PEKANBARU - Perkembangan industri migas (minyak dan gas) di Riau merupakan potret perjalanan sebuah peradaban. Berkelindan dengan kearifan dan budaya lokal, industri ini turut berkontribusi terhadap perkembangan wilayah, ekonomi, maupun sumber daya manusia yang unggul. Dan, perkembangan serta kemajuan Provinsi Riau tak bisa dilepaskan dari peran industri migas.

Sultan Syarif Kasim II pernah mengeluhkan nasibnya saat melihat Kesultanan Deli maju pesat setelah dilepaskan dari Kerajaan Siak Sri Indrapura oleh Belanda. Tanah Deli yang awalnya tidak punya apa-apa, dikembangkan oleh Belanda menjadi distrik pertanian ekspor paling kaya di seluruh Nusantara.

Kisah tersebut ditulis oleh Richard H Hopper dalam buku Ribuan Tahun Sumatera Tengah ~ Sejarah Manusia, Rempah, Timah & Emas Hitam (2016).

Sebenarnya, saat itu Kerajaan Siak sudah menikmati pendapatan dari minyak bumi yang diberikan oleh perusahaan minyak Nederlandsche Pacific Petroleum Maatschappij (NPPM). Namun, Siak selaku tuan rumah hanya menerima bagian berupa empat persen pajak penghasilan para buruh minyak yang bekerja di wilayah kesultanan.

Sultan pun tidak bisa apa-apa ketika melihat Tanah Deli, yang kini bernama Medan, Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara, menjadi lebih kaya. "Alangkah pahitnya kenyataan ketika melihat Sultan Deli hidup dalam istana megah di kota yang indah. Sementara Sultan Syarif Kasim II masih tersuruk dalam keterasingan di perkampungan Siak yang sama sekali tidak ada jalan raya," tulis Hopper dalam bukunya.

Masyarakat pada zaman Kerajaan Siak mengandalkan empat sungai besar, yakni Sungai Siak, Sungai Kampar, Sungai Indragiri dan Sungai Rokan sebagai jalur transportasi utama. Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, jalan dan rel kereta api yang dibangun pada awal abad ke-20 bertujuan utama untuk mengalirkan sumber daya alam dan para pekerja paksa (romusha).

Sejarah akhirnya mencatat bahwa Sumatera Tengah, yang kini menjadi Provinsi Riau, adalah salah satu penghasil minyak bumi terbesar di dunia. Setelah Nusantara bersatu di bawah bendera Republik Indonesia, nama NPPM berubah menjadi Caltex Pacific Oil Company (CPOC), yang merupakan cikal bakal PT Chevron Pacific Indonesia (PT CPI). Salah satu lapangan yang dikelola, yakni Lapangan Minas yang terkenal karena menghasilkan minyak berkualitas tinggi, Sumatran Light Sweet Crude Oil, di mana Richard H Hopper adalah salah satu penemunya. https://www.goriau.com/assets/imgbank/12112019/2chevokjpg-8471.jpgKegiatan survei seismik di Minas pada tahun 1940-an. (Dok PT Chevron Pacific Indonesia) PT CPI bertindak sebagai kontraktor dari Pemerintah Indonesia dan mengelola aset-aset milik negara di industri hulu migas. Dalam mengoperasikan blok migas, PT CPI bekerja di bawah pengawasan dan pengendalian pemerintah -–saat ini diwakili oleh SKK Migas-- berdasarkan kontrak bagi hasil atau Production Sharing Contract (PSC).

Dalam lampiran bukunya, Richard H Hopper menuliskan bahwa pada Mei 1973 Caltex mencatatkan produksi puncak 1 juta barel per hari. Sejak pertama kali berproduksi pada awal 1950-an, lapangan-lapangan migas di Riau yang dikelola PT CPI telah memberikan kontribusi terhadap produksi nasional lebih dari 12 miliar barel secara kumulatif, di antaranya bersumber dari lapangan minyak raksasa Minas.

