PEKANBARU - Pemerintah daerah di Riau sebagai pemiliki saham BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) yang bekerja disektor Migas, harus mengambil langkah strategis untuk memperbaiki manajemen di tubuh badan usaha plat merah tersebut. Pasalnya, akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan dan sumberdaya manusia (SDM) pada perusahaan tersebut belum baik dan professional.

Manager Advokasi Fitra Riau, Taufik melalui siaran resminya Kamis (17/2/2022) mengatakan, Fitra Riau dan masyarakat sangat mendukung, langkah pemerintah daerah untuk mengambil bagian dalam pengelolaan usaha hulu Migas yang menjadi salah satu kekayaan SDA strategis di Riau. Namun, hal yang sangat penting adalah BUMD yang ditetapkan harus dikelola dengan baik dan professional agar kesejahteraan masyarakat yang menjadi tujuan bersama benar-benar dapat tercapai.

“Terdapat dua BUMD yang saat ini menjadi pengelola usaha hulu Migas di Riau yaitu PT. Bumi Siak Pusako, PT. Sarana Pembangunan Riau (SPR) Langgak. Kemudian PT. Riau Petrolium sebagai pengelolan PI (Partisipasi Interest) di Blok Siak. Namun, manajemen pengelolaan ketiga perusahaan itu belum dapat dikatakan baik, kredibel dan professional,’’ tegas, Taufik.

Misalnya, PT. Bumi Siak Pusako (BSP), perusahaan pengelola Blok Coastal Plains and Pekanbaru (CPP) yang bekerjasama dengan PT. Pertamina Hulu Energi (PHE). Merujuk pada Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI, atas pengelolaan kegiatan operasional BUMD Migas PT. BSP tahun 2018-2020, menemukan sedikitnya Rp39,3 miliar pengeluaran perusahaan yang bermasalah dan potensi merugikan keuangan negara.

“Temuan tersebut, berasal beberapa komponen pembiayaan seperti biaya entertainment, perjalanan dinas, pengelolaan dana CSR, biaya promosi perusahaan, sampai kepada pengelolaan gaji. Terdapat beberapa temuan yang berpotensi merugikan negara. Dan ini harus diperbaiki, apalagi 2022 ini PT BSP akan menjadi pengelola tunggal Blok CPP,’’ sebut Taufik.

Masih di PT BSP, Taufik mengatakan, manajemen pengelolaan sumberdaya manusia (SDM) juga belum professional. Pada beberapa posisi strategis di perusahaan itu ditenggarai diisi oleh orang-orang dekat dengan kekuasaan yang berpotensi konflik off interest. Begitu juga perwakilan pemerintah (pemilik saham) dalam struktur komisaris juga masih menggunakan pejabat aktif pemerintah, yang berpotensi tidak mampu bekerja maksimal, karena banyak yang diurus.

Sementara, BUMD pengelola hulu Migas PT SPR Langgak, juga ditenggarai memiliki masalah yang sama. Bahkan parahnya perusahaan ini sangat tertutup, publik tidak bisa mengakses laporan tahunannya melalui melalui website resmi perusahaan sehingga publik tidak bisa tahu bagaimana kinerja perusahaan ini. 

“Seharusnya perusahaan BUMD, apalagi pengelola hulu Migas lebih professional dan terbuka. Laporan perusahaan harus tersedia dan mudah diakses publik,’’ jelas Taufik.

Fakta temuan yang menunjukkan akuntabilitas pengelolaan keuangan di BUMD Migas belum baik dan sumber daya manusia yang tidak professional ditenggarai sebagai faktor penyebab mengapa kinerja BUMD Migas di Riau belum baik, seperti minimnya kontribusi terhadap pendapatan daerah di Riau akibat biaya operasioanal yang tidak terkendali.

Kontribusi PT BSP terhadap pendapatan daerah untuk lima daerah pemilik saham (Provinsi, Siak, Pelalawan, Pekanbaru, dan Kampar tahun 2020 sebesar Rp82,8 miliar. Angka tersebut menurun 8,2% dari tahun 2019 yaitu sebesar Rp90,2 miliar. Sementara BUMD Migas yang minim kontribusinya terhadap pendapatan daerah adalah PT. SPR Langgak. Dalam empat tahun (2017-2020) perusahaan plat merah ini hanya menyumbang deviden sebesar Rp1,8 miliar. Bahkan tahun 2017 dan 2018 tidak ada sama sekali kontribusinya terhadap pemilik saham 99% (Provinsi Riau).

Pembenahan perusahaan BUMD mutlak harus dilakukan khususnya oleh pemerintah sebagai pemilik saham di perusahaan Migas itu. Memastikan pengelolaan SDM professional, publikasi laporan tahunan di website, perbaikan akuntabilitas keuangan adalah hal-hal penting yang harus dilakukan aAgar tujuan hasil sumberdaya untuk kesejahteraan masyarakat dapat terwujud. ***