TOPIK tentang pendidikan merupakan pembahasan yang tidak pernah membosankan untuk diperbincangkan. Seolah selalu ada sisi-sisi dari pendidikan yang  patut bahkan harus diperbincangkan secara serius.

Banyak hal, dari mulai proses belajar mengajar sampai dengan sistem yang mengatur pendidikan itu sendiri. Berbicara masalah sistem, maka tidak akan bisa terlepas dengan kebijakan-kebijakan yang akan diterapkan. Kebijakan-kebijakan yang diterapkanpun akan berpengaruh pada output-output pendidikan, yakni generasi saat ini dan generasi yang akan datang tentunya. Intinya, antara sistem, kebijakan dan output pendidikan merupakan satu kesatuan yang saling terkait antara yang satu dengan yang lainnya.  Dengan kata lain, ketika sistemnya rusak, maka kebijakan yang diterapkanpun akan rusak, dan sudah pasti secara otomatis outputnya pun akan menjadi rusak. Sebaliknya, ketika sistemnya bagus, maka kebijakannyapun pasti bagus,dan  secara otomatis output yang dihasilkanpun akan bagus.  Pertanyaannya, sudahkah sistem pendidikan saat ini menerapkan kebijakan-kebijakan yang mampu menghasilkan generasi berkarakter  pemimpin, cerdas, mandiri, terdepan, dan peduli pada umat?

Berbincang masalah sistem pendidikan yang ada di Bangsa kita saat ini,  rasanya sudah menjadi pengetahuan umum  bahwa sistem yang ada belum mampu atau lebih tepatnya gagal dalam menghasilkan output yang bermutu. Bermutu yang dimaksudkan disini ialah bukan hanya sekedar mendapatkan nilai tertinggi ketika ujian, atau hanya sekedar mendapatkan gelar profesor. Namun bermutu yang dimaksudkan disini ialah para generasi yang memiliki karakter sebagai pemimpin, cerdas, mandiri, terdepan dan peduli pada umat.

Kegagalan sistem pendidikan yang ada saat ini dapat dilihat melalui fakta-fakta yang ada. Diantaranya, Kita pahami bersama bahwa diadakannya Ujian Nasional (UN)  ialah untuk menyetandarkan taraf  kecerdasan anak bangsa dengan skala Nasional.  Hasil UN itu kemudian menjadi penentu tingkat kecerdasan dari masing- masing daerah yang ada di Bangsa ini dan sekaligus sebagai penentu taraf kecerdasan bangsa ini sendiri tanpa melihat bagaimana proses berlangsungnya UN tersebut. Sudah menjadi rahasia public bahwa proses berlangsungnya UN ini menjadi ajang perlombaan kubangan dosa secara berjamaah. segala cara akan dilakukan demi kelulusan 100% atau paling tidak 95% dari siswa/ siswi di masing-masing sekolah. Tanpa memandang apakah cara yang digunakan halal atau haram, tidak juga memandang apakah oknum yang terlibat dalam kecurangan itu sebagai pejabat, kepala sekolah, guru, atau peserta didik itu sendiri. Semua dilakukan demi mendapat predikat  daerah cerdas, demi tidak dihapuskan akreditasi A atau B yang sudah tertancap di plank-palnk  sekolah (bagi yang sudah terakreditasi), atau paling tidak demi tidak tercorengnya muka ketika ditanya oleh para tetangga (bagi peserta didik). Ironisnya, bahkan ada  pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan keadaan ini sebagai proyek sumber uang, dengan cara membocorkan soal-soal ujian sampai dengan menyebarkan kunci jawaban. Peristiwa-peristiwa ini memang sangat ironis, bahkan menjadi sebuah paradoks bagi pelaksanaan Ujian Nasional itu sendiri. Kesetaraan IQ dengan skala nasional yang diharapkanpun hanya sekedar menjadi manipulasi secara terang-terangan. Selain itu, kejujuran dan kemandirian para peserta didikpun akhirnya harus tergerus oleh tuntutan yang ada.

