SEBELUM mendapat hidayah, Erik Riyanto sangat bersemangat menyiarkan agama non Islam dan tak kenal lelah melakukan pemurtadan.

Dikutip dari Republika.co.id, pria kelahiran Bandung, Jawa Barat ini menceritakan, sebelum masuk Islam, dia sempat memurtadkan 4 orang.

''Empat orang telah saya murtadkan, termasuk istri saya sendiri. Tiga lainnya adalah dua pria dan (seorang) wanita asal Soreang,'' tutur Erik Riyanto dalam siaran Mualaf Channel, yang disaksikan Harian Republika via Youtube beberapa waktu lalu.

Pria yang kini berusia 30 tahun itu sebenarnya tidak begitu jauh dari Islam sejak semula. Sebab, keluarga besar dari pihak ayahnya merupakan Muslim. Ayahnya pun awalnya merupakan pemeluk Islam.

Ayahnya murtad karena menikah dengan ibunya yang non Muslim. Setelah menikah, ayah dan ibunya bekerja di sebuah lembaga syiar agama non- Islam. Lama-kelamaan, bapak kandung Erik tersebut menjadi murtad.

Erik mengatakan, pernah suatu ketika ayahnya itu mengungkapkan isi hati. Ternyata, dalam sanubarinya masih tertanam keyakinan Islam.

Kadang kala, sang ayah melaksanakan shalat lima waktu secara sembunyi-sembunyi. Kalau Erik mengingat-ingat lagi kejadian itu, rasanya ingin kembali ke masa lalu.

Membimbing ayahnya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat kala sedang menghadapi sakaratul maut. Mengajak lelaki yang telah membesarkannya itu agar secara terang-terangan mengakui keislamannya.

Namun, kini penyesalan itu sudah lewat. Belajar dari masa silam, Erik pun bertekad untuk sebaik-baiknya menjadi Muslim yang taat dan bertakwa, sekuat tenaga. ''Tidak akan disia-sia kannya hidayah dari Allah SWT. Berbeda dengan saat ini, dahulu saya sangat membenci Islam,'' katanya.

Dia menuturkan, salah satu peristiwa yang membangkitkan antipatinya terhadap agama yang dipeluk mayoritas orang Indonesia ini. Dahulu, pernah suatu hari dirinya mengganti knalpot mobilnya dengan jenis balap (racing).

Alhasil, suara yang dihasilkan kendaraannya itu lebih bising, apalagi bila kakinya menginjak habis pedal gas. Saat itu, Jumat siang. Banyak warga di lingkungan tempat tinggalnya berangkat ke masjid.

Dengan sengaja, Erik mengendarai mobilnya dengan kencang. Sesampainya di dekat area masjid tersebut, dia mengegas berkali-kali sehingga memunculkan suara yang sangat berisik.

Mulanya, dia menduga bahwa orang-orang dari tempat ibadah itu akan keluar dan menghampirinya dengan wajah beringas, penuh amarah. Memang, sejak dari rumah dirinya sudah berniat untuk memancing emosi Muslimin yang sholat Jumat di sana. Karena itu, Erik sudah siap mental.

Ternyata, tidak ada satu pun jamaah yang mendatanginya. Mereka terus khusyuk beribadah hingga selesai. Paling-paling, sebagian kaum Muslimin di masjid tersebut hanya berbisik-bisik dengan sesamanya atau sesekali melirik ke arah sumber suara bising.

''Mungkin saya dianggap sedang depresi (saat itu),'' ucapnya mengenang.

Kala itu, Erik seperti mendapatkan momentum untuk mengibarkan kebenciannya terhadap Islam. Selepas peristiwa 9/11, dunia seperti mewas padai Muslimin. Di banyak berita, kelompok teroris kerap disamakan dengan ekstremis Islam hanya dari penampilannya.

Erik ketika itu sudah aktif bermedia sosial. Melalui akunnya, dia pun banyak menulis ujaran kebencian yang menyasar pada Islam. Pernah pula dirinya mengecam Nabi Muhammad SAW.

Masih sebagai pembenci Islam, Erik merayu seorang Muslimah untuk menjadi pasangannya. Pernikahan keduanya terjadi. Dan, istrinya itulah yang pada akhirnya mengalah, murtad dari agama semula.

Dengan kehidupannya yang cukup berada dan berpengaruh, Erik ternyata tidak mencapai ketenteraman batin saat itu. Kondisi tersebut berubah sejak menjelang hari raya Idul Adha tahun 2018. Pada waktu malam takbiran, hatinya tergugah saat mendengar kumandang tahlil, Laa Ilaaha illa Allah.

''Saat itu, seperti ada yang mengajak ayo (ke mari), tetapi saya bingung mari ke mana?,'' katanya mengingat kembali momen itu.

Dia lalu menceritakan pengalaman tersebut kepada istrinya. Perempuan itu, yang acap kali membahas keinginannya untuk kembali memeluk Islam, menyambut antusias. Akan tetapi, waktu itu Erik belum sampai terpikir untuk berpindah agama.

