TULISAN ini berawal dari keresahan kondisi sosial yang akhir-akhir ini kerap terjadi yang sangat memilukan hati. Apalagi jika bukan soal kejahatan seksual. Yang telah menimpa negeri ini secara bertubi-tubi, hampir saban hari beritanya 'mungkin' secara terpaksa kita nikmati.

Entah kenapa? Bagi saya pribadi kasus kejahatan seksual sangat menarik untuk dikaji secara rinci. Yang setidaknya mengajak kita pada suatu pertanyaan besar yang saya kira cukup mendasar.

Mengapa disetiap kasus kejahatan seksual korbannya kebanyakan selalu saja perempuan? Dan mengapa pelaku juga bisa terjadi di kalangan orang-orang terpelajar? Padahal mereka lebih tahu dan paham akan baik buruknya sesuatu. Bahkan jika telisik fenomena akhir-akhir ini, sebagian besar terjadi dan dilakukan oleh orang-orang terdidik. 

"Akal jika sudah dikalahkan oleh hawa nafsu maka manusia sama seperti binatang, Pak." Tutur salah seorang rekan kerja saya, beberapa waktu lalu. Pernyataan ini muncul ketika kami membahas suatu berita pelecehan yang dilakukan oleh seorang dosen terhadap mahasiswinya. Dari pernyataan tersebutlah membuat saya merasa tertampar dan semakin tertarik untuk membahasnya.

***

Tentu kita semua tahu, bahwa kejahatan seksual bukan barang baru, tapi sangat tabu untuk diungkapkan. Bahkan menimbulkan resiko yang menimbulkan kematian. Minsal peristiwa yang menimpa seorang perempuan yang jelas-jelas diperkosa, lalu dianggap memalukan keluarga. Sehingga perempuan tersebut dibakar hidup-hidup. Kisah tersebut tercantum di dalam buku Burned Alive (2003). Peristiwa tersebut terjadi di Palestina.

Kasus yang hampir serupa terjadi di Amerika. Seorang perempuan bernama Cheryl Ann Araujo, berumur 21 tahun, diperkosa empat laki-laki di bar. Paling gilanya, orang-orang yang berada di dalam bar justru menyemangati pemerkosa untuk menggagahi Araujo. Kasus ini menjadi salah satu kasus yang sangat melegenda di Amerika. 

Atas peristiwa tersebut, perempuan tersebut menjadi pecandu alkohol karena stres menghadapi tekanan publik dan dipersidangan ia dipojokkan sebagai perempuan kurang ajar. Ia pun akhirnya meninggal karena kecelakaan mobil pada tahun 1986. 

Dari rentetan fenomena tersebut, kita bisa melihat bahwa perempuan adalah faktor tunggal yang selalu menjadi korbannya. Hanya sebagian kecil kasus kejahatan seksual yang terjadi korbannya adalah laki-laki dan jika itu laki-laki korbannya kebanyakan juga dilakukan oleh laki-laki. Kenapa ini bisa demikian terjadi? Laki-laki selalu menjadi dalang pemangsa dan perempuan adalah penerima akibatnya. 

Apa karena nafsu laki-laki lebih besar dari perempuan? Saya pikir tidak juga, karena hal tersebut secara biologis sangat dinamis, tidaklah konstan. Semua tergantung kondisi fisik seseorang. Lantas mengapa perempuan selalu menjadi korbannya? Berdasarkan data di Amerika Serikat, misalnya, dilaporkan sekitar 60% perempuan pernah menjadi korban pelecehan seksual.

Sementara itu, di Uni Eropa, sekitar 4 juta manusia mengalamai pelecehan seksual (Collin2, 1992). Di Belgia, survei menunjukkan bahwa 30-34% perempuan mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Di Spanyol, jumlahnya meningkat kira-kira 80-90% di kalangan perempuan muda. Di Portugal, jumlahnya 37%, di Belanda 58% dan di Jerman 72% (Rubenstein, 1992). Dan mungkin sekarang semakin bertambah.

