KEKUASAAN itu cenderung korup (power tend to corrupt). Begitulah adagium yang diungkapkan Lord Acton bagaimana dekatnya kekuasaan politik dengan arah kebijakan yang dibuat. Kebijakan itu kadangkala melenceng jauh dari amanah rakyat karena adanya factor kepentingan yang cenderung menguntungkan diri pribadi atau kelompok-kelompok tertentu.

Kebijakan RTRW di Indonesia tentu saja sebuah keputusan publik yang harus dibuat oleh pihak pemerintah melalui Menteri KLHK. Hal ini bermua dari SK Menhut No. 673 SK No. 878 yang secara keseluruhan mengubah peta dan tata letak kawasan hutan di negeri ini. Akibatnya, terjadi berbagai kejutan di luar perkiraan banyak pihak terutama kalangan korporasi yang selama ini sudah memiliki izin pengelolaan lahan berupa HGU, HTI atau HGB. Bahkan, sejumlah korporasi yang memiliki perluasan lahan HGU dinyatakan berada di kawasan lindung.

Realitas ini berlanjut terus dengan diterbitkannya SK KLHK No. 903 yang kian menegaskan perubahan-perubahan signifikan tata letak kawasan yang sebelumnya diberi izin bagi sejumlah korporasi untuk memanfaatkannya. Sebaliknya, banyak pula permohonan sejumlah kepala daerah setingkat gubernur dan bupati/ walikota di negeri ini yang diabaikan meskipun sudah mengajukan data dan bahan-bahan pertimbangan yang sangat beralasan. Ada kesan bahwa SK tentang RTRW tersebut tidaki mengacu secara utuh padd peta hasil kerja Tim Terpadu (Timdu) yang sebelumnya sudah menjalankan tugasnya.

Betapa tidak? Bagi Riau sendiri yang sudah berdiri sejak tahun 1959 ternyata sejumlah kawasan pemukiman yang sudah dihuni beberapa dasawarsa ternyata dalam peta kehutanan ternyata masih dianggap sebagai kawasan hutan negara. Begitulah tidak sinkronnya data dan peta yang ada. Belum lagi, kebijakan-kebijakan baru yang dimunculkan oleh pejabat publik dalam rezim yang berkuasa cenderung mengedepankan kepentingan kelompoknya.

Pansus RTRW DPRD Riau yang sejak lama membahas soal penetapan RTRW yang baru tampaknya tak bisa lepas dari ‘cakar-cakar’ politik juga. Pansus yang dikomandoi Asri Auzar--politisi Demokrat--yang mendeklarasikan keberpihakannya pada kepentingan rakyat namun sering pula memiliki agenda diam-diam untuk menghajar pihak korporasi yang bisa-bisa berujung pada negosiasi atau penyelesaian transaksional.

Akibatnya, Pansus yang semestinya berkoordinasi berkonsultasi dengan KLHK sebagai lembaga awal yg menetapkan rancangan RTRW bersama kementerian atau lembaga teknis lainnya, seperti BPN, namun tiba-tiba membahasnya dengan pihak KPK. Padahal realitas di lapangan memperlihatkan, masih adanya tumpang tindih perizinan lahan yang dikelola pihak korporasi dengan penetapan pihak pemerintah sebagai kawasan lindung.

Jangan heran, akibatnya ada perkebunan rakyat dan korporasi yang sudah dikelola menjadi perkebunan sawit namun kini dinyatakan berada di kawasan lindung.

Gara-gara tidak adanya ketetapan final RTRW bagi Provinsi Riau dan kabupaten/ kota yang ada, terdapat 142 desa yang kini terdata berada di kawasan hutan atau HTI atau HGU. Padahal desa-desa ini yang sudah puluhan tahun berdiri sebagai wilayah administratif pemerintahan desa yang sah ternyata dalam pemetaan ulang terbaru termasuk ke dalam wilayah hutan negara.

Hal ini menjadi problema besar yang berdampak terhadap gerak laju pembangunan yang menggunakan uang negara melalui APBD atau APBN. Artinya, sepanjang status lahan di desa-desa tersebut belum dibebaskan sebagai kawasan non-hutan, maka aktivitas pembangunan pun dipastikan stagnan. Taka da seorang pun yang mau mengambil risiko akan diproses secara hukum karena melakukan aktivtas pembangunan di lahan yang status hukumnya tidak jelas.

Lama sekali kondisi ini berlangsung dalam penantian panjang yang bak tak berujung. Bahkan, Gubernur Riau, Arsyadjuliandi Rachman sempat bertemu dengan Presiden Jokowi melaporkan dilema status lahan terkait belum adanya pengesahan RTRW Provinsi Riau dan kabupaten/ kota. Waktu itu, digambarkan proses penyelesaian kasus RTRW Riau dapat dilangsungkan dalam rentang waktu satu bulan.

Kini waktu satu bulan itu sudah berlalu. Pastilah finalisasi masalah RTRW Riau ini bakal molor lagi. Tentu diperlukan itikad baik dan sinergitas yang kuat di antara pihak-pihak terkait baik di tingkat pusat maupun daerah. Keberadaan para wakil rakyat Riau baik di DPR RI maupun DPD RI sangat dinantikan agar mereka tidak hanya jadi ‘macan ompong’ yang tak peduli dengan persoalan yang berhubungan dengan kepentingan rakyat dan daerah Riau sendiri. Janganah para wakil rakyat ini lebih garang menekan pihak pemerintah daerah ketimbang menekan kekuasaan pusat yang juga sarat dengan kepentingan politik tertentu.

Adanya sinyalemen cengkeraman cakar politis di lembaga pemerintah dapat dirasakan dalam kasus penetapan RTRW bagi kawasan di Rohil yang selama ini disebut sebagai ‘Pulau Kambing.’ Bertahun-tahun, lahan di kawasan tersebut tak pernah mendapatkan izin untuk dikelola pihak korporasi meskipun sudah mengajukan permohonan. Ketika Kementeri LHK dipimpin oleh Menteri Siti Nurbaya yang jelas-jelas kader parpol Nasdem, secara diam-diam, kawasan ‘Pulau Kambing’ yang sejak dulu termasuk dalam wilayah teritorial Kabupaten Rohi, kini sduah beralih ke tangan pemerintah Sumut. Bahkan, kini sudah dimiliki perizinannya oleh korporasi tertentu.

Pembahasan Pansus RTRW nampaknya bakal berjalan panjang dan lama. Bayangkan saja, sampai kini terdapat 5 SK KLHK terkait RTRW, yang oleh Pansus meminta kepada Kementerian KLHK agar digabung menjadi 1 SK saja. Tapi, lagi-lagi patut dicurigai adaya kepentingan politik yang dimainkan oleh Siti Nurbaya yang terang-terangan menolak ususlan tersebut. Padahal usulan Pansus RTRW yang mengusulkan cukup 1 SK sebenarnya lebih tepat dan procedural untuk kepentingan ekonomi rakyat Riau.

Semakin lama RTRW kawasan Provinsi Riau ini belum difinalkan niscaya kendala-kendala pelaksanakaan pembangunan di sebagian kawasan Tanah Melayu Riau akan terbengkalai dan terkendala. Siapakah yang mampu mematahkan cakar politik di ujung jemari kekuasaan di lembaga yang berkompeten membuat sebuah keputusan publik? Walahualam!

* Yanto Budiman adalah Jurnalis Senior, Tinggal di Pekanbaru