PEKANBARU, GORIAU.COM - Sidang vonis kasus dugaan korupsi proyek bioremediasi PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) di Pengadilan Tipikor Jakarta Selatan berlangsung dengan ketegangan. Majelis hakim akhirnya menetapkan Herland bin Ompo, terdakwa kasus dugaan proyek fiktif itu bersalah dengan ganjaran enam tahun penjara dan denda Rp250 juta yang jika tidak dibayarkan maka akan menambah masa hukuman (subsider) selama tiga bulan.

Selain itu, dalam sidang yang dilaksanakan, Rabu (8/5/2013), majelis hakim juga bersepakat untuk mewajibkan perusahaan terdakwa, PT Sumigita Jaya untuk membayar uang pengganti senilai 6,9 dola AS atau setara dengan Rp67,137 miliar.

Jika harus dibandingkan, putusan ini memang lebih rendah dari tuntutan jakwa dimana terdakwa diminta untuk diganjar dengan hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp1 miliar serta membayar uang pengganti senilai 6,992 juta dolar AS.

Majelis hakim yang dipimpin oleh Hakim Ketua Sudharmawatiningsih menyatakan Herland terbukti bersalah melanggar undang-undang tindak pidana korupsi atas proyek pengelolaan limbah minyak dengan penerapan bioremediasi di areal kerja PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) wilayah Minas, Provinsi Riau.

Majelis hakim dalam bacaan vonisnya menjelaskan poin-poin pelanggaran hukum yang dilakukan oleh terdakwa, salah satunya yakni PT Sumigita Jaya tidak mengantongi izin pengolahan limbah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun.

Hakim juga menyatakan pelaksanaan pengelolaan limbah minyak dengan penerapan bioremediasi yang dilakukan PT Sumigita Jaya juga tidak sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 128/2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah.

Dalam pengerjaan proyek pengelolaan limbah tersebut, pembayaran dilakukan dengan sistem 'cost recovery', dimana biaya investasi dan operasi produksi migas yang dikeluarkan kontraktor dan dibayar pemerintah dalam mekanisme bagi hasil produksi dalam sistem 'production sharing contract' (PSC).

Kasus dugaan korupsi bioremediasi yang ditangani oleh Kejaksaan Agung ini dipandang sejumlah ahli hukum terkesan janggal dan diduga salah satu bentuk kriminalisasi hukum.

Salah satunya, jaksa memakai dan memasukkan keterangan ahli di dalam surat tuntutannya, memakai barang bukti hasil analisa ahli Edison Efendi yang nyata-nyata sebelumnya telah ditolak oleh Ketua Majelis Hakim.

Edison merupakan pelapor atas kasus bioremediasi sekaligus salah satu saingan terdakwa dalam mendapatkan tender proyek pengelolaan limbah tersebut. Sebelumnya Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) juga telah mengindikasi adanya pelanggaran HAM pada kasus tersebut.(fzr)