TRAGIS! Itulah yang dapat kita saksikan terhadap tragedi na’as yang menimpa sederet srikandi Indonesia, hingga mengakibatkan hilangnya nyawa.  Episode dimulai saat tragedi mengerikan yang menimpa Yy, siswi SMP di Bengkulu, yang  diperkosa dan dibunuh 14 pria menguap di media. Tidak menunggu lama, tragedi serupa segera berderet berdesakan untuk eksis di episode berikutnya. Petaka yang menimpa Mis, anak perempuan berusia 10 tahun yang diculik, diperkosa, lantas dibunuh dua laki-laki di Lampung Utara menjadi bagian pengisi episode tentang kekerasan seksual yang menggila. Seolah tidak mau tersaingi, menyeruak pula kisah nestapa LN, bocah yang baru beruumur 2,5 tahun, diperkosa dan dibunuh tetangganya di Bogor. Masih meradang rasanya hati ini dengan deretan kekejian tersebut, media kembali dihentak dengan ditemukannya Eno, gadis berusia 19 tahun, dalam kondisi tidak bernyawa dengan 90% gagang cangkul menancap di kemaluannya. Marah, sedih dan terluka. Orang yang waras pasti akan merasakannya.

Fakta tersebut adalah tamparan keras bagi Republik tercinta, Indonesia. Butuh keseriusan dengan solusi mendasar dalam menangani bahkan mengenyahkan tragedi biadab ini. Sehingga tidak akan ada lagi episode yang bercerita tentang kebiadaban seperti yang menimpa Yy, Mis, LN, dan Eno. Siapapun orangnya, yang dia masih memiliki hati nurani dan rasa kemanusiaan, tentu akan tergerak hatinya untuk menyudahi semua ini. dalam hal ini, pemerintah tengah serius dalam pembahasan perencanaan undang-undang tentang hukuman bagi para pelaku kekerasan seksual. Salah satu hukuman yang direncanakan pemerintah dan sedang banyak diperbincangkan adalah hukuman kebiri kimiawi.

Rencana inipun menuai kontroversi dibeberapa kalangan. Salah satunya adalah Reza Indragiri Amriel, seorang psikolog forensik. Menurutnya, hukuman kebiri kimiawi tidak akan membuat para pelaku jera, karena kejahatan seksusal bukan hanya dilatari oleh motif seksual saja. Banyak motif yang melatari terjadinya kejahatan seksual, diantaranya amarah, dendam, dan  kebencian yang berkobar. Masih menurut Reza, dikhawatirkan, para pelaku kejahatan seksual akan menggunakan cara-cara yang lebih brutal untuk melumpuhkan korbannya. Karena keterbangkitan seksual tidak sebatas karena faktor hormonal, tetapi juga masalah fantasi. Selanjutnya, Reza menegaskan bahwa hukuman yang layak bagi para pelaku kejahatan seksual adalah mati.

“Daripada menyuntik pelaku berulang kali sebatas mematikan birahi, lebih baik berikan satu ampul injeksi yang membuat pelaku mati” ujarnya, (Republika.co.id, 12/5).

Jika melihat fakta pada kasus kejahatan seksusal yang terjadi, maka apa yang disampaikan oleh Reza tersebut benar adanya. Bahwa motif kejahatan seksual tidak hanya dilatari oleh faktor seksual adalah realitas yang tidak bisa dihilangkan. Amarah, dendam, dan kebencian juga menjadi pendorong terjadinya kejahatan seksual. Jika demikian, maka kebiri kimiawi bukan solusi. Lantas apa yang harus dilakukan demi terjaganya seluruh anak negeri?

Seluruh element saat ini tengah fokus dengan berbagai argumentasi demi terwujudnya solusi bagi kejahatan seksual yang kian brutal. Namun sayangnya, belum ada yang melirik dan membloaup gagasan tentang bagaimana syariat Islam mampu menyelesaikan berbagai persoalan, termasuk kejahatan seksual. Islam sebagai sebuah agama sekaligus ideologi, memiliki cara yang khas dan tegas dalam mencegah, menangani, bahkan mengenyahkan setiap persoalan yang menebar kedzaliman bagi umat manusia. Demikian pula dalam masalah kejahatan seksual, Islam punya solusinya.

Pertama, upaya pencegahan. Hal pertama yang dimunculkan adalah ketakwaan individu. Yakni rasa takut kepada sang maha pencipta, Allah S.w.t. Selanjutnya Islam mencegah terjadinya kejahatan seksual dengan mewajibkan manusia untuk menundukkan pandangan, menutup aurat dengan sempurna, menjaga interaksi antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Dari sisi eksternal, islam mengharamkan adanya hal-hal yang dapat menimbulkan rangsangan seksual, semisal majalah porno, gambar-gambar porno, nyanyian porno, film porno, atau bahkan hal-hal yang mengarah kepada pornoisasi. Lebih hebat lagi, Islam memberikan peluang sebesar-besarnya bagi para pemuda untuk bersegera menikah jika memang sudah mampu. Seperangkat aturan ini tentu akan menjadi ampuh untuk mencegah terjadinya kejahatan seksual. Bandingkan dengan aturan yang ada sekarang. Setiap individu krisis dengan ketakwaan, disuguhi kevulgaran tanpa batas melalui berbagai media yang mengarah kepada seksualitas, para pemudapun dihalangi menikah muda dengan alasan yang sulit diterima logika. Lantas kita tanya mengapa kejahatan seksualitas kian menggila?

Kedua, upaya pemberian sangsi. Jika seperangkat aturan pencegahan tadi telah dilakukan, namun ternyata masih ada pelaku kejahatan seksual yang beraksi, maka Islam dengan tegas akan memberikan sangsi. Sangsi bagi pelaku kejahatan seksual tentu dilihat dari tingkat kejahatan yang dilakukan. Jika pelaku melakukan pemerkosaan dan disertai dengan pembunuhan, maka tidak ada kompromi, hukuman yang dijatuhkan pada pelaku tersebut adalah hukuman mati. Itulah hukuman yang layak, dan solutif bagi merebaknya kejahtan seksual yang terjadi. Apakah ini manusiawi? Sangat manusiawi. Karena dengan hilangnya satu nyawa maka akan terjaga banyak nyawa darinya. Lebih penting lagi, sangsi ini adalah syariat yang diturunkan dari langit, berasal dari sang pengatur kehidupan, Allah S.w.t. Maka sudah pasti, aturan tersebut tidak akan menyalahi, sebaliknya aturan tersebut akan memberkahi. Bukankah rahmat dan berkah illahi yang kita nanti?

Jelas bahwa kebiri kimiawi tidak bisa dijadikan solusi. Akan muncul berbagai persoalan baru jika hal ini dipaksakan untuk terealisasi. Maka, sudah saatnya kita tinggalkan solusi yang bersumber dari banyaknya kotroversi, beralih pada solusi yang pasti dan bergaransi, bersumber dari Illahi, Syariat Islam. Wallahualam.

Penulis adalah ibu rumah tangga, trainer remaja, penulis dan pemerhati pendidikan.