Memasuki tengah malam, batinnya masih saja terguncang. Akhirnya, dia berlutut dan berdoa secara tuntunan agamanya saat itu. Kepada Tuhan, dirinya meminta petunjuk, apakah Islam memang agama yang benar.

Keesokan pagi, sesudah shalat Idul Adha, banyak warga di sekitar rumahnya mengikuti rangkaian acara potong hewan kurban. Anaknya, walaupun tidak beragama Islam, tidak ketinggalan untuk menyaksikan kegiatan islami tersebut.

Erik kemudian menjemput anaknya untuk pulang bersamaan dengan proses penyembelihan sapi dan kambing di halaman masjid. Entah mengapa, sesampainya di lokasi dia sendiri justru tertarik melihat orang-orang Islam berkurban.

''Untuk apa orang Islam repot-repot menyembelih hewan kemudian dibagikan ke orang lain? Bahkan, kadang diri sendirinya saja tidak kebagian. Mengapa tidak lebih baik memeliharanya dan biarkan berkembang biak kemudian menghasilkan uang?,'' tanya Erik dalam hatinya saat itu.

Ketika itu, dirinya memperhatikan dengan saksama. Petugas yang menyembelih hewan-hewan itu ternyata mengucapkan kalimat islami yang belakangan diketahuinya sebagai takbir dan basmalah sesaat sebelum melaksanakan tugasnya.

Tiba-tiba, Erik teringat, ritual untuk memuji Tuhan se belum menyembelih memang merupakan salah satu ajaran Nabi Ibrahim. Itu termuat dalam kitab agamanya kala itu. Maka, dia pun bertanya-tanya, me nga pa agamanya tidak menjalankan hal ini juga.

Hari beranjak sore. Di rumah, saudara istrinya yang Muslim menelepon karena ingin mengambil daging kurban yang dibagikan pihak takmir masjid di dekat rumah.

Sesampainya di sana, Erik ingin menyapa para keponakannya. Ternyata, mereka sedang mengaji dengan Ustaz Rizal, yang sebenarnya terhitung masih kerabatnya.

Erik pun ingin menguji sang ustaz dengan ilmu agama yang dimilikinya. Sebab, bagaimana pun, dia adalah seorang misionaris sehingga merasa tahu celah-celah opini untuk mempertanyakan Islam.

Saat berbincang, justru Erik-lah yang tertegun begitu ditanya tentang Nabi Muhammad SAW dan Allah Yang Maha-Esa. Keterangan tentang Allah dan Rasulullah SAW ternyata juga ada dalam kitab suci agamanya. Lantas, Ustaz Rizal memberikan kepadanya buku Juz Amma. Dibukanya halaman yang memuat surah al-Ikhlash beserta terjemahan.

''Saya begitu haru ketika membaca (terjemahan) ayat demi ayat surah al-Ikhlash. Saat itu juga, saya memutuskan untuk memeluk Islam,'' tuturnya. Kepada Ustaz Rizal, dirinya bertanya cara menjadi Muslim.

Mubaligh itu masih merasa khawatir apabila ke inginannya berislam hanya didorong luapan emosi sesaat. Untuk itu, lelaki yang pernah memurtadkan sejumlah orang itu diajaknya mengunjungi Pondok Pesantren Ibnu Hajar di Buah Batu, Bandung.

Setelah berjumpa dan menyampaikan duduk perkara kepada Kiai Apad Ruslan, sang pengasuh ponpes tersebut, maka digelarlah proses ikrar syahadat. Untuk pertama kalinya, Erik melafalkan kalimat mulia: Asyhaduan laa ilaaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah. 

Dia tidak sendirian. Tepat pada 10 Zulhijjah 1440 H itu, istrinya pun meng ucapkan dua kalimat syahadat. Barulah pada 12 Oktober 2018, keduanya secara resmi mendaftarkan keterangan berislam di kantor urusan agama terdekat

Tetap Bersabar

Kabar keislamannya cepat beredar. Erik dan istrinya menyadari, cepat atau lambat akan ada perubahan drastis pada hidup mereka. Namun, keduanya tetap bersabar dalam iman dan Islam.

Ujian pertama yang dihadapi pasangan suami istri ini adalah diambilnya nyaris semua harta benda. Sebab, selama ini pelbagai fasilitas materi mengalir, diberikan dari pihak tempat ibadah agama lamanya.

Semua hak-hak kepemilikan harta benda dicabut. Rumah dan kendaraan semua harus dilepas. Begitu pu la pekerjaan Erik dahulu, yakni profesi sebagai penyiar misi agama non-Islam.

Ujian lainnya datang dari pihak keluarga. Ibunya amat kecewa Erik menjadi seorang Muslim. Bahkan, sang ibu sempat mengancamnya jika tidak kembali ke agama lama. Termasuk dalam ancaman ini, dirinya tidak lagi berhak akan harta warisan.

Bagaimanapun, Erik tetap berlapang dada. Dia selalu bersyukur dengan keadaannya pasca-berislam. Sebagai hunian, keluarga kecilnya menempati sebuah rumah kontrakan.***