PEKANBARU - Akademisi Universitas Riau Mexasai Indra menilai seorang presiden pun tidak memiliki kewenangan melarang putusan Mahkamah Agung yang merupakan lembaga peradilan tertinggi.

Mexasai kepada wartawan di Pekanbaru, Rabu mengatakan hal tersebut menanggapi upaya penolakan eksekusi lahan perkebunan sawit seluas 3.323 hektare di Kabupaten Pelalawan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap oleh MA.

Berbagai penolakan disampaikan oleh masyarakat, legislator hingga sejumlah pakar hukum dan akademisi. Mexasai menilai adanya penolakan sebagai bentuk intervensi itu merupakan pelanggaran konstitusi negara.

"Jika ada lembaga negara lain yang melakukan intervensi termasuk Presiden sekalipun merupakan pelanggaran terhadap konstitusi negara," katanya.

Dia menyebutkan bahwa eksekusi yang dilaksanakan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Riau itu merupakan tindak lanjut putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijs).

Putusan itu tertuang dalam putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 1087 K/PID.SUS.LH/2018, Desember 2018. Dalam putusan disebutkan luas lahan yang kini dieksekusi dengan ditumbangkan paksa oleh belasan hingga puluhan ekskavator itu mencapai 3.323 hektare.

Menurut putusan disebutkan lahan itu dirampas untuk dikembalikan ke Negara melalui Dinas LHK Riau cq PT NWR. Rinciannya luasan lahan, milik petani sekitar 1.280 hektare sementara sisanya milik bapak angkat, PT PSJ.

"Dan setiap putusan  pengadilan berlaku asas resjudicata vapoir tate hebiture atau setiap putusan hakim dianggap benar," ujarnya.

"Pelaksanaan eksekusi  bersumber dari konsep kedaulatan negara dan kedaulatan hukum. Karena eksekusi bersumber dari putusan  pengadilan dan  konsep kedaulatan negara dan konsep kedaulatan hukum, maka setiap warga negara berkewajiban untuk menghormatinya, jika ada yang menghalang2inya maka tindakan tersebut dapat dikualifikasi sebagai bentuk contempt of court atau penghinaan terhadap pengadilan," jelasnya.

Mexasai pun menyinggung bahwa jika ada pihak-pihak yang merasa tidak puas dengan putusan pengadilan, maka harus ditempuh dengan upaya hukum lainnya. Termasuk peninjauan kembali sesuai dengan konsep prosedural justice.

"Atau sekiranya dalam proses persidangan ada hal-hal yang dianggap janggal dapat melaporkan ke Komisi Yudisial sebagai lembaga yang berwenang untuk menegakkan kode etik (code of etic) prilaku hakim, itulah konsekuensi dari ajaran negara hukum," tuturnya.

https://www.goriau.com/assets/imgbank/03022020/maxsasisai-8572.jpgPakar Hukum Tata Negara Universitas Riau, DR Mexsasai Indra.

Sementara menurut DR Erdiansyah SH MH, pakar hukum Pidana UNRI menyebutkan, putusan peradilan yang sudah in kracht van geweistge tidak dapat lagi diadakan perlawanan. Kalaupun ada upaya hukum luar biasa seperti peninjauan kembali, upaya hukum tersebut tidak menunda dilaksakannya eksekusi. "Asas hukum menyatakan lex dura septimen scripta, hukum itu keras tetapi harus ditegakkan. Dalam sebuah putusan tentu ada pihak yang merasa tidak diuntungkan atau ada tetapi itu lah putusan pengadilan. " jelasnya.

Katanya lagi, Jaksa selaku eksekutor tidak punya opsi untuk melakukan eksekusi atau tidak karena memang sudah kewajibannya melaksanakan putusan. Dalam melakukan eksekusi, jaksa tentu tidak sendiri, perlu melibatkan pihak lain. "Contoh dalam eksekusi putusan berupa pemidanaan, jaksa melakukan eksekusi dengan cara menyerahkan terpidana ke Lembaga Pemasyarakatan bukan dengan cara Jaksa yang langsung memasukkan terpidana ke dalam Lapas. Petugas Lapas lah yang selanjutnya menempatkan terpidana ke dalam tempat-tempat Menurut ketentuan Pemasyarakatan demikian pula dengan eksekusi putusan berupa perampasan barang-barang tertentu Jaksa dibantu oleh petugas penegak hukum yang lain." papar Erdiansyah.

Dia juga mengatakan, dalam putusan perkara ini dinyatakan bahwa ke negara hukum yang juga dilibatakan dalam melaksanakan eksekusi adalah dinas kehutanan yaitu untuk menertibkan kawasan yang dieksekusi sebagaimana yg dinyatakan dalam amar putusan." Anggota DPR atau DPRD melaksanakan fungsi pengawasan, budgeting dan legislasi, dalam hal ada keluhan masyarakat anggota legislatif dapat melakukan pengawasan tetapi tidak dalam bentuk menghalangi proses eksekusi karena pelaksanaan eksekusi adalah kewajiban hukum yg harus dilaksanakan oleh penegak hukum," tegasnya.

Seperti diketahui sebelumnya, nama perusahaan asal Singapura, Heeton Investment Pte Ltd ikut terseret dalam pusaran kasus pemanfaatan kawasan hutan secara ilegal di Provinsi Riau.