Hal yang serupa pun tidak jauh berbeda dengan kasus yang terjadi pada tingkat perguruan tinggi (PT). Meskipun kebanyakan orang menganggap bahwa seluruh isi (mahasiswa) dari PT itu ialah manusia-manusia intelektual, namun kenyataannya tidak demikian. Karena lagi-lagi keintelektualan hanya disimbolkan oleh goresan tinta diatas kertas (IPK), tanpa menghayati proses dalam memperoleh nilai tersebut. Kebanyakan mahasiswa-mahasiswa saat ini hanya berorientasi pada nilai, tidak heran jika akhirnya banyak mahasiswa yang mencontek ketika mereka mengikuti ujian. Sungguh ironis, para intelektual telah kehilangan kepercayaan diri akan kemampuan dan potensi mereka, serta kehilangan keyakinan bahwa semua aktivitasnya pasti akan dimintai pertanggungjawaban oleh Sang Pencipta. Hal ini terjadi karena memang yang menjadi orientasi mahasiswa sekaligus tuntutan sistem ialah nilai. Jadi wajar jika kemudian mahasiswa lebih memprioritaskan nilai daripada pengetahuan/ ilmu yang mereka peroleh.

Satu hal lagi, Terdapat kasus  menarik yang terjadi di sebuah Perguruan Tinggi (PT) ternama di Indonesia. Kasus ini sekali lagi menunjukkan betapa rendahnya karakter kepemimpinan, kemandirian,  dan kepedulian yang terdapat di jiwa-jiwa para intelektual. Kasus ini terungkap setelah dilakukannya riset terhadap mahasiswa baru (2008) yang ada di PT ternama tersebut. Riset tersebut dilakukan oleh Eva Muchtar,S.T,M.T salah satu dosen ITB dan sekaligus pengamat pendidikan Nasional. Hasil risetnya menghasilkan persentase IQ>100 79%, kemandirian 13%, usaha 67%, percaya diri 11%, kecakapan 19%, dan kepemimpinan 4%.

Dari persentase di atas dapat disimpulkan bahwa, (1) tingkat kepemimpinan pada mayoritas kaum intelektual di bangsa ini sangat rendah jika dibandingkan dengan persentase tingkatan IQ atau yang lainnya. Sehingga wajar, jika output atau generasi-generasi bangsa ini hanya mencapai pada taraf ‘siap pakai’ sebagai pelaksana atas apa yang diperintahkan (Followeer), bukan menjadi leader yang mampu untuk menghasilkan lapangan kerja. Wajar juga jika akhirnya para kaum terpelajar saat ini tidak mampu menyelesaikan problematika umat, karena memang tidak adanya jiwa kepemimpinan pada diri mereka, mereka hanya sibuk dengan masalah-masalah dan problematika masing-masing (individualisme). (2) tingkat kepercayaan diri mahasiswa pun terendah nomor dua dari persentase yang ada. Sehingga wajar, jika kebanyakan mahasiswa tidak percaya diri pada kemampuan yang mereka miliki, meskipun mereka memiliki kemampuan dan potensi yang besar. Akhirnya, mencontekpun menjadi semacam budaya yang terus dijaga dan dilestarikan dari generasi kegenerasi. (3) poin kemandirian mendapat peringkat ketiga terendah dari persentase yang ada. Hal ini menambah bukti, bahwa mayoritas mahasiswa ataupun generasi-generasi bangsa ini tidak memiliki kemandirian dan selalu membebek terutama pada dunia Barat. (4) kepekaan mahasiwa pun ternyata bermasalah. Ia mendapat peringkat keempat terendah dari persentase yang ada, yakni sebanyak 19%.  Sehingga masuk akal jika sangat jarang sekali mahasiswa-mahasiwa yang memiliki kepekaan terhadap problematika umat, problematika bangsa, apalagi problematika dunia. Kebanyakan dari mereka merasa ‘sakit kepala’ jika diajak berbicara tentang problematika yang ada, mereka merasa bukan bagian dari problematika itu, sehingga mereka tidak merasa memiliki kewajiban untuk memberikan solusi atas segala problematika umat, bangsa dan dunia. Padahal, bukankah tugas utama  mahasiswa dan kam intelektual  adalah sebagai agent of change di tengah-tengah masyarakat, bangsa dan dunia? (5) poin IQ dan poin keusahaan mendapat predikat tertinggi yang mayoritas dimiliki oleh setiap mahasiswa -poin ini hanya berkaitan pada individu mahasiswa itu sendiri-. Dari sinilah dapat terbongkar bahwa ketinggian IQ tidak menjamin seseorang bisa memiliki karakter pemimpin, cerdas, mandiri, terdepan, dan peduli pada umat. Begitu ironisnya permasalahan dunia pendidikan bangsa kita jika dilihat dari fakta-fakta tersebut.

