48 Tahun sudah usia Bank Riaukepri. Sepintas Bank milik Pemerintah daerah ini tampak sehat-sehat saja. Apalagi setelah merayakan HUT nya beberapa waktu lalu, bank ini merilis kehebatan dan keberhasilan mereka di sejumlah media terkemuka di daerah ini. Namun ibarat penyakit yang dalam istilah kedokteran lazim disebut "silent deseas", ternyata bank Riau kepri taklah sesehat yang diberitakan di media. Meminjam istilah pengamat ekonomi Riau Viator Butar-butar, banyak "kudis-kudis" mematikan di tubuh Bank Riaukepri.

Dalam minggu ini saja, penyakit itu mulai muncul. Sejak Sabtu kemarin hingga Selasa, sistim IT Bank Riaukepri down. Akibatnya semua transaksi baik di ATM maupun di teller kantor tidak dapat dilakukan. Banyak nasabah yang komplen bahkan mengancam akan menarik dana mereka di Bank Riaukepri. Walau sistim IT nya sudah pulih kembali---dengan alasan gangguan jaringan--- namun trust (kepercayaan) masyarakat sudah mulai menurun, karena bank ini dinilai tidak memiliki sistim IT yang canggih. Padahal dulu semasa Erzon, kapasitas server sudah ditingkatkan dengan menambah server di TB Simatupang Jakarta dan Jondul. Adanya back up sistem jaringan berupa DRC yang merupakan server back up cadangan seharusnya tidak melumpuhkan secara total sistim BRK. Dan kontijensi plan dalam keadaan bermasalah pada IT akan mampu membuat BRK beroperasional. Ini justru sebaliknya banyak orang yang melakukan transaksi tidak bisa sama sekali. Itu baru satu kelemahan IT nya. Belum lagi soal kinerja keuangan.

Mencermati laporan keuangan Bank Riaukepri per Desember 2013 lalu, dengan hasil laba kurang lebih Rp 400 miliar lebih, bukanlah hal yang luar biasa. Karena ada beban yang seharusnya menjadi beban tahun lalu tidak dibiayakan seperti beban terhadap kewajiban Bank Riau terhadap pembayaran gedung Menara Bank Riau. Seharusnya laba Bank Riau bisa menembus Rp 1 Triliun jika perjalanan dinas Direksi dan biaya Sinar tebar Miliar dilakukan dengan benar. Justru beban sinar tebar miliar tidak diiringi dengan masuknya dana masyarakat. Hal itu terindikasi dari penurunan tabungan masyarakat dari Rp 3,1 T menjadi Rp 1,5 T. Atas dasar itu perlu dibuat kajian apakah program itu benar memberikan kontribusi dana atau hanya program mercusuar saja.

Belum lagi dana yang diperoleh dengan beban bunga tinggi yang tidak dapat dikelola oleh bagian kredit dengan benar yang mengakibatkan banyak kredit bermasalah. Buktinya NPL (Non Performing Loan) bruto cukup tinggi menembus angka Rp 1,7 T, walau secara persentase memang masih 3,28 atau dibawah ketetepan BI. Namun secara nominal kolektibility 2-5 ini sangat berbahaya. Kredit yang diberikan dengan bunga yang lebih rendah dari beban dana juga membuktikan kalau manajemen tidak mampu mengelola bank secara benar dan profesional.

Disisi lain, kalau kita mencermati kasus hukum yang terjadi di Bank Riau menandakan adanya kesan pembiaran dan persekongkolan dari atas hingga bawah. Kasus obligasi yang merugi misalnya, telah dibidik Kejaksaan Tinggi Riau, dimana obligasi sudah jatuh tempo hampir setengahnya. Kejahatan yang sama juga terjadi dalam dugaan penyelewengan pengelolaan dana pensiun, dimana sepertinya Direksi dengan sengaja menunjuk seseorang memegang jabatan sampai tiga periode dan menempatkan orang-orangnya untuk mengamankan dana pensiun yang telah merugikan karyawan Bank Riau.

Parahnya lagi, dalam penerapan Good Corporate Governance (GCG), Bank Riau masuk dalam peringkat 3-4. Artinya Bank ini telah gagal menerapkan GCG. Indikasi kegagalan itu terlihat dalam sistim rekrutment karyawan yang saban tahun kental dengan aroma nepotisme. Bahkan, di jajaran komisaris ada yang sejak berdiri hingga sekarang masih tetap menjabat dengan gaji berkisar Rp60 sampai 80 juta per bulan. Plus tantiem per tahun Rp 1 Miliar.

Kalau kondisi ini terus berlangsung, plus jabatan Direktur Utama tak segera diisi, kita khawatir Bank Riaukepri yang menjadi andalan masyarakat Riau bisa kolaps atau paling tidak "megap-megap" ditengah derasnya arus persaingan perbankan dewasa ini. Apa yang menjadi gagasan dan keinginan Erson mantan Dirut Bank Riau untuk menjadikan Bank Riau menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan mampu bersaing dengan bank-bank devisa lainnya (BPD Regional Champion), akan terus menjadi mimpi yang tak kan pernah terwujud. Bank Riaukepri hanya sehat diluar tapi sakit didalam. ***