BELAKANGAN ini, media masa sedang ramai dengan pemberitaan “seks live”. Langitpun terasa runtuh, tatkala pemberitaan “seks live” tersebut semakin blak-blakan mengupas fakta. Sepasang suami istri menjual dirinya dengan beradegan intim dihadapan pelanggan, live!. Bahkan, sang suami mempersilahkan kepada pelanggan, jika mereka ada yang mau ‘memakai’ istrinya.

Sebagaimana yang diberitakan, bahwa sepasang suami istri ditangkap anggota kepolisian karena melakukan perbuatan mesum dengan cara mempertontonkan hubungan intim secara nyata di Apartemen Gateway Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Selain itu, sang suami A (33 tahun) tak segan mempersilahkan orang lain untuk menyetubuhi istrinya, Leny (31 tahun). REPUBLIKA.CO.ID (20/5).

Miris, itulah rasa pertama yang langsung menghantam hati siapa saja yang masih punya nurani. Kemana perginya moralitas dan rasa malu yang menjadi kebanggaan bangsa mayoritas muslim ini? Haruskah bangsa ini turut mengimpor moralitas dan rasa malu, sebagaimana bangsa ini mengimpor garam dan kedelai?

Inilah potret keluarga yang hidup di sistem yang serba bebas, demokrasi kapitalisme. Lambat tapi pasti, corak kehidupan dalam sistem yang menuhankan kebebasan ini mulai menunjukkan penyakit komplikasi akut yang sulit dinalar akal dan logika. Semisal keluarga pemakai dan pengedar narkoba, keluarga koruptor, keluarga nepotisme, keluarga pencuri, keluarga penjual bayi, keluarga incest dan lain sebagainya bermunculan bak cendawan di musim hujan. Komplikasi akut ini terjadi bukan di Red District Amsterdam, ini nyata ada di Indonesia, bangsa dengan populasi muslim terbesar di dunia. Inilah buah kebebasan yang digaungkan penuh birahi, lupa dengan batasan-batasan dari Sang Pencipta diri, tenggelam dalam kebebasan yang berujung pada kehancuran yang tidak terperi. Astagfirullah.

Sebagai bangsa yang dikenal dengan budaya ketimuran dan terbesar populasi muslimnya, seharusnya berbagai potret buruk keluarga Indonesia tersebut tidak terjadi. Namun apalah daya, banyaknya kaum muslim di bangsa ini nyatanya tidak berpengaruh apapun untuk segala kebijakan yang berlaku. Persis yang disabdakan baginda Rosulullah S.a.w. bahwa kelak kaum muslimin itu akan seperti buih di tengah lautan, banyak jumlahnya namun tidak berarti apa-apa. Bahkan untuk bertahan saja tidak bisa. Terombang-ambing, terseret arus dan gelombang. Tepat seperti saat ini, nyatanya jumlah besar kaum muslim tidak berefek apapun terhadap laju geraknya liberalisasi yang menggila. Apa yang salah?

Benar, bahwa kuantitas kaum muslim tidak akan berpengaruh apa-apa. Sebab, yang berpengaruh terhadap corak kehidupan bukanlah banyak atau sedikitnya etnis atau agama tertentu. Melainkan kesatuan pola pikir, perasaan dan peraturan yang ada di tengah masyarakatlah yang berkontribusi total untuk mewarnai corak kehidupan. Nyatanya, saat ini pemikiran, perasaan, dan peraturan yang eksis di tengah masyarakat adalah sekulerisme, sebuah paham yang memisahkan antara agama dengan kehidupan. Maka lahirlah kebebasan dengan berbagai ragam dari paham tersebut. Masyarakat semakin jauh dari agama. Cerita  pahala, dosa, surga dan neraka hanya sebagai isapan jempol semata, tidak diyakini. Jika manusia tidak takut lagi dengan dosa, lantas apa lagi yang menghalanginya untuk berbuat apa saja, suka-suka?!

Hal ini diperparah dengan penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Sebuah sistem yang hanya mementingkan segelintir orang, mereka yang bermodal. Kesenjangan sosial semakin curam. Himpitan hidup khususnya di sektor perekonomian kian mendhalimi kalangan lemah tak bermodal. Kebutuhan pokok masyarakat semisal BBM dan TDL serba diprivatisasi, tidak ada lagi subsidi. Akibatnya, berimbas pada harga-harga kebutuhan pokok seperti kampung tengah (perut), pendidikan dan kesehatan semakin melangit, sementara penghasilan semakin sulit. Di tengah himpitan yang kian melilit, dengan keimanan dan ketakwaan yang tinggal sekelumit, maka siapa saja bisa nekat melakukan apapun demi memenuhi hajat hidup yang terus menjerit. Seperti pengakuan pasutri di Jakarta Selatan tadi, mereka nekat melakukan “Live Seks” karena sulitnya ekonomi. Nah loh!

Terbukti, sistem demokrasi kapitalisme telah menghasilkan corak kehidupan yang bejat. Maka sudah saatnya bangsa ini sadar, dan segera menginstal ulang sistem kehidupan demokrasi kapitalisme untuk diupgrade dengan sistem kehidupan yang bersumber dari wahyu Illahi, yang bukan hanya teori melainkan pernah terbukti, 13 abad lamanya. Saatnya kita beralih pada sistem kehidupan yang memanusiakan manusia, syariat Islam. Wallahualam. ***

Penulis adalah ibu rumah tangga, trainer remaja, penulis dan pemerhati pendidikan.