PEKANBARU - Awal tahun 2020 bidang hukum di Riau ditandai dengan ''tragedi hukum'' yang dinilai ''melukai rasa kemanusiaan''. Pasalnya, seorang yang didakwa membakar lahan seluas 20x20 meter untuk bercocok tanam demi menafkahi keluarga akhirnya dituntut dengan hukuman penjara 4 tahun dan denda Rp3 miliar. Selama dalam penjara, pelaku yang bernama Syafrudin (69) pun harus meninggalkan keluarganya yang terdiri dari satu istri dan lima anak.

Syafruddin yang akan mempergunakan lahan tersebut untuk menanam ubi dan kacang panjang akhirnya duduk sebegai ''pesakitan'' dengan denda Rp3 miliar pun terkulai lemas. Pasalnya, ubi dan kacang panjang yang dimilikinya diyakini tidak akan mampu melunasi denda Rp3 miliar seperti yang dituntutkan ke dirinya.

Menanggapi perkara ini, ahli hukum pidana, Dr Muhammad Nurul Huda SH, MH saat dimintai komentarnya mengatakan, penerapan UU PPLH no 32 tahun 2009 tentang lingkungan yang dijadikan dasar oleh jaksa untuk mendakwa Syarifudin bukanlah pilihan yang tepat. ''Hakim dan jaksa juga tidak selamanya harus menjadi corong undang-undang,'' tegasnya.

"Pasal 98 dan Pasal 108 memang ancaman pidana minimal 3 tahun dan maksimal 10 tahun dengan denda maksimal Rp10 miliar. Jika dilihat dari hukum pidana, hakim itu bukan corong undang-undang. Diluar itu, hakim boleh keluar dari ketentuan perundang-undangan dengan ancaman minimal asalkan ada nilai-nilai keadilan yang memang dipikirkan dan dihayati oleh hakim," kata Nurul Huda kepada GoRiau.com, Rabu (22/1/2020) malam.

Ketua LSM Formasi Riau itu menjelaskan, maksud hakim tidak harus menjadi corong undang-undang adalah seharusnya ancaman minimal tiga tahun dan maksimal 10 tahun itu tidak diterapkan kepada rakyat kecil yang tidak mengerti hukum, tetapi kepada korporasi yang notabene memahami aturan.

''Hukuman itu lebih cocok untuk perusahaan, bukan orang tidak mampu. Oke lah, jika kakek itu salah, tapi jangan empat tahun, itu lama sekali, ini melukai hati rakyat itu. Perkara SP3 untuk 15 perusahaan justru sangat melukai hati. Apalagi kita tahu banyak kebakaran tapi ratusan masyarakat yang ditangkap, sementara dari perusahaan hanya dua," cetus Nurul Huda.

Selanjutnya kata Nurul Huda, hakim harus mengutamakan keadilan, kalau sampai hakim menjatuhkan hukuman empat tahun sesuai tuntutan JPU, itu tidak adil. Kalau pun tetap menjadi corong undang-undang, kenapa jaksa tidak menuntut tiga tahun saja. Perihal denda, jaksa bisa menuntut satu rupiah ataupun Rp10 ribu, kenapa harus tiga miliar rupiah

"Kalau untuk perusahaan dibilangnya alat bukti kurang, masih penyelidikan dan lainnya. Hukum itu yang dinilai masyarakat apakah berlaku sama untuk seluruh warga negara.

''Dalam hukum pidana, dimana ada kata-kata ''pidana penjara dan denda maksimal Rp 10 M'', itu artinya hakim bisa memilih dari satu rupiah sampai Rp10 miliar. Jadi, harus melihat latar belakang yang dihukum. kalau denda Rp3 miliar untuk petani miskin, itu tidak logis, terus siapa yang mau ganti dendanya," tandas Nurul Huda yang saat ini aktif mengajar di Pascasarjana Univeritas Islam Riau itu.

Terakhir Nurul Huda berharap agar pihak Kejaksaan Tinggi Riau untuk membuka mata atas apa yang sedang terjadi dalam kasus ini. Nurul Huda meminta agar Kejati memanggil jaksa yang menuntut petani dengan hukuman maksimal tanpa tahu apa maksud dan tujuannya.

"Banyak kekeliruan secara hukum normatif. Baik hakim maupun jaksa harus disekolahkan lagi. Saran saya, Kajati Riau harus memeriksa jaksa penuntut umum, kenapa dia menuntut setinggi itu. Kedua, saya minta bagian pengawasan mahkamah agung untuk memanggil hakim yang bersangkutan agar tidak memenuhi tuntutan jaksa tersebut,'' tutupnya. ***