JAKARTA - Skotlandia meraup Rp746 miliar per tahun dari wisata berbasis mitos, yakni naga Nessie di DanauLochness. Indonesia, negeri di mana naga benar-benar ada dan melata, berencana menggarap Pulau Komodo menjadi wisata premium. Layakkah?

Rencana itu mengemuka Senin (30/9/2019) lalu setelah rapat rencana pengembangan Taman Nasional (TN) Komodo, Nusa Tenggara Timur, yang merupakan cagar biosfer hewan endemik Komodo (Komodo Dragon) pada 1977 dan world heritage pada 1991.

Rapat itu dihadiri Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar dan Gubernur NTT Victor Laiskodat. Siti menyebutkan bahwa Taman Nasional Komodo akan ditata menjadi wisata premium.

Terakhir, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Wishnutama bersama tim Kemenparekraf melakukan kunjungan kerja ke beberapa destinasi wisata super prioritas, termasuk di antaranya Pulau Komodo, pada Jumat (29/11/2019).

"Hari ini, kami mengeksplorasi beberapa sudut terindah Destinasi Super Prioritas ini dalam rangka mengawal progres pembangunan Labuan Bajo sebagai Destinasi Super Premium," kata Wishnutama dalam caption unggahan Instagramnya di Pulau Komodo.

Rencana tersebut sempat memicu pro-kontra di sosial media. Sebagian netizen menilai itu sebagai bentuk komersialisasi mengingat tiket masuk ke Taman Nasional Komodo direncanakan sebesar Rp14 juta. Sebelumnya tarif wisata ke Labuan Bajo hanya Rp350 Ribu dengan rincian

1. Pulau Komodo dan Pulau Rinca.2. Batu Cermin, Gua Rangko, Cunca Wulang dan Cunca Ramia.3. Diving dan Memancing.

Gubernur NTT Viktor B Laiskodat mengukuhkan kesan ini setelah terang-terangan menyatakan bahwa NTT hanya untuk wisatawan kaya. "Oleh karena itu wisatawan yang miskin jangan datang berwisata ke NTT, karena memang sudah dirancang untuk wisatawan yang berduit," kata Viktor Laiskodat di Kupang, NTT, Kamis (14/11), sebagaimana dikutip Detik.com.

Menurut catatan Tim Riset CNBC Indonesia, wisata premium bukanlah hal baru dalam praktik industri wisata global. Indonesia terhitung terlambat dibanding negara lain yang sudah menggarapnya, seperti Maladewa (Maldives), Australia, dan Selandia Baru (New Zealand).

Secara Natural Pulau Komodo Idealnya Wisata Premium, Tapi..Foto: Sumber: IE UniversityMengacu pada Selandia Baru, separuh dari wisatawan premium mereka berasal dari Negara Adidaya yakni Amerika Serikat (AS). Dalam strategi nasionalnya, mereka membidik wisata premiumnya secara ekslusif. Bukan untuk 15 juta kaum kaya dunia, melainkan 1,5 juta orang dari situ yang minimal penghasilannya adalah US$5 juta (Rp 70 miliar) setahun.

Secara Natural Pulau Komodo Idealnya Wisata Premium, Tapi..

Yang digarap bukan asal masyarakat tajir (high net worth individual/HNWI), melainkan pasar tajir melintir (very high HNWI) dan super tajir (ultra HNWI). World Wealth Report (2013) menyebutkan kaum elit ini membelanjakan minimal US$50.000 (Rp 700 juta) sekali kunjungan.

Melihat potensi wisatawan super tajir dunia, pemerintahan Joko Widodo pun tergiur untuk ikut mengembangkannya. Namun, seberapa besar peluang menyulap TN Komodo menjadi tujuan wisata premium? Berikut ini ulasannya.

Kami menggunakan barometer yang disusun oleh IE University dan Mastercard, untuk menyebut destinasi wisata sebagai tujuan ‘wisata premium’. Dalam proyek bernama Premium Travel Barometer (2016), mereka mematok 10 parameter untuk mengukur sebuah tempat wisata layak menjadi wisata premium.

Melihat potensi wisatawan super tajir dunia, pemerintahan Joko Widodo pun tergiur untuk ikut mengembangkannya. Namun, seberapa besar peluang menyulap TN Komodo menjadi tujuan wisata premium? Berikut ini ulasannya.

Kami menggunakan barometer yang disusun oleh IE University dan Mastercard, untuk menyebut destinasi wisata sebagai tujuan ‘wisata premium’. Dalam proyek bernama Premium Travel Barometer (2016), mereka mematok 10 parameter untuk mengukur sebuah tempat wisata layak menjadi wisata premium.

Sebagai satu-satunya lokasi “naga hidup” yang juga berstatus langka (dilindungi), biosfer TN Komodo secara natural memerlukan konsep wisata premium. Limpahan wisatawan yang terlalu banyak memang bisa merusak daya dukung ekologi Pulau Komodo bagi sang naga langka.

Keunikan dan kebutuhan alamiah Pulau Komodo tersebut secara otomatis membuatnya meraih tiga poin kelayakan dalam barometer wisata premium yakni personalisasi, pengalaman kembali ke alam, dan antrian-pemesanan.

Sifat premiumnya tidak berdasarkan pada aspek kemewahan, melainkan kelangkaan alamiah. Pemberlakuan kuota wisatawan akan membuat Pulau Komodo menjadi unik dan membagikan pengalaman ekslusif bagi pengunjung, meski tidak menyediakan paket wisata yang mewah--dalam pengertian masyarakat modern.

Dua poin lain yang berpeluang tersedia adalah jaringan internet dan pemesanan online. Lewat program internet desa (Warung Ides) oleh PT Indonesia Comnets Plus (anak usaha PLN), pemerintah telah membangun konetivitas di Labuan Bajo. Hanya perlu memperbesar skalanya.

Pemesanan online juga relatif sudah tersedia untuk melayani wisatawan. Demikian juga dengan kekayaan makanan Indonesia yang menyajikan pengalaman premium bagi wisatawan. Syaratnya, harus bisa mengemasnya menjadi sajian menu gastronomi yang ekslusif.

Total, Pulau Komodo memenuhi enam, atau separuh lebih barometer wisata premium versi IE University. Namun, masih ada empat pekerjaan yang menunggu untuk diselesaikan yakni desain pengalaman, manajemen kualitas, konsep kecil-itu-indah, dan bleisure.

Poin pertama terkait dengan branding dan marketing yakni desain pengalaman, dan tiga lainnya terkait dengan kemampuan mengonsep jasa layanan wisata premium, dikombinasikan dengan ketersediaan fasilitas premium (hotel dan restoran) serta infrastruktur dasar (air minum, sanitasi, dan listrik).

Ini yang menjadi tantangan terbesar pemerintah. Meski wisata berbasis keunikan alamiah, bukan berarti wisatawan premium tidak membutuhkan fasilitas akomodasi kelas wahid.***