Dan selama perjalanannya, industri "emas hitam" tersebut telah membentuk Riau seperti sekarang dan peninggalannya masih dipergunakan hingga kini.

Awalnya Jalan Minyak

Salah satu peninggalan penting dari industri minyak bagi Riau adalah infrastruktur jalan. Pada masanya ada sebutan "jalan minyak" yang kini ceritanya sudah mulai terlupakan.

Moeslim Roesli dalam bukuNekat Membawa Rahmat, Memoar Seorang Praktisi Humas(2005), pernah mengulas tentang pengalamannya melintasijalan minyak. Penulis adalah seorang tokoh pers di Riau, pernah menjabat Kepala Perwakilan LKBN Antara Pekanbaru (1963-1968), dan juga praktisi kehumasan di PT CPI.

Ia mengisahkan pada Juli 1964 sedang membawa rombongan 40 perwira siswa Sekolah Staf dan Komando TNI AU kunjungan ke fasilitas operasi PT CPI di Riau. Perjalanan menggunakan dua kendaraan yang disebutnya sebagai bus besar "hidung pesek" buatan Inggris.

Perjalanan rombongan itu melalui jalan operasi minyak PT CPI Rumbai-Dumai sepanjang 186 kilometer via Minas dan Duri. Jalan terbuat dari tanah liat yang digaru dan digilas alat berat jenis grader, kemudian dikeraskan dengan semprotan minyak mentah sebagai pengganti aspal.

"Waktu hujan licinnya minta ampun. Ban mobil terpaksa dirajut dengan rantai besi sebagai perangkat anti slip agar kuat mencengkeram permukaan jalan. Sepanjang perjalanan belum ada satupun permukiman penduduk atau warung-warung, kecuali di Minas, Kandis dan Duri," tulis Moeslim dalam bukunya.

Mayoritas jalan yang menghubungkan daerah-daerah di Sumatera Tengah pada waktu itu dirintis oleh PT CPI. Kenangan itu melekat di benak mantan Gubernur Riau, Arsyadjuliandi Rachman, yang merupakan seorang saksi hidup bagaimana rasanya jalan minyak.

"Yang saya tahu, waktu itu seluruh jalan dibangun Caltex (PT CPI, Red.) untuk konsesi cari ladang minyak. Di Pekanbaru, Siak, Dumai, Bengkalis, sampai Rohil, Rohul, di mana ada sumur pasti Caltex buat jalan," kata pria yang akrab disapa Andi Rachman ini.

Adanya jalan minyak pada masa itu sangat menolong warga di daerah pesisir. Warga dari Bagansiapiapi, Rohil, menggunakan kapal sampai Dumai dan melanjutkan perjalanan naik mobil ke Pekanbaru. Jalan itu merupakan akses transportasi darat pertama yang menyambungkan Padang, Sumatera Barat, hingga ke Dumai. Jalan minyak tersebut kini masih digunakan, menjadi bagian dari Jalan Lintas Timur Sumatera yang menghubungkan Riau dengan Sumatera Utara.

Andi Rachman pertama kali melintasi jalan minyak saat masih duduk di Taman Kanak-Kanak (TK) bersama orangtuanya dari Pekanbaru ke Dumai. Antrean mobil bisa sangat panjang ketika hari hujan."Dulu kan waktu jalan minyak, pendakian ada yang tinggi dan curam. Kalau hujan antrean mobil sangat panjang, tunggu bergiliran jalan satu-satu takut slip. Mobil terbalik sudah biasa pada waktu itu," kenangnya.

Iwan Syawal, pemerhati sejarah dan praktisi kepariwisataan Riau, menjelaskan lebih dalam asal muasal sebutan jalan minyak.

