BULAN November adalah bulan pahlawan. Hiruk pikuk perayaannya begitu menyita perhatian. Meski tidak seheboh hari kemerdekaan, namun tetap menjadi momen nasional yang diagendakan perayaannya. Beragam acara digelar untuk momen tahunan ini. Mulai dari seremonial berupa upacara ziarah nasional hingga berbagai kegiatan perlombaan  bertemakan kepahlawanan turut mewarnai peringatan hari pahlawan. Pertanyaannya, cukupkah hari pahlawan hanya dimaknai dengan upacara, tabur bunga di makam pahlawan, atau perlombaan-perlombaan dengan simbol bambu runcing semata?

Sebuah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai dan menghormati jasa pahlawan. Hal ini tentu tidak cukup jika diartikan hanya sebatas perayaan seremonial semata. Maknanya, penghargaan dan penghormatan kepada para pahlawan adalah dengan terus menyuburkan apa yang diperjuangkan oleh mereka. hal ini juga disampaikan oleh Presiden RI, Bapak Jokowi. Presiden RI mengungkapkan dalam pidatonya bahwa seluruh warga negara memiliki kewajiban yang sama untuk terus memperjuangkan apa yang menjadi cita-cita para pahlwan.

“Saya kira kewajiban kita itu, memperjuangkan terus apa yang menjadi cita-cita para pahlawan. Baik memakmurkan, baik dalam menyejahterakan, baik dalam memberikan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, saya kira kewajiban kita bersama.” Pernyataan Bapak Jokowi di Mako Kopassus, Cijantung, Jakarta, Kamis, 10/11/2016 (Liputan6.com).

Hilangnya Sosok Kepahlawanan, Generasi Dambaan

Apa yang disampaikan oleh Presiden RI adalah sesuatu yang layak untuk kita renungi. Di era globalisasi dengan arus kebebasan yang begitu deras di bangsa ini, masihkah dapat kita jumpai jiwa-jiwa pahlawan dalam diri generasi? Pasti ada, tapi sayang sangat sedikit dan tertutupi oleh riyuhnya permasalahan bangsa yang seolah tiada henti.

Kita tidak bisa menutup mata, bahwa kerusakan moral generasi bangsa justru lebih menonjol. Pengguna narkoba, minum-minuman keras, pergaulan bebas, penderita HIV/AIDS, aborsi, premanisme bahkan sampai merenggut nyawa adalah masalah yang angkanya terus melonjak naik setiap tahun. Tentu, ini bukanlah karakter generasi dambaan. Itu dari sisi generasi muda. Bagaimana dari sisi para penguasa pemegang dan penentu kebijakan? Setali tiga uang rusaknya dengan geliat pemuda bangsa.

Lahirnya berbagai peraturan dan perundang-undangan yang pro asing semisal UU Migas, Pasar bebas melalui MEA, kebijakan mengimpor berjuta-juta tenaga asing dari cina disaat warga pribumi banyak yang diPHK, kemudian ketidak berpihakan hukum pada rakyat jelata, merupakan sekelumit potret buramnya wajah Indonesia. Untuk inikah para pahlawan kita berjuang?

Telah hilang jiwa kepahlawanan pada diri generasi maupun penguasa. Semakin minim keberadaan generasi dambaan yang diharapkan mampu memberikan warna perubahan ke arah kebaikan. Miris rasanya, tapi inilah realita yang tidak cukup hanya dijadikan data. Tetapi sesuatu yang memerlukan solusi demi terwujudnya cita-cita para pahlawan bangsa.

Sudah menjadi pengetahuan kita bersama bahwa perjuangan para pahlawan kita adalah untuk memerdekakan nusantara dari penghambaan terhadap penjajah yang membawa misi 3G (Gold, Glory, dan Gospel) kepada penghambaan hanya kepada Tuhan yang esa yakni Allah S.w.t. Para pahlawan kita mengorbankan segala apa yang mereka punya demi mengusir para penjajah tersebut dari bumi pertiwi semata-mata atas dorongan Aqidah Islam. Hal ini dipaparkan secara jelas oleh Seorang Aktivis Muslim Eropa, Idris de Vriest. Beliau melakukan pengkajian mendalam tentang pengaruh Islam dalam perlawanan terhadap Belanda. Pengkajiannya dilakukan melalui sumber-sumber asli media masa/koran Belanda  yang terbit pada periode 1618-1995M. Beliau menemukan berita dalam koran-koran yang terbit di Belanda selama periode 1850-1930 secara umum menuliskan pendapat bahwa Islamlah yang menyebabkan rakyat Indonesia ‘memberontak’. Kesimpulan dari Hasil  pengkajiannya ialah bahwa faktor islam dan isu khilafah ternyata cukup menonjol dalam perjuangan umat Islam melawan penjajahan Belanda, (al-wa’ie; Rubrik Jejak Syariah, edisi september-Desember 2011).