Perusahaan yang di negara asalnya bergerak di bidang properti ini, ikut menanamkan modal sebesar 50 persen di perkebunan kelapa sawit yang sebelumnya dikelola secara penuh oleh PT Peputra Supra Jaya (PSJ).

Berdasarkan penjelasan pada situs resmi Mongabay.co.id, Heeton Investment bergerak dalam pengembangan dan investasi properti di Singapura. Ia dipelopori Toh Khai Cheng, selaku pendiri dan direktur perusahaan sejak 1976. Perusahaan terdaftar di Bursa Efek Singapura sejak 8 September 2003.

Saat ini, Heeton dipimpin Toh Giap Eng, selaku Executive Deputy Chairman. Heeton banyak menjalin kemitraan untuk pengembangan properti baik di Singapura maupun Kuala Lumpur. Ini juga tidak jauh berbeda dengan gurita bisnis PT PSJ yang didirikan pada tahun 1995 lalu oleh Sinmardi Taman, yang memiliki nama lahir Pek Sing Tjong dan meninggal dunia pada Maret 2017 lalu. Selain bidang perkebunan, PT PSJ juga bergerak di bidang pengembangan properti, mall dan perhotelan.

PT PSJ yang sebelumnya merupakan perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri, pada pertengahan tahun 1996 menjadi perusahaan Penanaman Modal Asing dengan menyertakan saham Heeton Investment Pte Ltd dalam bisnis perkebunan kelapa sawit di Riau.

Founder Rumah Nawacita, Raya Desmawanto, MSi mengatakan, dari hasil penelusuran dan pemberitaan Mongabay.co.id sebagai media kredibel berpusat di Amerika Serikat tersebut, patut ditindaklanjuti pasca-terbitnya putusan Mahkamah Agung nomor 1087/Pid.Sus.LH/2018 tanggal 17 Desember 2018.

"Berdasarkan putusan mahkamah agung, kita melihat perkebunan kelapa sawit yang dikelola PT PSJ di langgam, kabupaten pelalawan riau dengan luas lahan 3.323 hektare itu ternyata berada di kawasan hutan negara. Ironisnya lagi, penggunaan lahan itu dilakukan tanpa izin, dan sudah terjadi selama belasan tahun,” ungkap Raya, Sabtu (1/2/2020).

Menurut informasi yang dihimpun, PT PSJ bersama mitranya asal Singapura itu hanya menguasai lahan seluas 1500 hektar. Ini mengacu pada Izin Usaha Perkebunan untuk Budidaya (IUP-B) sebagaimana Surat Keputusan Bupati Pelalawan nomor: Kpts.525.3/DISBUN/2011/113 tertanggal 27 Januari 2011. Namun fakta di lapangan, luas areal yang mereka jadikan perkebunan sawit kabarnya mencapai 9.324 hektare.

Artinya, di luar 3.323 hektar lahan yang sudah diputuskan melalui Mahkamah Agung, PT PSJ dan perusahaan mitranya dari Singapura disinyalir masih menguasai lahan secara ilegal seluas 4.592 hektare. Kuat dugaan, lahan inilah yang mereka jadikan sebagai areal kebun plasma yang diberikan kepada 8 koperasi pecahan dari Koperasi Sawit Raya yang bermitra dengan PT Peputra Supra Jaya.

Keterlibatan perusahaan asing yang ikut menanamkan investasi di lahan yang diduga ilegal itu, perlu dilakukan pendalaman secara khusus. Apalagi perusahaan sekelas Heeton Investment asal Singapura diyakini pasti memahami aturan yang berlaku. Termasuk kewajiban mereka untuk tunduk dan taat terhadap aturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

“Kebenaran informasi tentang keterlibatan pihak asing dalam pemanfaatan kawasan hutan secara ilegal di Indonesia itu harus ditelusuri. Pemerintah harus menjadikan ini sebagai prioritas perhatian. Ini bukan hanya soal perizinan, tapi lebih penting dari itu, yakni menyangkut masalah kedaulatan terhadap sumber daya alam,” ujar Raya.

Selain itu, ditegaskan Raya otoritas terkait khususnya Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan RI juga harus menelisik kewajiban pajak yang disetor oleh perusahaan yang ditengarai mengelola lahan/hutan secara ilegal. Hal tersebut selaras dengan rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi bahwa ada potensi hilangnya penerimaan negara dari penguasaan dan pengelolaan lahan/hutan secara ilegal.

"Negara membutuhkan penerimaan pajak yang optimal. Salah satunya dari sektor perkebunan dan kehutanan. Ketika ada informasi yang harus ditelusuri seperti ini, maka perangkat negara harus bergerak melakukan langkah konkret," tegas Raya.

Raya Desmawanto yang juga pendiri Relawan Jokowi Center Indonesia (RJCI) Riau ini menegaskan, pihaknya akan melakukan kajian secara khusus akan membawa persoalan itu ke pemerintah pusat.

“Ini sangat serius, tidak boleh dibiarkan. Inilah momentum untuk melakukan penataan agraria. Bukan tidak mungkin di daerah lain, hal yang sama banyak terjadi. Karena itu, otoritas terkait seperti Kementerian LHK dan Dirjen Pajak Kemenkeu harus responsif,” tegas Raya Desmawanto. (adv)