SEORANG laki-laki paruh baya, tepat duduk di sebelahan saya, di sebuah rumah makan sederhana, malam itu hanya saya dan bapak tersebut saja yang mampir menyantap hidangan, untuk mengisi perut yang sedang keroncongan. Tiba-tiba beliau melontarkan pertanyaan.

"Sudah vaksin Pak?" 

"Belum Pak?" ku jawab dengan tangkas.

"Waaah, vaksin ini dahsyat, Pak. Ngantrinya sampe ribuan orang," Oceh beliau. "Sudah rame, tidak beraturan lagi. Ada teman saya yang besar badannya hampir mau pingsan, karena terlalu lama mengantri." 

Percakapan tersebut tidak berhenti sampai di situ saja, banyak pembahasan receh lain yang sempat kami utarakan. Dan Obrolan pembuka tersebut adalah salah satu obrolan yang menarik sekaligus nyentrik dalam ingatan, disela-sela itu kami juga sempat saling berkenalan.

***

Sebenarnya saya sama sekali tidak tertarik untuk membahas hal ini, karena secara pribadi saya memang belum ikut divaksinasi. 

Bukan menentang aturan pemerintah lho ya, bukan. Kemarin sempat mendata diri agar bisa ikut berpartisipasi, tapi sampai sekarang belum dapat jadwal untuk melaksanakannya.

Soal vaksin memang bukan perkara main-main, pemerintah sudah banyak menghabiskan dana untuk membeli cairan anti bodi ini. Bahkan, infonya pemerintah telah menggelontorkan anggaran nyaris Rp 77 triliun untuk program vaksinasi, yang akan dikontribusikan secara gratis kepada masyarakat.

Di tempat saya bekerja, untuk mendapatkan vaksin gratis ini harus menunggu beberapa tahapan, mungkin karena terlalu banyak masyarakat yang ikut berpartisipasi, sementara tempat untuk vaksinasi hanya ada di satu tempat, dan itu terbatas pelayanannya.

Sehingga masyarakat yang mendaftarkan program vaksinasi dijadikan beberapa tahapan. Tahap pertama sampai seterusnya. Dan saya tidak tahu termasuk tahap yang keberapa, mudah-mudahan tidak sama seperti Pak Presiden, yang katanya mau masuk tahap ke tiga, Haha. Bercanda Pak Presiden.

Okey! Mendengar curhatan dari seorang bapak tua paruh baya itu, saya sempat kepikiran, pemerintah melarang masyarakat untuk berkumpul, tapi tanpa disadari, dengan agenda vaksinasi ini, justru pemerintah telah memfasilitasi masyarakat untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap protokol kesehatan.

Kebanyakan informasi yang saya dapatkan dari beberapa kerabat yang ikut vaksinasi dan beberapa media yang memberitakan bahwa agenda vaksinasi ini pelaksanaannya sungguh tidak karuan dan tidak beraturan.

Protokol hanya sekedar himbauan, tidak diterapkan dengan kemauan yang kuat oleh masyarakat, akhirnya petugas menjadi kewalahan.

Satu kesadaran penting, yang seharusnya dimiliki oleh para pemangku kekuasaan, masyarakat Indonesia punya keunikannya tersendiri, soal kedisiplinan dalam mengantri ini menjadi PR yang belum mampu kita realisasikan dan masih menjadi sorotan besar dalam negeri ini.

Sehingga dalam hal ini saya tidak mau menyalahkan masyarakatnya, sebab itulah masyarakat kita, yang perlu  diperhatikan, dengan karakteristik masyarakat Indonesia seperti ini, maka program yang berkaitan dengan perkumpulan banyak orang haruslah sangat-sangat diantisipasi, dan dipikirkan metodenya dengan matang dan rapi.

***

Dalam hemat saya, alangkah baiknya vaksinasi ini dilaksanakan tidak tersentralisasi kepada satu tempat saja, karena jika tersentralisasi, konsekuensi logis yang kita hadapi adalah terjadinya pelanggaran prokes.

Dalam program vaksinasi ini, mungkin salah satu negara yang bisa kita jadikan referensi adalah Amerika Serikat (AS), dalam sebuah tulisan yang dilansir dari happywednesday.id, oleh Asrul Ananda putra Dahlan Iskan.

Beliau menceritakan betapa luar biasa sederhananya penanganan pandemi di negeri Paman Sam itu. Super simple.

Pergi saja ke Walmart, hypermarket paling populer di Amerika. Di pintu masuk, sudah ada papan tulisan penawaran vaksinasi. Gratis. Cukup menuju bagian farmasi di Walmart, mendaftar di sana atau lewat aplikasi, lalu suntik. 

Di beberapa jaringan apotek/toko kebutuhan populer. Seperti Walgreens dan CVS. Semua punya papan tulisan atau pengumuman jelas: Silakan walk in untuk suntik vaksin.

Benar-benar walk in. Tidak ada prosedur panjang. Tidak ada penjagaan aneh-aneh. Tidak ada "event" merayakan vaksinasi. Minta vaksin semudah beli obat batuk. Tanpa perlu mengantri sampai mengantuk.

Tidak ada salahnya jika kita memaksimalkan sumberdaya yang ada, di Indonesia sendiri memiliki ribuan klinik/apotek. Kenapa itu saja tidak dimanfaatkan, untuk mengurangi perkumpulan dan antrian yang sangat panjang.

Atau setidaknya kita jadikan saja, balai desa sebagai tempat pelaksanaan vaksinasi, atau bahkan jika perlu setiap RT/RW memiliki satu posko pelayanan untuk masyarakat agar cepat terlayani. Sehingga tidak perlu dilaksanakan di Gor untuk menampung banyak orang. Emang mau konser? 

Kasian juga saya melihat petugas kesehatan dan kepolisian yang berjaga hanya puluhan orang, sementara masyarakat yang mengantri ribuan orang. Bukan tambah sehat, justru membuat masyarakat yang divaksin semakin sakit.

Di Indonesia 181,5 juta penduduk yang perlu vaksinasi. Pengadaan vaksin luar biasa besar karena jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar. Oleh karena itu tidak ada salahnya jika kita memanfaatkan infrastruktur yang ada. Baik dari pemerintah sendiri maupun dari lembaga swasta yang bisa diikut sertakan untuk berkolaborasi. Mengingat soal pandemi bukan hanya masalah negara, itu berarti masalah kita semua. ***

* Mahadir Mohammed adalah pegawai swasta di Pangkalan Kerinci, Pelalawan Riau dan penggiat literasi 'Kembul.id'.