JAKARTA - Kuasa Hukum PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), Hamdan Zoelva mengatakan, persoalan yang tengah dihadapi RAPP merupakan bentuk ketidakadilan dan membuat ketidakpastian hukum bagi iklim investasi.

Hal tersebut disampaikan Hamdan, menanggapi adanya pembatalan Rencana Kerja Usaha (RKU) RAPP melalui SK 5322/MenLHK-PHPL/UPH/HPL.1/10/2017 tentang Pembatalan Keputusan Menteri Kehutanan SK.173/VI-BPHT/2010 dan SK.93/VI-BPHT/2013. Yang menurutnya masih belum habis masa berlakunya.

"Anehnya rencana pembatalan ini dilakukan secara sepihak oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)," ujarnya kepada wartawan, Jumat (8/12/2017) di Jakarta.

"Inilah yang jadi soal bahwa KLHK tidak memiliki dasar untuk mencabut RKU itu, karena kalau itu dicabut maka sebenarnya RAPP tidak boleh menanam, memelihara dan menebang, jadi tidak ada dasarnya lagi untuk melanjutkan operasionalnya," timpalnya.

Lebih lanjut Hamdan menyebutkan, Peraturan Pemerintah (PP) No. 71 Tahun 2014 jo PP No. 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut pasal 45 butir a menjelaskan, izin usaha dan/atau kegiatan untuk memanfaatkan Ekosistem Gambut pada fungsi lindung Ekosistem Gambut yang telah terbit sebelum Peraturan Pemerintah ini, berlaku dan sudah beroperasi, maka dinyatakan tetap berlaku sampai jangka waktu izin berakhir.

"Ya kalau menurut peraturan peralihan, RAPP ini termasuk pada butir pertama, kenapa? Karena kita sudah melakukan kegiatannya, semua sudah jalan. Kalau dicabut ditengah jalan, maka akan merusak tatanan yang sudah ada," tukasnya.

"Sekali lagi, prinsipnya tidak boleh mengganggu izin yang sudah diberikan, yang kemudian dikembangkan menjadi seakan-akan RAPP melawan pemerintah karena besar," tegasnya.

Jika dituding melawan pemerintah kata dia, hal ini juga tidak benar dan sangat bias. "Kalaupun melawan, itu bukan melawan karena serakah, tapi ini melawan karena ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Logikanya, apalah RAPP ini bisa melawan pemerintah," jelas Hamdan lagi.

Untuk itu, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini meminta kepada pemerinta, agar benar-benar memperhatikan masalah ini dengan baik, sehingga dapat memberikan kepastian hukum terhadap RAPP yang akan berpengaruh pada iklim investasi.

"Kalau mau disuruh mengubah, tunggu saja habis periode RKU nya, jangan langsung diputus di tengah jalan, ini sebuah tindakan yang sembrono, dan akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Kemudian dicari pembenaran, boleh melakukan pemanenan, tapi tidak boleh menanam. Ini dari mana aturannya," katanya.

Ketika disinggung dari perspektif KLHK yang mengharuskan perusahaan menyesuaikan dengan peraturan yang ada, Hamdan menyatakan dalam prinsip hukum universal, sebuah hukum tidak boleh berlaku surut atau dikenal dengan azas non retroactive.

"Jika memang benar demikian hukumnya, apakah pemerintah mau bertanggung jawab jika dipersoalkan orang lain di kemudian hari," ujarnya.

Hamdan menegaskan langkah yang dilakukan RAPP ini bukanlah bentuk gugatan apalagi perlawanan, akan tetapi sebuah permohonan terhadap keberatan kepada KLHK melalui pengadilan agar dikabulkan.

Sebab, selama ini katanya lagi, surat permohonan keberatan seperti diabaikan oleh Kementerian. Menurut hukum, permohonan keberatan yang diajukan, jika lebih dari 10 hari kerja tidak dijawab, keberatan dianggap dikabulkan, kemudian ditindaklanjuti sesuai aturan yang berlaku.

"Inilah dasar kita mengajukan ke PTUN untuk mengesahkan permohonan keberatan agar dinyatakan dikabulkan," pungkasnya. ***