PEKANBARU - Badan Standarisasi Nasional (BSN) menetapkan 17 Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang penanggulangan kebencanaan sebagai acuan pemerintah pusat dan daerah dalam melakukan penanganan bencana baik mitigasi maupun antisipasi terhadap potensi bahaya yang terjadi.

Kepala Seksi Pencegahan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau Mitra Adhimukti, Rabu (11/5), menyebutkan dari 17 SNI itu di antaranya adalah sistem peringatan dini gerakan tanah, sistem peringatan dini tsunami, manajemen pelatihan kesiapsiagaan terhadap bahaya erupsi gunung berapi, dan lainnya.

Terkait kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang menjadi permasalahan di Riau, SNI yang ada hanya baru berupa pemetaan rawan kebakaran hutan dan lahan skala 1:250.000 (SNI 8742-2019), Alat pemadam kebakaran hutan- Kepyok/pemukul api-Spesifikasi teknis (SNI 7892-2013), Alat pemadam kebakaran hutan- Pompa punggung (Backpack pump) -Unjuk kerja (SNI 7893-2013), Alat pemadam kebakaran hutan- Suntikan gambut (Peat Injector) -Spesifikasi teknis (SNI 7894-2013) dan Alat pemadam kebakaran hutan- Tangki air lipat (collapsible tank)-Spesifikasi (SNI 7895-2013). Belum ada SNI tentang tata Kelola/penganggulangan karhutla.

Dijelaskan Mitra, saat ini SNI terkait kebencanaan lain yang diimplementasikan di Riau yaitu Desa dan kelurahan tangguh bencana (Destana), SNI 8357:2017. Standar dalam membentuk Desa/Kelurahan Tangguh Bencana itu adalah membentuk forum pengurangan risiko bencana (FPRB), kemudian forum ini membuat kajian risiko bencana (KRB) skala desa dengan mengidentifikasi risiko, ancaman, kerentanan dan kapasitas sesuai bencananya.

Selanjutnya FPRB akan menyusun Rencana Aksi Desa (RAD) atau Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) mengacu kepada KRB yang telah disusun sebelumnya. Kemudian ini dipresentasikan di hadapan seluruh stakeholder baik aparat desa, instansi/dinas terkait, bahkan anggota dewan perwakilan rakyat dapil yang merupakan dapil desa tersebut.

“Hal ini untuk mengatasi permasalahan-permasalahan kebencanaan baik dari segi teknis maupun pembiayaan.” terang Mitra.

"Kalau perlu nanti diwujudkan aksinya itu, bukan hanya sekedar rencana. Contohnya bila kita membentuk Destana tematiknya tentang karthutla, maka aksinya adalah sosialisasi buka lahan tanpa bakar, patroli dan pemadaman dini selama dua hingga tiga bulan, tergantung ketersediaan anggaran," lanjutnya.

Adapun Destana yang sudah terbentuk di Riau yaitu Dumai dan Pelalawan terkait karhutla serta Kampar dan Siak dengan tematik bencana banjir.

"Dan mungkin 2023 akan direncanakan Destana di Rohil," sebut Mitra.

Untuk menentukan SNI tentu diperlukan kriteria-kriteria khusus, dan Mitra mengaku sebetulnya belum tahu persis terkait kriteria tersebut, sehingga delapan provinsi yang rawan akan Karthutla juga belum mengetahui SNI terkait tata kelola atau penganggulangan Karhutla.

"Mungkin bila sudah tahu kriterianya dan sudah dibimbing bagaimana cara menyusunnya, bisa jadi SNI tata kelola penanggulangan karhutla akan dibuat. Masalahnya kami juga belum terlalu memahami ketentuan kriteria untuk diajukan menjadi SNI," tuturnya.

Mitra menyebutkan standar SNI pun tak bisa serta merta hasilnya akan maksimal untuk seluruh daerah, mengingat karakteristik bencana di tiap daerah berbeda. Sebab hal itu merupakan standar untuk diikuti dengan tujuan agar jangan sampai di bawah standar tersebut. Sebab bisa saja penanganannya bencananya berbeda di tiap lokasi.

"Contohnya erupsi gunung berapi di Gunung Merapi berbeda dengan di Gunung Sinabung. Namun karena ada SNI nya, maka secara garis besar inilah yang akan diikuti," pungkasnya Mitra. ***