JAKARTA – Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengendus adanya dana Rp45 triliun yang terindikasi sebagai hasil tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Dikutip dari Kompas.com, Ketua Humas PPATK M Natsir Kongah mengungkapkan, sebagian dana tersebut disinyalir mengalir ke sejumlah politikus yang digunakan untuk membiayai pemenangan para politisi pada Pemilu 2019 lalu dan Pemilu 2024.

"Dari total indikasi tindak pidana pencucian uang di kejahatan green financial itu ada Rp45 triliun. Di mana di antaranya mengalir kepada politikus,” kata Natsir dalam acara Satu Meja Kompas TV dikutip Jumat (17/3/2023).

“(Digunakan) pada periode sebelumnya, Pemilu 2019. Itu diduga juga untuk persiapan pemilu selanjutnya,” sambungnya.

Natsir mengatakan, dana Rp45 triliun tersebut berasal dari green financial crime atau kejahatan finansial di bidang kehutanan, lingkungan hidup, serta perikanan dan kelautan.

Menurut penelitian PPATK, setiap periode pemilu akan muncul gejala kejahatan serupa yang polanya hampir sama. “Seperti misalnya memberikan izin terhadap penggalian tambang atau lahan,” ungkap Natsir.

Temuan tersebut telah dilaporkan PPATK ke penyidik Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selanjutnya, menjadi kewenangan penyidik untuk menindaklanjuti.

Ketua PPATK 2002-2011 Yunus Husein membenarkan bahwa ada pola-pola kejahatan tertentu yang terjadi setiap menjelang pemilu. Karena itu, patut muncul dugaan dana gelap hasil kejahatan tersebut turut mengalir ke kontestasi pemilu.

"Setiap jelang pemilu biasanya kredit macet cenderung meningkat, bank yang dibobol pasti ada, skandal-skandal seperti itu pasti ada,” ujar Yunus.

Terkait tindak lanjut temuan tersebut, kata Yunus, sepenuhnya menjadi kewenangan penyidik. Dalam hal ini, PPATK berperan layaknya pemain gelandang dalam pertandingan sepak bola, memberikan umpan berupa temuan tindak kejahatan.

Selanjutnya, umpan tersebut diproses oleh para pemain penyerang atau striker, yakni para penyidik dari aparat penegak hukum.

Yunus pun memastikan bahwa setiap indikasi kejahatan yang ditemukan PPATK bakal diteruskan ke aparat penegak hukum. Selanjutnya, menjadi kewenangan penyidik untuk menindaklanjutinya.

“Penyelidikan itu memerlukan waktu biasanya tidak langsung bisa, karena mencari bukti permulaan itu dari setiap unsur yang diduga dilakukan itu perlu waktu. Tapi PPATK kalau ada indikasi pidana pasti ke penyidik,” katanya.

Hal serupa pernah disampaikan oleh Plt Deputi Analisis dan Pemeriksaan PPATK, Danang Tri Hartono. Dia menyebut, sedikitnya uang Rp1 triliun hasil kejahatan lingkungan mengalir ke partai politik untuk pembiayaan Pemilu 2024.

"Luar biasa terkait GFC (green financial crime) ini. Ada yang mencapai Rp1 triliun (untuk) satu kasusnya dan itu alirannya ke mana, ada yang ke anggota partai politik," kata Danang dalam Rapat Koordinasi Tahunan PPATK di Jakarta, Kamis (19/1/2023).

Menurut Danang, kejahatan lingkungan seperti itu, dengan aliran dana semacam ini, bukan dilakukan aktor independen, melainkan secara bersama-sama.

"Ini bahwa sudah mulai dari sekarang persiapan dalam rangka 2024, itu sudah terjadi," tuturnya.***