BADAN Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis angka kemiskinan kondisi Maret 2022, dimana penduduk miskin di Indonesia sebesar 9,54 persen atau 26,16 juta jiwa. Angka ini menurun sebesar 0,17 persen dibanding September 2021 serta menurun 0,60 persen dibanding Maret 2021.

Meskipun secara nasional persentase penduduk miskin mengalami penurunan, ternyata kesenjangan antar wilayah masih saja terjadi.

Kenapa hal ini bisa terjadi? Mungkinkah program penanggulangan kemiskinan belum bersinergi secara maksimal antara pusat dan daerah? Atau apakah karena belum melibatkan masyarakat miskin dalam penyusunan kebijakan yang telah dilakukan?

Berkurangnya tingkat kemiskinan di suatu wilayah merupakan sebuah prestasi luar biasa. Penurunan tingkat kemiskinan merupakan salah satu ukuran kinerja yang dilakukan seorang kepala daerah.

Terasa sulit memang, perlu berangkat pada satu titik data yang jelas, perlu cara penanggulangan yang sama antara pemerintah pusat dan daerah agar semua daerah bergerak dengan data dan cara yang sama.

Tingkat Kemiskinan dan Penanggulangan

Program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan para pemimpin di negeri ini memiliki fokus dan strategi yang berbeda tergantung kondisi di masa itu.

Pada awal pemerintahan presiden Soeharto, pemerintah memperkenalkan program rencana pembangunan lima tahun (Repelita), dimana penanggulangan kemiskinan masuk dalam program tersebut.

Pada tahun 1970, jumlah penduduk miskin di Indonesia sebesar 70 juta jiwa atau 60 persen dari total penduduk, dan program tersebut mampu menurunkan penduduk miskin menjadi 34,5 juta jiwa pada tahun 1996.

Memasuki tahun 1997-1998, Indonesia mengalami krisis ekonomi yang berdampak semakin tingginya jumlah penduduk miskin yang menyentuh 49,50 juta jiwa.

Untuk meneruskan fokus penangulangan kemiskinan, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 124 Tahun 2001 junto Nomor 34 dan Nomor 8 Tahun 2002 sebagai dasar hukum dibentuknya Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK).

Kemudian juga ada Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2005 tentang dibentuknya Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) yang selanjutnya pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Peraturan inilah yang mengawali terbentuknya Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) di tingkat nasional dan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan(TKPK) di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Walaupun angka yang disajikan oleh BPS menunjukkan bahwa secara nasional angka penduduk miskin mampu menyentuh di bawah satu digit (9,54) persen, akan tetapi disparitas atau kesenjangan antar wilayah masih saja terus terjadi. Ada beberapa provinsi di Indonesia tingkat kemiskinannya hanya berkisar 4 persen dari total penduduknya, seperti DKI Jakarta, Bali, Banten, Bangka Belitung, dan Kalimantan Selatan. Bandingkan dengan Provinsi Papua yang harus menanggung penduduk miskin sebanyak 26,56 persen, Papua Barat 21,33 persen, dan NTT 21,35 persen.

Mengapa penduduk miskin masih ada dan disparitas antar wilayah masih terjadi? Kata kunci masalah tersebut disebabkan karena strategi yang dilakukan belum bersinergi secara maksimal antara pusat dan daerah, cenderung berjalan sendiri-sendiri serta belum sepenuhnya melibatkan masyarakat.

Pertama, program penanggulangan kemiskinan di daerah, baik provinsi maupun di kabupaten/kota, cenderung melanjutkan program-program pemerintah pusat, seperti melaksanakan program perlindungan sosial, pemberian kredit, infrastruktur, dan mengatasi pengangguran dengan mengejar investasi.

Hal ini memang perlu dilakukan, tetapi apakah program yang dilakukan sesuai dengan daerah dan efektif mampu menanggulangi kemiskinan? Sebab, daerah pasti juga memiliki karakteristik penduduk miskin yang berbeda.

Kedua, sebagai efek dari belum maksimalnya sinergi antara pusat dan daerah dalam penanggulangan kemiskinan, banyak program kemiskinan berjalan sendiri-sendiri, dan lebih parahnya berangkat dengan data yang berbeda.

Diperlukan cara penanggulangan yang sama antara pemerintah pusat dan daerah agar daerah bergerak dengan data dan cara yang sama. Jangan biarkan derah provinsi/kabupaten terlalu berpikir inovasi tentang strategi, hal ini justru akan membuat jurang pemisah yang dalam serta disparitas antar daerah yang semakin tinggi.

Daerah yang kaya akan sumber daya alam yang tinggi dan kaya akan sumber daya manusia, akan mampu menanggulangi kemiskinan lebih mudah, tapi bagaimana dengan daerah yang miskin sumber daya?

Ketiga, pemerintah belum maksimal melibatkan masyarakat miskin dalam penyusunan program kebijakan pengentasan kemiskinan. Melibatkan masyarakat miskin dengan bertanya apa keinginannya seharusnya dilakukan agar bantuan yang diberikan sesuai dengan keinginan masyarakat.

Masyarakat miskin yang berada di sektor pertanian misalnya, lebih membutuhkan lahan untuk bercocok tanam dari pada diberi bantuan berupa uang tunai, begitu pula masyarakat miskin yang ingin berjualan tentu lebih membutuhkan gerobak/lapak untuk berjualan.

Keempat, pemerintah belum maksimal melibatkan masyarakat mampu dan tokoh agama dalam program pengentasan kemiskinan. Mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, potensi zakat yang bisa dikumpulkan sangat besar. Menggerakkan hati umat untuk berzakat melalui tokoh agama, kiai, ustaz secara terus menerus perlu dilakukan agar mampu membantu pemerintah dalam mengatasi kemiskinan.

Akhirnya, pemerintah melalui TNP2K telah memiliki basis data terpadu masyarakat miskin seluruh Indonesia. Data tersebut bisa digunakan sebagai titik dasar awal pemerintah pusat dan daerah untuk memulai menyusun program. Data tersebut perlu dilakukan pemutakhiran kembali secara berkala serta menanyakan kepada masyarakat miskin apa yang mereka inginkan.

Perlu komitmen pemerintah pusat dan daerah untuk bersinergi bersama dengan data yang sama, cara yang sama serta dibantu oleh seluruh masyarakat Indonesia agar kesenjangan antar wilayah semakin berkurang.

Mengingat pengentasan kemiskinan adalah tanggung jawab seluruh rakyat Indonesia, maka bukan suatu kemustahilan jika kemiskinan di Indonesia bisa diturunkan.***

Mujiono, SE adalah Statistisi Ahli pada BPS Provinsi Riau.