Undang-Undang No. 14 tahun 2008, tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) adalah salah satu produk hukum Indonesia yang diundangkan pada tanggal 30 April 2008 dan mulai berlaku dua tahun setelah diundangkan. Undang-undang yang terdiri dari 64 pasal ini pada intinya memberikan kewajiban kepada setiap Badan Publik untuk membuka akses informasi publik kecuali beberapa informasi tertentu.

 

UU KIP tentulah sangat erat kaitannya dengan pelayanan publik dalam penyelenggaraan negara. Logika sangat jelas, bahwa pemerintah sebagai penyedia layanan publik diwajibkan memberikan informasi secara terbuka yang merupakan amanah UU KIP. Inilah kontrol bagi masyarakat agar pelayanan publik tidak menyimpang, dapat dipertangungjawabkan, serta yang terpenting sebagai instrumen pencegahan korupsi dan pratik yang menyimpang dalam pelayanan publik.

Semenjak diberlakukan efektif, seluruh badan publik pemerintah mulai dari pusat hingga ke daerah telah membentuk struktur dan insfrastruktur pelaksanaan UU KIP. Dan bahkan Komisi Informasi Pusat dan beberapa Komisi Informasi di daerah telah memberikan pemeringakatan dan penghargaan kepada badan publik pemerintah dalam mengimplemetasikan UU KIP.

Pada tahun 2015 untuk kelima kalinya, Komisi Informasi Pusat memberikan anugerah hasil evaluasi KIP terhadap badan publik yang menghasilkan pemeringkatan badan publik, yang turut dihadiri para menteri, gubernur, kepala  lembaga non-kementerian, dirut BUMN, rektor Perguruan Tinggi Negeri, Kepala Lembaga Negara, pimpinan partai politik, komisioner Komisi Informasi Pusat dan Daerah, dan Pejabat Pengelola Informasi badan publik baik di pusat maupun daerah yang dinilai telah menjalankan UU KIP secara baik.

Pada kenyataannya, UU KIP hari ini belum sepenuhnya dapat memperbaiki pelayanan publik. Misalnya saja, Operasi Tangkap Tangan (OTT) Kepolisian Polda Metro Jaya di kantor Kemenhubdalam dugaan kasus pungutan liar (Pungli)terkait perizinan perkapalan, pada Selasa (11/10). Beberapa media massa memberitakan bahwa temuan sementara barang buktinya puluhan juta rupiah, dan kalau diakumulasi dengan uang lainnya, jumlahnya mencapai miliaran rupiah dan sudah lama terjadi serta ada dugaan melibatkan pejabat yang lebih tinggi. Para terduga menerima uang dari pihak yang mengajukan perizinan dengan harapan dapat mempercepat pelayanan.

Ironisnya, kejadian OTT di kantor Kemenhub ini berbanding terbalik dengan pencapaian Kemenhub dalam keterbukaan informasi, yang notabene diharapkan menekan penyimpangan pelayanan publik. Pada tahun 2015 Kemenhub menempati peringkat IV dengan nilai Keterbukaan Informasi 91,445 yang diserahkan langsung oleh Presiden Re­pu­blik Indonesia Joko Widodo di Istana negara pada 15/12/2015 yang lalu (sumber : Komisi Informasi Pusat, 2015).

Berkaca pada kasus tersebut,  praktik Pungli telah menjelma sebagai bentuk distorsi Informasi Publik. Bagaimana tidak, dengan menyandang peringkat IV terbaik pelaksanaan keterbukaan informasi publikpada tahun 2015, dan bahkan telah memberikan informasi publik tentang prosedur pelayanan perizinan Diten Perhubungan laut, pada kenyataannya justru terjadi praktik Pungli. Lebih-lebih dengan dugaan sudah berlangsung lama dan melibatkan pejabat yang lebih tinggi, hal ini sangat mencerminkan bahwa praktik birokrasi dalam pelayanan publik yang seakan mentolerir praktik pungli.  Tanpa disadari, telah terjadi distorsi (ganguan) pada keterbukaan informasi publik yang dilaksanakan.

Pungli juga telah menjauhkan atau bahkan mengisolasi para pelaku dari akal sehat, sehingga antara perilaku dan bahasanya (dalam hal ini informasi publik yang telah disediakannya) tidak lagi seiring sejalan. Mereka tidak lagi menyadari akan komitmen semangat keterbukaan informasi publik untuk meniadaakan praktik menyimpang.

Pungli adalah jelmaan dari distorsi keterbukaan informasi publik yang berlangsung secara sistematis. Dapat dipahami Pungli itu terjadi secara kolektif karena melibatkan instrumen organisasi badan publik pemerintah. Dalam praktik Pungli, kekuasaan administratif yang dijalankan badan publik pemerintah masih menempatkan diri sebagai penguasa, bukan pelayan masyarakat. Kekuasaan administratif itu seakan berlangsung dengan cara-cara strategis melalui instrumen organisasi pelayanan publik untuk mencapai tujuan yang menyimpang. Dalam kondisi seperti ini, UU KIP hanya menjadi ornamen demokrasi yang menghiasi pelayanan publik.

Maka menjadi penting adalah menjaga kemurnian semangat Keterbukaan informasi Publik. Maka, sangatlah penting disadari bahwa revolusi mental itu belum usai. Harus ada indikator yang menentukan kesahihan setiap bentuk pelayanan publik. Keseriusan setiap badan publik dalam menjalankan amanat UU KIP tidak cukup hanya pada jalannya administrasi UU KIP, tetapi harus dapat mengukur manfaatnya pada bentuk-bentuk yang lebih ril, salah satunya melaui pelayanan publik.

Distorsi informasi publik akan tercerahi melalui perbaikan mental individu dalam badan publik, dari level pimpinan hingga karyawan. Diperlukan intervensi yang lebih sistematis untuk mengawasi tercapainya tujuan keterbukaan informasi publik. Intervensi itu diwujudkan instalasi peraturan/regulasi yang benar mengedepankan semangat keterbukaan.

Dalam hal pelayanan publik, intervensi itu dapat diwujudkan pada pemberlakuan hukum secara adil, pengawasan secara serius dan berkala oleh aparat penegak hukum, penindakan yang tidak hanya responsif tetapi juga mencegah terjadi praktik penyimpangan yang menodai semangat keterbukaan informasi publik.Serta yang terpenting adalah pemotongan jalur birokrasi yang tidak produktif dalam pelayanan publik, pelayanan yang hirarkis dan berbelit justru akan menjadikan masyarakat semakin pragmatis. Dan itu hanya akan menyuburkan praktik Pungli yang mendistorsi keterbukaan informasi publik. Keterbukaan Informasi Publik adalah hak konstitusi warga negara, maka kemurnian semangat itu adalah tanggung jawab kita sebagai warga negara untuk menjaganya. Keterbukaan Informasi Publik harus bebas dari Pungli.***

RONI ABDILLAH (Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Andalas)