Menurut dia, PT CPI mulai membuat jalan dari daerah administrasi di Rumbai (Pekanbaru) ke area produksi minyak di Minas, Duri dan Dumai sekitar tahun 1953. Ruas jalan yang dibangun dari Pekanbaru dan dari Dumai, bertemu di daerah Kandis pada 19 Maret 1958. Saat itu Caltex menggelar perayaan saat kedua jalan itu bertemu. https://www.goriau.com/assets/imgbank/12112019/3chevokjpg-8470.jpgPertemuan pembangunan jalan dari arah Dumai dan Pekanbaru selesai dikerjakan pada 19 Maret 1958. (Dok PT Chevron Pacific Indonesia) Riau masih berupa hutan dengan topografi rawa gambut yang konturnya lembek. Supaya permukaannya tidak anjlok, maka dibuka jalan dengan cara kayu-kayu bulat (log) diletakkan melintang di badan jalan. Kemudian material itu ditimbun tanah dan disiram dengansludge, atau residu minyak yang tidak terpakai. Dan dalam perawatannya, lapisan minyak lama dikerok dulu kemudian disiram dengan yang baru. Cara penyiraman ampas minyak itu rupanya berhasil memperkuat konstruksi jalan sehingga bisa dilintasi truk-truk tonase besar termasuk untuk membawa minyak mentah.

PT CPI awalnya menggunakan jalan itu khusus untuk operasionalnya, dan baru sekitar 1960-an fasilitas itu dibuka untuk publik. Ketika berstatus jalan nasional, rute jalan Pekanbaru-Dumai dipangkas sekitar 24 kilometer di bagian yang curam. Perusahaan Amerika Serikat itu kemudian membuat jalan baru khusus untuk operasionalnya, dan masih digunakan sampai sekarang.

"Menanjak digelombangsusah banget. Ada yang ngakalin karena diferensial mobil itu lebih kencang di perseneling mundurnya, jadi mobil diputar balik. Jadi mobilnya naiknya mundur. Kebetulan aku ngalamin waktu kecil, naik mobil tangki ya seperti itu," kata Iwan Syawal.

Jalan minyak itu sendiri baru diaspal pada dekade 1980-an. Jembatan Siak I Warga lama di Kota Pekanbaru lebih mengenalnya dengan sebutan Jembatan Lekton atau Leton, ketimbang nama aslinya Jembatan Siak I. Bagi mantan Gubernur Riau, Andi Rachman, peninggalan industri minyak tersebut punya kesan tersendiri karena masih kokoh berdiri sampai sekarang.

Andi mengatakan jembatan itu bukan infrastruktur penghubung pertama yang dibuat untuk menyeberangi Sungai Siak di Pekanbaru. Sebelumnya PT CPI membuat jembatan apung di Terminal Boom Lama, tepatnya di Kelurahan Kampung Bandar, Kecamatan Senapelan, yang membentang ke Kecamatan Rumbai Pesisir. Jembatan apung itu dibangun sekitar tahun 1958.

Andi menjelaskan jembatan apung sejatinya adalah perahu besi atau ponton yang disambung-sambung.Terminal PT CPI saat itu berdiri di Rumbai Pesisir yang sekarang sudah beralih fungsi menjadi RSDC(Riau Safety Driving Center). TerminalBoom Lama yang tersisa adalah sebuah halte di Kampung Bandar, kini dikelilingi oleh taman di bawah Jembatan Siak IV.

"Itu jembatan ponton bisa terbuka di bagian tengahnya kalau ada kapal lewat di Sungai Siak," kata Andi.

https://www.goriau.com/assets/imgbank/12112019/4chevokjpg-8469.jpgJembatan ponton yang digunakan untuk menyeberangi Sungai Siak di Pekanbaru pada era 1950-an. (Dok PT Chevron Pacific Indonesia) Jembatan apung tidak digunakan lagi setelah Jembatan Siak I rampung. Butuh waktu sekitar empat tahun untuk membangun jembatan sepanjang 350 meter dan lebar 9,3 meter itu. Jembatan Siak I diresmikan oleh Presiden ke-2 Indonesia Soeharto pada 19 April 1977.

