JAKARTA, GORIAU.COM - Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Prof Dr Mahsun MS menjelaskan bahasa sebagai aspek fundamental pembentuk nasionalisme Indonesia, bukan ras dan agama. Tiga elemen tersebut benang pengikat suatu negara-bangsa. Indonesia memilih bahasa sebagai identitas karena ras mempersulit Indonesia untuk membangun nasionalisme dan agama kurang cocok untuk membangun nasionalismenya.

''Indonesia, jauh sebelum proklamasi, sudah mencanangkan fondasi bahasanya. Ras dan agama tidak mungkin menjadi fondasi membangun ke-Indonesia-an,'' dia mempresentasikan topik ''Menimang Bahasa Membangun Bangsa'' dalam rapat dengar pendapat Komite III Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) dengan Badan Bahasa Kemdikbud di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (27/3/2015). Pada acara yang dipimpin Wakil Ketua Komite III DPD RI Fahira Idris (senator asal Daerah Khusus Ibukota Jakarta), Mahsun mendukung penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Bahasa Daerah sebagai usul inisiatif Komite III DPD RI, karena bahasa merupakan pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi bangsa sekaligus simbol kedaulatan dan kehormatan negara.

Tidak mungkin membangun ke-Indonesia-an di atas fondasi ras. Badan Bahasa Kemdikbud memetakan 659 bahasa lokal. Jika menyamakan ras sebagai suku bangsa dan bahasa lokal sebagai penanda identitas suku bangsa maka 659 bahasa lokal tersebut adalah penanda identitas 659 suku bangsa (etnis) di Indonesia. Mengapa bahasa lokal sebagai penanda identitas suku bangsa? Karena untuk mengidentifikasi eksistensi atau keberadaan suku bangsa maka rujukannya adalah bahasa lokal. ''Kita mengakui etnis Jawa karena bahasa Jawa, Bali karena bahasanya, juga Minang karena bahasanya. Artinya, bahasa lokal menjadi ciri khas suku bangsa.''

Juga tidak mungkin membangun Indonesia di atas fondasi agama. Banyak contoh negara-bangsa yang dibangun di atas kesamaan agama. Contohnya Republik Islam Iran setelah revolusi tahun 1979 yang dipimpin Ayatollah Ruhollah Khomeini. Iran berbeda dengan Indonesia. Sejarah mencatat kisah pengesahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945, yang alinea keempat Pembukaan (“Preambule”) UUD 1945 mencantumkan Pancasila sebagai dasar negara.

Dalam sidang, Mohammad Hatta menyatakan, bahwa masyarakat Indonesia Timur mengusulkan penghilangan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, yaitu “…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya…”. Momentumnya adalah perubahan rumusan dasar negara. Awalnya berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, tapi akhirnya berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. “Paling tidak enam agama yang diakui negara, mana di antaranya? Penghapusan tujuh kata setelah Ketuhanan menggambarkan Indonesia ini tidak mungkin dibangun di atas dominasi suatu agama.”

Lalu, mungkinkah membangun Indonesia di atas fondasi bahasa? Banyak contoh negara-bangsa yang dibangun di atas fondasi bahasa. India dan Pakistan memiliki penutur yang sama karena bahasanya diturunkan dari bahasa Hindustani, tapi nama dan aksaranya menjadi berbeda karena berbeda negara-bangsa: India menyebut bahasa Hindi sedangkan Pakistan bahasa Urdu, India menggunakan aksara Dewanagari sedangkan Pakistan aksara Arab. Di Cina, 56 bahasa dalam aksara Han. Israel menghidupkan bahasa Ibrani yang mati.

Sementara Indonesia melahirkan bahasa baru bernama bahasa Indonesia. Dalam Kongres Pemuda I di Batavia (Jakarta) tanggal 30 April - 2 Mei 1926 pidato Muhammad Yamin mengusulkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan: ''Kami poetra dan poetri Indonesia menjunjung bahasa persatoean, Bahasa Melajoe.'' Tapi pimpinan kongres kesatu yang diketuai Mohammad Tabrani Soerjowitjitro mengusulkan pergantian nama. Kalau tanah air bernama Indonesia, bangsa bernama Indonesia, maka bahasa mestinya bernama Indonesia, bukan bahasa Melayu kendati unsur-unsurnya bahasa Melayu. Kongres kesatu memutuskan penetapan bahasa persatuan di kongres kedua.

Menjelang penutupan Kongres Pemuda II di Batavia (Jakarta) tanggal 27-28 Oktober 1928, Yamin mengedarkan secarik kertas kepada pimpinan kongres yang diketuai Soegondo Djojopoespito, lalu mengendarkannya kepada peserta rapat. Tulisan tinta mencetuskan gagasan Bahasa Indonesia dalam Sumpah Pemuda: ''Kami poetra dan poetri Indonesia menjunjung bahasa persatoean, Bahasa Indonesia''. Sejarah membuktikan bahwa kongres kedua mencetuskan persatuan nasional guna melawan kolonialisme di atas fondasi bahasa baru yang bernama bahasa Indonesia. ''Dulu antara bahasa Melayu dan bahasa Indonesia tidak berbeda. Kini, perkembangan antara bahasa induk dan anaknya berbeda.''

Beragamnya bahasa lokal di Indonesia memang persoalan dalam memilih suatu bahasa sebagai benang pengikat ke-Indonesia-an. Apakah bahasa Jawa yang jumlah penuturnya terbanyak dan suku bangsa yang terbesar? Sejak tahun 1970-an hingga 1990-an ketika kita memerkaya kosakata bahasa Indonesia dengan menyerap kosakata bahasa Jawa, kritikan bermunculan yang menyebut terjadi proses penjawaan bahasa Indonesia. ''Sebagai negara-bangsa yang dibangun di atas fondasi bahasa, Indonesia mengalami tantangan dan cobaan yang berupaya mengoyak-ngoyak ke-Indonesia-an. Inilah pikiran-pikiran institusi resmi negara yang menangani kebahasaan''. (rls)