BELUM reda gejolak pro-kontra  terkait penerapan kurikulum 2013, kini dunia pendidikan kembali diterpa wacana yang tidak kalah mengguncang. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy yang belum lama dilantik, mengeluarkan wacana full day scool (FDS). Sontak, wacana inipun bergulir cepat dengan berbagai asumsi yang menyertainya. Pendapat pro dan kontrapun tidak terelakkan. Mengingat begitu seringnya dunia pendidikan mengalami pergantian kebijakan secara spontan. Namun sayangnya tidak pernah berakhir secara tuntas dan menggembirakan. Selalu mengambang di awang-awang dengan peserta didik sebagai kelinci percobaan. Try and eror. Wajar jika kemudian muncul anggapan bahwa pemerintah tidak sepenuh hati dalam menggarap kemajuan pendidikan bangsa.

FDS Solusi atau ilusi?

Salah satu harapan Mendikbud dari wacana full day school (FDS) ini adalah agar dapat mencegah penyimpangan pelajar usai pulang sekolah. Menurut beliau, saat ini pengawasan para orang tua lemah terhadap anaknya usai pulang sekolah siang hari. Hal ini dikarenakan jam pulang sekolah anak lebih awal dibanding jam pulang kerja orang tua. Muhadjir menduga, di sinilah rawan terjadi penyimpangan pelajar, karena tidak ada yang bisa bertanggung jawab ketika sekolah sudah melepas anak di siang hari sedangkan orang tua baru pulang kerja di sore hari. (Detik.com, 8/16).

Setidaknya ada dua hal yang menarik untuk dicermati sebagai bahan pertimbangan dari wacana FDS ini. Paling tidak sebagai acuan penimbang, apakah FDS solusi atau justru hanya ilusi bagi dunia pendidikan negeri ini.

Hal pertama, yakni terkait dengan sarana dan prasarana yang dimiliki oleh sekolah-sekolah negeri. Masih segar dalam ingatan kita dengan kehebohan suasana hari pertama sekolah (HPS) beberapa waktu yang lalu. Eni (27) mengantar anaknya yang baru masuk kelas 1 karena khawatir anaknya tidak mendapatkan kursi sekolah. ”Saya mengantar anak di hari pertama takut tidak dapat kursi, karena cerita pengalaman  ada banyak murid baru tidak dapat kursi,” kata Eni, seperti dikutip Media Umat edisi 177.

Tidak hanya kekurangan bangku sekolah, bahkan di beberapa daerah mengalami kekurangan ruang kelas. Salah satu contohnya ada di Kalimantan Selatan, tepatnya di Kabupaten Banjar. Seperti yang diberitakan oleh Radar Banjar (05/16) lalu bahwa masih banyak sekolah  terutama di daerah pinggiran yang kekurangan sarana dan prasarana. Sarana dan prasarana yang kurang seperti ruang kelas. Baik dari segi jumlah maupun kondisinya yang mulai rusak.

Setali tiga uang, Provinsi Riau pun mengalami hal yang serupa. Berdasarkan data Disdikbud Riau yang dihimpun dari pusat statistik  Kemendikbud RI, terdapat 32.110 sekolah di Riau. Baik tingkat SD, SMP, maupun SMA sederajat. Di mana 4.637 di antaranya tergolong rusak ringan, dan 3,119 masuk kategori rusak berat, (Riaupos.com, 05/16). Layakkah full day school diberlakukan dengan kondisi sarana dan prasarana yang tidak memadai semacam ini?

Hal kedua, fungsi sekolah dan pentingnya peran orang tua dalam pendidikan anak. Hal yang keliru jika pendidikan dan pengawasan anak diserahkan sepenuhnya pada pihak sekolah. Kita harus sadar, bahwa fungsi sekolah adalah pendamping untuk pengembangan kemampuan anak. Sedangkan peran utama dalam pengawasan dan pendidikan anak merupakan kewajiban bagi orang tua terutama adalah ibu. Di sini, harus ada kaloborasi yang apik antara orang tua dan sekolah agar tercapai tujuan pendidikan yang diinginkan. Bahkan, tidak cukup hanya kaloborasi antara orang tua dan sekolah saja. Lingkungan masyarakat dan Negarapun memiliki kewajiban untuk mencetak generasi gemilang. Maka, tentu bukan solusi jika pendidikan anak hanya dititik beratkan pada jam sekolah semata.