Jembatan Siak I dibangun oleh PT CPI yang kemudian menunjuk PT Leighton Indonesia Construction Company sebagai pihak kontraktor pelaksana. PT Leighton merupakan sebuah perusahaan konstruksi asal Australia. "Kalau untuk perawatan (infrastruktur) saya akui Caltex (PT CPI, Red.) luar biasa karena mereka punya kepentingan untuk menunjang produksi.Lihat saja jembatan yang mereka bangun. Masih ada dan bisa bertahan. Kita pun masih rasakan manfaatnya," ucap Andi.

https://www.goriau.com/assets/imgbank/12112019/5chevokjpg-8468.jpgProses pembangunan Jembatan Siak I pada 1970-an. Jembatan ini dibangun tidak hanya untuk menghubungkan Rumbai Pesisir dan Kota Pekanbaru, tapi sekaligus menghubungkan daratan bagian barat dan timur Sumatera. (Dok PT Chevron Pacific Indonesia) Menurut Andi, PT CPI kemungkinan juga berperan dalam pembangunan awal Kota Pekanbaru sebagai Ibu Kota Provinsi Riau pada awal 1960-an. Dugaan Andi tersebut karena melihat bentuk desain jalan dan tata kota di daerah lama Pekanbaru yang berbentuk blok-blok atau persegi.

"Kita lihat ya, desain jalan di Pekanbaru kan blok-blok di kota lama. Area (Jalan) Sudirman ujung sampai Pattimura, Jalan Cempaka, Durian, kantor imigrasi sekarang, itu kota lama semua sampai ke Pintu Angin Jalan Kuantan. Kalau kita pikir-pikir ini sama seperti di Amerika. Hanya dua kota di Indonesia bentuknya seperti ini, satu di Pekanbaru satu lagi di Palangkaraya," ujar Andi yang pernah mengenyam pendidikan di Oklahoma City University, AS.

Infrastruktur Pendidikan

Tak hanya infrastruktur yang turut mendorong perkembangan wilayah dan ekonomi, PT CPI juga menjadi perintis berdirinya berbagai fasilitas pendidikan yang memberikan akses bagi pengembangan sumber daya manusia di Provinsi Riau.

Tonggak sejarah tersebut ditandai dengan penyerahan bangunan SMA pertama di Pekanbaru pada 8 Oktober 1957. Sekolah yang kini bernama SMA Negeri 1 Pekanbaru itu tumbuh sebagai sekolah favorit dan sudah banyak melahirkan tokoh masyarakat dan pemerintahan di Riau. https://www.goriau.com/assets/imgbank/12112019/6chevokjpg-8467.jpgSMAN 1 Pekanbaru yang diserahterimakan pada 1957. (Dok PT Chevron Pacific Indonesia) PT CPI juga bermitra dengan pemerintah daerah dalam pendirian ratusan sekolah SD, SMP, dan SMA lainnya di Riau, termasuk pembangunan SMKN pertama di Kecamatan Kandis dan Tapung.

Di tingkat pendidikan tinggi, pendirian Politeknik Caltex Riau (PCR) merupakan salah satu langkah monumental dan strategis untuk menjawab kebutuhan SDM yang terampil, profesional, dan siap pakai.

PCR yang merupakan politeknik pertama di Riau secara resmi beroperasi pada 2001 atas prakarsa Pemprov Riau dan PT CPI melalui anggaran pembangunan yang disetujui Pertamina-BPPKA (sekarang bernama SKK Migas).

PCR menawarkan program akademik yang berorientasi pada kebutuhan tenaga kerja unggul dan profesional di dunia industri dan bisnis. Dalam beberapa tahun terakhir, PCR dinobatkan sebagai politeknik swasta terbaik di Indonesia. Lulusannya saat ini tersebar di berbagai daerah di Tanah Air dan sekitar 27 negara.

PCR merupakan contoh nyata kemitraan yang sukses antara pemerintah daerah, SKK Migas dan pelaku industri hulu migas dalam turut meningkatkan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia tempatan yang mandiri dan mampu bersaing secara global. ***

Berita ini sudah naik di Antara Riau dengan judul: Peninggalan era kejayaan minyak yang membentuk Riau