JAKARTA, GORIAU.COM - Affirmative action (tindakan afirmatif) dalam undang-undang pemilihan umum (pemilu) lembaga legislatif belum mampu mendorong jumlah perempuan di lembaga legislatif agar representatifnya meningkatkan keterwakilan perempuan dalam partisipasi politik di lembaga politik formal seperti di dua lembaga legislatif nasional, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPR RI). Padahal, sejak reformasi berlaku intervensi politik tersebut.

Demikian disampaikan Gusti Kanjeng Ratu Hemas menyatakannya dalam seminar nasional bertema peran legislator perempuan dalam sistem parlemen di Indonesia dan Jerman di Ballroom Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta, Senin (16/2/2015), yang digelar The Habibie Center (THC). Makalahnya berjudul ''Rancang Bangun Gerakan Perempuan Senator dalam Dinamika Otonomi Daerah.''Senator Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang juga Wakil Ketua DPD RI ini menyatakan, aturan kuota dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 yang berlaku menjelang Pemilu 2004 dan UU 8/2012 yang berlaku menjelang Pemilu 2014 ternyata belum mampu memberikan pengaruh. ''Partisipasi politik perempuan di lembaga politik formal masih jauh dari ideal.''Sebagai kebijakan, affirmative action bertujuan agar kelompok/golongan tertentu (gender atau profesi) memperoleh peluang yang setara dengan kelompok/golongan lain dalam bidang yang sama. Affirmative action bisa juga berarti kebijakan yang memberi keistimewaan kepada kelompok/golongan tertentu. Dalam konteks politik, affirmative action mendorong agar jumlah perempuan di lembaga legislatif agar representatif.Hasil Pemilu 2014 menunjukan, tingkat keterwakilan perempuan mengalami penurunan baik di DPR RI yang hanya 17,6% (hasil Pemilu 2009 mencapai 18%) maupun di DPD RI yang hanya 26% (hasil Pemilu 2009 mencapai 28%). Kendati begitu, persentase tersebut masih lebih baik ketimbang hasil Pemilu 2004 untuk DPR RI yang mencapai 11%, dan DPD RI yang mencapai 19,8%. ''Penurunan jumlah keterwakilan perempuan ini bukan tanpa sebab.''Dia menguraikan beberapa tantangannya pada tataran kebijakan, komitmen, kualitas, dan ekspektasi. Menyangkut kebijakan, tantangannya ialah masih ada anggapan bahwa tindakan khusus sementara hanya belas kasihan dan bukan keharusan dalam membangun sistem demokrasi. Akibatnya, kebijakan tindakan khusus sementara masih setengah hati.Dalam UU 8/2012, affirmative action dalam 9 pasal yang mengatur keterwakilan perempuan, termasuk pemenuhan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam daftar bakal calon anggota DPR dan DPRD seperti pasal 55. Namun implementasinya lemah, karena tanpa sanksi bagi partai yang tidak memenuhinya.Mengenai komitmen, tantangannya ialah elit partai politik didominasi lelaki yang kurang sensitif gender. Akibatnya, berbagai kebijakan internal sering luput mempertimbangkan kebutuhan dan kepentingan kader perempuan. Sehingga, partai tidak memiliki mekanisme dan kemampuan memenuhi tindakan khusus sementara dalam undang-undang. Semestinya, partai berperan aktif dalam mempersiapkan kader perempuannya, yang salah satunya membuka kesempatan menjadi pengurus harian.Tantangan berikutnya kualitas kader perempuan. Keterwakilan perempuan sering dihadapkan pertanyaan mengenai kualitas. Padahal, pertanyaan ini tidak relevan karena tindakan khusus sementara bukan lahir dari ruang kosong, melainkan bertujuan untuk mengatasi gap kepemimpinan antara perempuan dan laki-laki.''Bagi saya, saat ini kuantitas menjadi prioritas sebab kualitas yang baik bisa dilakukan pascaketerpilihan asalkan disertai pendampingan intensif. Tantangan sesungguhnya adalah bagaimana perempuan yang terpilih dapat mengakses berbagai informasi dan aktif penuh di dalamnya. Maka dia mesti memiliki kepercayaan diri, keberanian, serta kemampuan komunikasi untuk menyampaikan gagasan dan pemahamannya. Untuk itu, diperlukan kesediaan perempuan terus belajar dan adanya ruang setara,'' ujar perempuan kelahiran Jakarta, 31 Oktober 1952, itu.Tantangan espektasi masyarakat juga masalah. Harapan publik yang tinggi akan keterlibatan perempuan di politik harus diimbangi oleh komitmen kaum perempuan dalam melahirkan kebijakan yang memberikan perlindungan bagi perempuan, termasuk kaum minoritas lainnya. ''Sayangnya sampai hari ini, budaya patriarki serta upaya domestifikasi peran perempuan masih berlangsung, sehingga perempuan yang aktif di luar rumah menjalani beban berlipat. Akhirnya peran perempuan di luar rumah masih tertinggal dari laki-laki.''Ketika masuk ke SenayanPermaisuri Sultan Hamengkubuwana X, yang raja Kasultanan Yogyakarta sejak tahun 1989, atau istri gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sejak tahun 1998 ini menegaskan, bagi dirinya, perjuangan baru dimulai ketika masuk ke Senayan. Khusus untuk anggota DPD RI, perjuangan perempuan berlipat-lipat tantangannya, karena calon anggota DPD RI bergerak sendiri tanpa bantuan partai.Selain itu, daerah pemilihan yang luas dan sulit karena melingkupi satu provinsi. Syarat persebaran dukungan kartu tanda penduduk (KTP) harus merata, yakni paling sedikit 50% jumlah kabupaten/kota. Kemudian,calon anggota DPD RI harus memiliki kemampuan komunikasi politik yang mumpuni mengingat proses pemilihannya semata disandarkan pada kekuatan personal. ''Ketiga poin itu menunjukan bahwa secara teori perempuan anggota DPD RI memiliki elektabilitas yang tinggi''. (rls)