Akar Masalah

Sayangnya, di era kapitalisme ini kaum hawa justru digiring untuk meninggalkan fitrahnya. Wanita dicap kuno dan tidak kekinian jika mereka hanya berkutat pada urusan rumah tangganya. Wanita hebat itu adalah wanita yang mampu mengibarkan karir di ranah publik. Sehingga berbondong-bondonglah kaum hawa meninggalkan rumah dan anak-anaknya. Wanita kini ikut andil dan turut bersaing dengan kerasnya ranah publik dengan jargon kesetaraan  gender. Wanita hebat adalah wanita yang berdikari. Ini racun yang pertama, menggiring manusia untuk berpikir kapitalistik. Semua diukur dari sisi materi. Harta. Prestise.

Selain itu, sistem yang lebih mengedepankan pemilik modal ini juga semakin memperdalam kesenjangan sosial yang menganga lebar. Kapitalisme telah menciptakan kemiskinan yang sistemik. Kemiskinan inipun merupakan racun yang membuat kerusakan.  Sehingga, sukarela atau terpaksa kaum ibupun harus turut serta terseok-seok mencari nafkah demi terpenuhinya kebutuhan keluarga. Karena tidak akan cukup jika hanya mengandalkan penghasilan suaminya. Berbagai profesi harus dilakoni demi memperoleh sesuap nasi. Tidak bisa dihindari, hal yang pasti terjadi adalah ibu sibuk bekerja di luar rumah sehingga pengawasan dan pendidikan anak terabaikan.

Jelas, bahwa permasalahan generasi saat ini bukan terkait berapa lama jam sekolah mereka. Masalah mendasar yang menjadi akar masalah adalah sistem kapitalisme yang mengeluarkan kaum ibu dari fitrahnya sebagai pendidik utama dan pertama bagi anak-anaknya. Kapitalisme menjadikan kaum ibu sibuk dengan pekerjaan, baik karena himpitan kemiskinan ataupun hanya sekedar prestise semata. Maka, bisa dipastikan wacana FDS sebagai antisipasi penyimpangan generasi hanya akan jadi ilusi jika sistem kapitalisme tetap bercokol di negeri ini.

Islam Sebagai Solusi

Dalam pandangan Islam, peran ibu sebagai pendidik generasi sangat diperhatikan. Bahkan, ibu adalah pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya.  Oleh karena itu, Islam mendorong kaum ibu untuk berlomba dalam mendidik anak-anak mereka menjadi insan yang bertakwa. Bukan sekedar cerdas secara intelektual, melainkan juga harus cerdas secara spiritual. Peran ibu ini tentu tidak mudah. Ibu harus mendedikasikan tenaga, pikiran, waktu dan hidupnya untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Wajar, jika Islam mensyariatkan bahwa kewajiban utama bagi seorang wanita adalah sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Kewajiban ini adalah sebuah kehormatan dan keagungan bagi kaum hawa. Karena, maju dan mundurnya generasi bangsa ada di genggaman mereka.

Generasi yang gemilang hanya bisa terwujud jika fitrah ibu tersebut dikembalikan. Yakni sebagai pendidik utama dan pertama bagi anak-anaknya. Di sinilah peran negara untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya termasuk kaum ibu. Negara harus menjamin bahwa posisi wanita adalah diberikan nafkah. Sehingga negara harus menyediakan lapangan kerja yang memadai bagi para pencari nafkah, yakni kaum laki-laki. Negara harus memastikan bahwa semua kebutuhan kaum ibu terpenuhi. Tidak terancam sandang, pangan dan papannya.  Jika negara menjamin demikian, pasti, dengan suka rela kaum ibu berlomba-lomba dalam mencetak generasi yang unggul, berprestasi. Bukan sekedar unggul di mata manusia, tapi juga unggul di hadapan Sang Esa, Allah S.w.t.

Sayangnya, semua ini tidak akan pernah terwujud di dalam sistem kapitalisme. Hanya sistem Islam saja yang mampu mewujudkannya. Bukan khayalan, karena keberhasilan Islam mencetak generasi gemilang telah terekam sejarah selama 13 abad lamanya. Maka, sudah saatnya kita mengulang kegemilangan tersebut demi kemajuan generasi dan peradaban Negeri. Wallahualam.

Penulis adalah anggota Lajnah Fa’aliyah MHTI Wilayah Pekanbaru, Riau