***.

Dari sekian banyak referensi, ada catatan yang sangat menarik dari Naomi Wolf (tokoh feminisme). Di dalam bukunya yang berjudul "V*gina: Kuasa dan Kesadaran". Ia mengatakan bahwa perempuan cenderung memandang hubungan seksual bukan melulu persoalan fisik melainkan emosional, sementara laki-laki cenderung memandang hubungan seksual sebagai persoalan fisik belaka.

Jika kita telusuri lebih jauh berdasarkan tulisan Naomi Wolf. Bagi para perempuan, respons seksual sangat melibatkan kondisi kesadaran. Hal ini dikarenakan organ reproduksi perempuan memiliki sistem saraf yang lebih kompleks dibandingkan laki-laki. 

Sehingga laki-laki memiliki potensi lebih tinggi untuk melakukan kejahatan seksual, dan lebih mudah untuk tidak setia kepada pasangannya dibandingkan perempuan. 

Dari fenomena biologis itu, jika kita kombinasikan dengan analisis psikologis, juga bisa membantu menjelaskan, kenapa perempuan lebih rentan menjadi korban dan trauma ketika menerima perlakuan Kekerasan atau pelecehan seksual. 

Sebab laki-laki akan mudah melakukan hubungan seksual dengan apa yang ia lihat (fisik) apalagi yang tampak menggoda, sementara perempuan butuh kedekatan emosional atau perasaan dalam sebuah hubungan. sedangkan laki-laki tidak membutuhkan itu. Hal tersebutlah yang membuat laki-laki bisa melakukan pemerkosaan terhadap perempuan (kejahatan seksual).

Lantas mengapa orang-orang terpelajar juga bisa terlibat kejahatan seksual? Bukankah mereka bisa berpikir lebih matang? Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dr. Helen Fisher dari Rutgers University mengenai cinta dari kacamata science, dikatakan kalau gairah seksual dapat mematikan wilayah di otak yang mengatur pemikiran kritis dan perilaku rasional (korteks prefrontal).

Sederhananya membuat kita menjadi bodoh dan bagi laki-laki jika gairah seksualnya meninggi sudah tidak akan mampu lagi berpikir secara jernih yang menyebabkan berprilaku dan bertindak atas kehendak nafsunya, tidak lagi dengan akalnya. Jadi tidak bisa dipungkiri, kejahatan seksual bisa terjadi dan dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi sekalipun. 

Jika kita masih ingat dengan seorang pria asal Indonesia, Reynhard Sinaga. Yang sedang manjalani studi pada jenjang PHD di University of Leeds. dijatuhi hukuman seumur hidup oleh pengadilan Manchester, Inggris. Reynhard terbukti melakukan 159 kasus kejahatan seksual. Terlepas apakah dia mengalami ganggu jiwa atau tidak, hal ini telah membuktikan bahwa gairah seksual telah memadamkan otak untuk bernalar secara jernih.

***

Terus bagaimana kita menyikapinya? Terutama untuk para lelaki? Tentu sikap yang paling baik adalah dengan kembali ke nilai-nilai religius. Di dalam konsep teologis (ketuhanan) kita telah diajarkan untuk selalu menjaga pandangan dan kemaluan.

Terlepas baik laki-laki maupun perempuan, tidak hanya untuk para perempuan saja. Sebab laki-laki dan perempuan sama di mata Tuhan. Agak sombong rasanya jika di dalam catatan ini saya tidak melibatkan nilai-nilai ketuhanan. Maka kembali ke pada kitab suci adalah jalan yang tidak bisa kita pungkiri. Mustahil wahyu Tuhan di dalam kitab suci tidak mengerti kejahatan dan keburukan seksual yang terjadi hari ini.

Kitab suci adalah penggerak kesadaran suci yang harus benar-benar kita tanam di dalam diri dan harus kita ekspansikan juga di dalam konstitusi. Agar kita tetap sadar untuk berlaku baik dan sadar untuk tetap teguh menuNtut keadilan terhadap berbagai kejahatan sosial terutama kejahatan seksual. ***

* Penulis adalah penggiat komunitas baca 'Kembul.id' dan kritikus sosial, tinggal di Pangkalankerinci, Kabupaten Pelalawan, Riau.