Jika kita lebih cermat lagi, maka akan kita temukan bahwa akar masalah dari problematika  yang terjadi dalam dunia pendidikan ini ialah diterapkannya sistem pendidikan sekuler-matrealistik di Bangsa ini. Sistem pendidikan sekulerisme –memisahkan agama dari kehidupan- telah menghasilkan berbagai tingkah laku  generasi saat ini. Mayoritas generasi saat ini sangat mengagung-agungkan kebebasan, mudah meniru budaya asing, memburu hedonisme atau lebih memilih jalan pintas demi meraih glamoritas. Ditambah lagi sistem pendidikan yang matrealistik, menghasilkan output pendidikan yang hanya memikirkan diri sendiri (individualisme) dan ‘materi’ semata. pada akhirnya bermunculanlah para manusia yang tidak profesional dalam pekerjaannya, seperti ‘mall praktek yang dilakukan oleh dokter ataupun bidan, ‘korupsi’ yang dilakukan oleh para pejabat, dari mulai yang paling atas sampai pada yang paling bawah, ‘jual beli hukum’, perpolitikan yang sarat dengan kepentingan-kepentingan individu atau kelompok, dan lain-lain. Jika hal ini dibiarkan saja, atau malah sengaja diciptakan sistem yang demikian, maka bukan suatu hal yang mustahil jika kemudian bangsa ini kehilangan jati dirinya karena ditelan oleh mencuatnya gelombang dunia yang dikendalikan oleh sistem kapital.  Sistem pendidikan ini telah menghasilkan generasi yang lemah, dan sosok-sosok seperti inilah yang telah menghantarkan kehancuran negeri-negeri muslim menuju kezaliman.

Dari masalah yang ada maka kita membutuhkan solusi yang komprehensif. Tidak ada salahnya jika kita melirik sistem pendidikan Islam yang bersifat komprehensif-integral, yang dapat diterima secara universal oleh umat manusia, dan faktanya sistem inipun pernah eksis dalam kancah dunia selama 13 abad. Hal ini dikarenakan Islam tidak hanya berfungsi sebagai agama ruhiah semata, melainkan Islam juga menjadi landasan atau pandangan hidup bagi manusia.

Islam sebagai agama dan ideologi tentunya memiliki pandangan terkait dengan problematika umat manusia, tidak terkecuali halnya dengan pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu problematika manusia yang sangat diperhatikan dalam Islam. Lantas, apakah konsep pendidikan itu sendiri dalam pandangan Islam? Konsep pendidikan dalam sistem Islam sangat jelas, yakni  membentuk peserta didik sesuai hakekatnya yang berasal dari Allah SWT dengan tugas dan tujuan sebagai hamba Allah SWT yang selalu beribadah kepadaNya. Implikasi pedagogis yang tercipta dari hal ini tentu adalah pengembangan pengetahuan, nilai dan keterampilan yang hakiki dengan berlandaskan aqidah Islam, guna untuk mendapatkan ridho dari-Nya. Para peserta didik juga berorientasi pada khasanah keilmuwan yang dapat dicapainya, dipelajari untuk kemudian diamalkan dengan membawa kemaslahatan bagi dirinya, keluarga, umat bahkan dunia. Jadi bukan sekedar melahirkan generasi pragmatis yang hanya memikirkan dirinya sendiri (individualisme), serta mengharapkan kelulusan dengan ijazah tanpa memahami dan menghayati proses yang dilakukan saat menuntut ilmu.

Oleh karena itu, sudah saatnya bagi kita untuk merevolusi dunia pendidikan sekuler-matrealistik yang ada saat ini menjadi dunia pendidikan yang menerapkan sistem Islam. Demi terwujdnya generasi yang  berkarakter  pemimpin, cerdas, mandiri, terdepan, dan peduli pada umat.  Islam adalah agama pembawa rahmat bagi seluruh alam, rahmat Islam hanya bisa terwujud jika segala konsepnya diterapkan secara totalitas dalam kehidupan ini, dan hanya sebuah Negara yang menerapkan sistem Islamlah yang mampu merealisasikan semua konsep Islam didalam kehidupan. Semoga, di hari pendidikan nasional berikutnya, wajah pendidikan kita sudah jauh lebih molek, tentu bersama peran semua elemen, baik individu, masyarakat, pendidik, pemerintah bahkan negara. Wallahu a’lam bi ash-shawab. ***

Penulis adalah ibu rumah tangga, trainer remaja, penulis dan pemerhati pendidikan.