperiksa tetapi dimintai keterangan terkait jabatannya.

Sama halnya Dr Moh Mahfud MD dalam kasus Akil Muchtar pernah dipanggil KPK untuk dimintai keterangan bukan diperiksa. Karena jabatan yang melekat dipundaknya.

Ditengah-tengah masyarakat kerap muncul gosip yang berlebihan, kalau dipanggil KPK lantas diisukan terlibat korupsi. Kabar menyesatkan dijadikan alat lawan bahkan kawan untuk memusuhi dan menjauhi. Baik pada kancah politik maupun organisasi. Pemberitannya dijadikan alat yang kenyesatkan.

Pemberitaan tentang hukum kerap menjadi runyam karena media mengirimkan reporter yang di tugaskan di lembaga-lembaga penegak hukum tidak paham istilah- istilah standar dalam hukum.

Diantara mereka, misalnya ada yang tak paham istilah diperiksa dan dimintai keterangan, tak paham perbedaan antara ditolak dan tidak dapat diterima, antara batal dan dibatalkan, diterima dan dikabulkan, dan sebagainya.

Runyamnya sebagian rekan wartawan yang kurang paham justeru mengejar dan memberi pertanyaan yang tidak subtansi. Ketika ada nama-nama yang disebut oleh saksi, tanpa mau menambah referensi agar berita lebih akurat, justeru menggiring seakan sudah menjurus dan terlibat didalamnya. Maka sudahlah pertanyaan tidak bermutu hasil beritanya asal-asalan.

Yang konyol ada media yang menulis tanpa konfirmasi, setelah dikonfirmasi malah menaikkan pemberitaan mengorek sisi pribadi yang tidak ada kaitannya sama sekali. Tipe wartawan dan media yang demikian biasanya tidak akan bertahan lama.

Kasus KTP-el yang terjadi di Jakarta, agak mirip dengan kasus gratifikasi APBD Riau tahun 2015. Terutama dengan disebut sederet nama-nama. Bedanya pada kasus KTP-el yang menyebut nama-nama berstatus terdakwa. Sementara pada kasus di Riau sebagai saksi.

Kejadian di Riau oleh saksi dikatakan daftar nama - nama yang direncanakan akan menerima uang. Di persidangan terungkap hanya dua nama yang diakui saksi diberi uang, itupun akhirnya dikembalikan ke KPK. Sementara menurut tersangka dan kini sudah di vonis bersalah memang ada yang diberi tetapi membantah adanya catatan nama - nama yang disebutkan.

Maknanya meskipun nama-nama disebut tidak berarti mereka mendapat bagian uang yang direncanakan. Dalam hal ini ada dua kemungkinan, pertama uang itu dibagikan tetapi tidak kepada semua yang direncanakan sesuai daftar, kedua uang belum atau disengaja tidak dibagi-bagikan alias masih disimpan, serta ketiga uang itu dititipkan kepada orang lain tetapi tidak sampai ke alamat.

Hanya saja, karena ketidak pahaman masyarakat atau media termakan pemberitaan. Nama-nama politisi dan pejabat yang beredar sudah terlanjur rusak di ruang publik.

Nah, sekarang semuanya sudah jelas. Tidak sepantasnya masyarakat dan media seakan menghakimi sepihak. Diantara mereka boleh jadi hanya tersebut nama karena jabatannya - tetapi tidak pernah menerima. Lalu kok ada yang mengembalikan, berarti merekalah yang menerima uang.

Kalau ada yang menerima tetapi sanggup berbohong dan bersumpah tidak menerima - yakinlah lambat atau cepat pasti akan terbuka. Kita semua sepakat siapa yang terjerambab dalam kubangan hitam setuju mendapat ganjaran yang sesuai perbuatan.

Dan, yakinlah jikalau sesiapapun dengan sadar membabitkan seseorang yang sebenarnya tidak terlibat juga akan kelihatan. Di zaman sekarang muncul istilah; saat mendapat kesenangan mereka lupa teman, tapi ketika terungkap kesalahan, tega membawa-bawa nama kekawan.

Menjadi catatan, untuk diketahui masyarakat luas, akibat pemberitaan yang ditulis sepihak, mereka terutama keluarga, isteri, anak bahkan para kerabatnya sangat menanggung beban moral.

Selayaknya kita menghormati proses hukum. Percayakan di arena pengadilan yang akan membuka tabir sesiapa yang khilaf.

Jika tempat mencari keadilan tidak dapat diharapkan apalagi sudah tergadaikan, Bahkan menjadi ladang perburuan. Yakinlah Allah Maha adil dan tempat sempurna untuk minta pertolongan.

Dari proses hukum di meja pengadilan dan berserah diri kepada Tuhan, insya Allah akan membuat semua menyadari bahwa manusia tempat salah dan lupa, wadah pahala dan dosa bersepadu. ***

Bagus Santoso adalah Anggota DPRD Provinsi Riau