SETIAP apapun bentuk gerak rentak yang terkait kelindan dengan lembaga maupun pribadi Dewan Perwakilan Rakyat  (DPR) tingkat pusat maupun daerah pasti menjadi heboh. Dari persoalan resmi menjalankan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi), hingga pernak pernik pada pergerakan, sosial kemasyarakatan sampai sisi paling pribadi kehidupan tak terkecuali bumbu-bumbu duka lara serta asmara.

Itulah anggota DPR, keberadaanya menjadi sosok ''dewa'' tetapi juga tak jarang di jelmakan sebagai orang yang kurang ''berharga''.

Dikala semua pintu lembaga kelu dan bisu tak sanggup berbicara, lembaga dan anggota DPR dijadikan tokoh pembawa obor harapan. Lihatlah ribuan pegawai honorer di Kabupaten Kuansing, seakan pupus harapan- mengadukan nasibnya diberhentikan oleh bupati.

Dikala nelayan tradisional Teluk Pambang Bengkalis tak berdaya bergesekan dengan nelayan pukat harimau. Dan disaat apapun rakyat terjepit barulah secercah harap digantungkan dari lembaga dan anggota DPR.

Jangan tanya apa yang terjadi ketika lembaga dan anggota DPR bertindak salah atau terkena musibah menyalah. Semua mata pedang nanar menghujat dan menghakiminya.

Dan disanalah letak seninya, menjadi asyik tatkala dihayati dan dimaklumi. Setiap lembaga dan pribadi orang punya sisi lebih dan kurang. Akan menjadi hal yang sangat Istimewa jika masing- masing saling menjaga dan menghargai sesuai kapasitasnya.

Secara kelembagaan DPRD Riau periode tahun 2014- 2019 terus melaksanakan tugas, fungsinya. Meski pada waktu tahun kedua terkatung- katung lama tanpa ketua. Toh kinerjanya terbilang tetap konsisten terus berikhtiar jalankan kewajiban dan hak yang diemban.

Riuh rendah, pemberitaan terkait sejumlah pansus yang di bentuk. Dan yang paling gres kegiatan pengamanan di sekretariat dewan plus persiapan pemilihan wagub hingga hak angket silih berganti menyeruak.

Sebagaimana dikatahui, hak anggota DPRD meliputi hak interpelasi untuk meminta keterangan, hak angket untuk penyelidikan dan hak menyatakan pendapat.

Mulus dan tidaknya setiap hak DPRD musti dengan mekanisme yang sudah diatur pada ketentuan yang dipedomani. Ada peraturan perundang- undangan dan tata tertib DPRD Riau. Tidak asal berani gertak di media atau aksi gebrak meja paripurna.

Maka dari itu tidak setiap hak yang digulirkan anggota dengan serta merta bisa dilaksanakan. Sebab hak setiap anggota terkadang tidak satu jurusan atau searah dengan anggota lainnya.

Belum lagi jika hak yang diusulkan dibawa ke ranah Fraksi. Di DPRD Riau ada 8 fraksi, setiap fraksi mempunyai pandangan yang berbeda baik subtansi apalagi jika ditarik ke ranah politis.

Fakta yang tak terbantahkan, bahwa siapa saja kepala daerah atau pemegang teraju pemerintahan dipastikan memiliki barisan anggota ,fraksi ditambah koalisi untuk menyokong pemegang kekuasaan.

Sebuah hal yang manusiawi jika hak yang diajukan berlawanan dengan pemerintahan pasti akan memancing reaksi pembelaan dari mereka yang pada posisi penyokong kepala daerah dalam hal ini Gubernur. Bahkan kebijakan yang diambil antara anggota atau beda fraksi juga rentan untuk diperdebatkan.

Tetapi akan berbeda pembelaan jika hak yang diajukan subtansinya berada pada posisi kegiatan yang sebenarnya juga sudah disetujui lembaga DPRD. Berbeda peta kekuatannya pada kasus pemerintahan di Provinsi Riau. Sejauhmana Gubernur Arsyajuliandi Rachman bisa membangun komunikasi dengan internal dan lintas partai pendukungnya.

Sebab gubernur sekarang boleh dikatakan sekedar merengkuh warisan dari Gubernur Annas Ma'mun. Jika saja warisan itu dijaga dengan piawai maka akan mudah untuk mengelola dan mengambil manfaatnya. Sebaliknya jika tidak terkelola dengaan bijak maka sulit untuk mempertahankan apalagi memetik buah yang sejatinya sangat ranum.

Menarik untuk dicermati hak angket dana eskalasi yang bergulir di DPRD Riau adalah contohnya. Berkecamuk tersebab berbeda pandangan yang dilontarkan sesama anggota dan juga pimpinan DPRD. Sisi paling hiruk pikuk hak angket eskalasi ternyata justeru berada pada sesama anggota dan pimpinan DPRD. Sedangkan eksekutif terkesan biasa- biasa saja.

Terlepas lolos atau tidaknya hak angket, maka boleh dikatakan proses demikian menunjukkan dinamika demokrasi yang hidup di lembaga DPRD. Memang jika jauh kita telisik perjalanan kebelakang usulan hak angket lebih banyak kandas di tengah jalan. Tetapi itu sebuah langkah politik yang tepat, batal atau lolos hak angket, yang pasti masing- masing anggota sudah mengikrarkan sikap terhadap kebijakan . Jika ada implikasi apapun dapat dijadikan catatan dan tanggung jawab moral.

Meski banyak yang melontarkan hak angket hanya gertak macan ompong - tetapi Multi efeknya sangat memicu terhadap kegiatan lainnya lebih baik. Lihat saja seperti pansus monitoring kehutanan, pansus RTRWP yang begitu alot, serta program dan kegiatan - baik yang dilaksanakan oleh anggota atau di sekretariat DPRD menjadi lebih giat dan berirama.

Begitu juga program dan kegiatan yang dikelola oleh eksekutif melalui Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Inilah proses dan dinamika politik yang akan terus berjalan menyertaI kebijakan pada setiap masa pemerintahan. ***

* Bagus Santoso adalah Anggota DPRD Riau dari Fraksi Partai Amanat Nasional