JAKARTA - Wakil Ketua Komisi II DPR RI Syamsurizal menyampaikan, dari sekian besar jumlah penduduk Indonesia, sebagiannya adalah mereka yang duduk berprofesi sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).

Sepak terjang ASN ini diatur dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN. Undang-Undang tersebut merupakan undang-undang yang berawal dari UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.

Syamsurizal menyampaikan itu dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja Komisi II tentang RUU ASN bersama dengan Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Guru Tenaga Kependidikan Honor Non Kategori 35+ (GTKHN35+), Federasi Pekerja Pelayanan Pabrik Indonesia (FPPPI), dan Perkumpulan Honorer K2 Indonesia, di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (28/6).

RDPU tersebut, dilakasanakan untuk menyerap aspirasi dan menyaring informasi yang disampaikan para narasumber yang nantinya dijadikan sebagai bahan masukan penting bagi Tim Panja dalam melakukan pembahasan perubahan UU ASN itu.

"25 tahun sesudah (UU Nomor 8 Tahun 1974) itu lahirlah UU Nomor 43 Tahun 1999. Dan baru 15 tahun sesudahnya dilahirkan UU Nomor 5 Tahun 2014 ini. Dari sisi waktu itu kita bisa melihat betapa perlu dilakukan semacam justifikasi penyesuaian terhadap Undang-Undang Kepegawaian yang menyangkut aspek-aspek kehidupan dari para Pegawai Negeri Sipil kita dengan perkembangan situasi dan zaman serta kemajuan teknologi," ungkap Syamsurizal.

Setelah tujuh tahun, sambungnya, saat ini mulai ditinjau kembali relevansi dari UU Nomor 5 Tahun 2014 ini. "Oleh karena itu kami memerlukan masukan dari para narasumber yang ada. Kami berharap para narasumber yang hadir ini bisa menyampaikan pandangan dan masukannya, dan kita akan menerima dan menyerap sebagian besar dari apa yang disampaikan oleh para narasumber dengan perangkat teknik yang ada pada saat ini," tegasnya.

Sementara itu, Guru Besar Universitas Indonesia Prof Dr Eko Prasojo mengatakan pengangkatan honorer menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) harus melewati seleksi. Jika pengangkatannya tanpa tes, itu tidak sesuai dengan sistem merit.

"UU ASN semangatnya adalah penerapan sistem merit. Saya sepakat saja kalau honorer diangkat PPPK asal tidak bertentangan dengan sistem merit," kata Prof Eko dalam rapat tersebut.

Dia menyadari desakan berbagai pihak agar honorer diangkat menjadi ASN baik PNS maupun PPPK. Namun, bukan berarti diangkat tanpa melewati seleksi.

Prof Eko menyarankan honorer yang diangkat PPPK diberikan afirmasi daripada diangkat begitu saja (tanpa tes). "Tidak masalah pengangkatan honorer menjadi PPPK diberikan afirmasi," ujar Eks Wakil Menpan-RB itu.

Lebih lanjut, Eko mengatakan untuk mendapatkan SDM unggul sesuai cita-cita Presiden Joko Widodo, butuh birokrasi yang lincah. Itu sebabnya, seorang ASN akan dilihat pada kompetensinya. "Jadi, ASN nanti bisa rolling dari instansi satu ke lainnya, dari pusat ke daerah. Demikian sebaliknya karena yang dilihat kompetensinya," tegas Eko.

Narasumber lainnya, yakni Ketua Umum Federasi Pekerja Pelayanan Publik Indonesia (FPPPI), Alfonsius Matly mengatakan, tenaga honorer di instansi pemerintahan saat ini punya dua ketakutan. Dua ketakutan itu, akan selalu menghantui selama status mereka belum pasti.

Hal tersebut dia sampaikan dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama panitia kerja (Panja) Revisi UU ASN. "Karena kami honorer ini, jujur saja. Ada dua alternatif yang selalu terbayang dan selalu ada dalam hati kami," katanya.

Pertama, mereka takut jika gaji mereka tidak dibayarkan. Kedua, mereka takut kalau nanti mereka dipecat. "Pertama kami takut gaji tidak dibayar. Kedua kami takut yang lebih parah lagi, kami dipecat," ujar dia.

Karenanya, kata dia, atas dasar dua ketakutan itu, tenaga-tenaga honorer siap dan rela melakukan apa saja yang diperintahkan. "Jadi apa yang lakukan? Selama ini, sepanjang hidup kami kami bekerja di bawah naungan pemerintah apapun yang diperintahkan oleh pegawai pejabat ASN tetap kami lakukan," ungkap dia.

"Yang tidak kami lakukan cuma satu, jalan ke liang kubur. Karena kami tahu kalau kami ke sana akan mati. Jadi kami honorer sudah sangat menderita," tandas Alfonsius.

Dalam rapat tersebut, Ketua Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Moh. Najih mengusulkan agar revisi UU nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) juga mengatur terkait kedudukan Pimpinan ORI sebagai pejabat negara.

"Karena ini ada usulan perubahan UU ASN yaitu kaitan dengan penyebutan kedudukan Pimpinan ORI sebagai pejabat negara," kata Moh Najih.

Dia menjelaskan, fungsi, tugas, dan kewenangan ORI yang luas belum dapat dimaksimalkan karena selalu terbentuk budaya hirarkis birokrasi dan posisi protokorer lembaganya yang kurang diperhatikan. Karena itu dia mengusulkan agar dipertimbangkan pimpinan ORI sebagai representasi pejabat negara yang diberi tugas dan wewenang menjalankan tugas negara. "Jika memungkinkan bisa ditambahkan usulan kami ini dalam Pasal 122 revisi UU ASN," ujarnya.***