Jelaslah bahwa semangat perjuangan para pahlawan kita adalah mengusir penjajah beserta segala budaya dan pemikirannya untuk kemudian menjadikan Islam sebagai asas kehidupan. Maka jika demikian, benarlah yang disampaikan oleh bapak Presiden RI bahwa kita berkewajiban melanjutkan perjuangan ini. Sayangnya, hari ini kita jumpai justru sebaliknya. Jiwa kepahlawanan tidak lagi terlihat pada mayoritas diri generasi dan penguasa negeri ini. kini, secara fisik memang kita merdeka. Tidak ada lagi tentara Belanda yang bergriliya di sudut-sudut nusantara. Namun, secara pemikiran dan kebudayaan? Kondisi kita masih sama, dalam kondisi penjajahan. Kita tunduk pada intruksi mereka. pemikiran generasi kitapun lumpuh dengan dunia hiburan mereka. sehingga tidak ada lagi panasnya darah perjuangan untuk melawan kemungkaran. Sebaliknya, kita terlena dalam kubangan racun-racun barat yang membinasakan. Naudzubillah.

Peran Strategis Ibu Dalam Melahirkan Generasi Dambaan

Peran ibu bagi terlahirnya generasi pejuang memiliki porsi yang sangat besar. Meskipun hal ini tidak mendapat lirikan dari mata dunia. Dunia hari ini memandang  kaum  ibu (wanita) sebagai aset yang harus diberdayakan di ranah publik, bukan di bilik-bilik rumahnya. Kaum ibu atas nama kesetaraan gender harus ikut terjun mencari nafkah, eksistensi, dan pengakuan diri dengan konsekuensi meninggalkan fitrah mereka sebagai Ibu. Inilah runtuhnya benteng terakhir yang menjadi salah satu sebab kerusakan generasi. Maka, kaum ibu (wanita) harus segera menyadari hal ini untuk kemudian kembali membangun benteng pertahanan terakhir bagi generasi. Yakni dengan cara kembali pada fitrah untuk menjadi Ibu secara utuh yang akan mencetak generasi dambaan, generasi tangguh berjiwa pejuang.

Ibu adalah pendidik utama dan pertama bagi anak-anaknya. Pendidikan yang pertama kali didapatkan oleh anak adalah hal-hal yang dilakukan oleh orang tuanya, terutama ibu. Ibulah yang selalu bersama anak-anaknya. Ibu adalah orang pertama kali yang mengetahui berbagai permasalahan anaknya. Ibu adalah orang pertama yang siap mendengar segala keluh kesah buah hatinya. Dan ibu, adalah orang pertama yang mengajarkan cara mencari solusi atas segala masalah yang dihadapi anak-anak melalui tindak-tanduknya. Dari sinilah Ibu memegang peranan penting dalam membentuk dan mematangkan kepribadian anak untuk menjadi generasi cemerlang.  Maka prestasi terbesar seorang ibu dalam karirnya adalah ketika ia mampu memberikan pendidikan terbaik dari dirinya kepada anak-anaknya.

Sudah selayaknya, kaum hawa menyadari bahwa kiprah terbaik mereka ada di rumahnya. Yakni menjadi garda terdepan dengan mengawal pendidikan yang terbaik bagi anak-anak mereka. sehingga akan lahir secara masif generasi-generasi dambaan yang terpatri karakter kepahlawanan dalam jiwa-jiwa mereka. mengalirkan panasnya darah perjuangan untuk menciptakan peradaban agung bagi bangsa dengan syariat dari yang Esa.

Wanita, kembalilah pada fitrahmu. Menjadi ibu tangguh selayaknya Nusaibah Binti Ka’ab  yang berhasil menancapkan  mental pejuang pada jiwa-jiwa buah hatinya. Karena engkaulah wanita, Ibu yang menjadi benteng terakhir untuk menjaga dan mempertahankan para generasi sebagai aset peradaban dunia di masa yang akan datang. Wallahualam.***

Penulis adalah anggota Lajnah Fa’aliyah MHTI Wilayah Pekanbaru, Riau