JAKARTA -- Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetik (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI) memastikan vaksin Covid-19 jenis AstraZeneca mengandung bahan yang berasal dari babi. Penegasan LPPOM MUI ini sebagai respons atas klarifikasi perusahaan yang memproduk vaksin tersebut.

Dikutip dari Republika.co.id, dalam keterangan resminya, LPPOM MUI melalui Direktur Eksekutifnya, Muti Arintawati, menjelaskan pendaftaran vaksin AstraZeneca melalui sistem CEROL dengan nomor registrasi 76579 tercatat pada 19 Februari oleh PT Bio Farma (Persero) yang ditunjuk sebagai distributor untuk pengadaan vaksin AstraZeneca.

Lalu, pada 24 Februari, LPPOM MUI melakukan audit di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam mengkaji bahan dan proses pembuatan vaksin tersebut melalui dokumen dossier yang dikirimkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO). Dari dokumen itu, proses dilanjutkan dengan kajian publikasi ilmiah AstraZeneca dan penelusuran media yang digunakan pada publikasi itu melalui situs.

Kajian publikasi ilmiah AstraZeneca dapat diakses melalui situs dengan judul Assessment report Covid-19 Vaccine AstraZeneca Common name: Covid-19 Vaccine (ChAdOx1-S [recombinant]_ Procedure No. EME AIHIC/005675/000 29 January 2021 EMA/94907/2021, Committee for Medicinal Products for Human Use (CHMP).

Hasil kajian menjelaskan produksi vaksin terdiri dari beberapa tahap. Yakni, penyiapan sel inang HEK 293, pengembangan inokulum bibit vaksin rekombinan, penyiapan media produksi vaksin, produksi vaksin menggunakan inokulum bibit vaksin pada sel inang HEK 293 pada media steril, proses pemisahan, serta pemurnian produk bulk vaksin, formulasi vaksin dengan penambahan eksipien, filtrasi secara aseptis serta pengisian ke dalam ampul.

''Dari hasil kajian ditemukan vaksin AstraZeneca menggunakan bahan asal babi dalam dua tahap. Pertama, pada tahap penyiapan inang virus. Bahan babi berupa tripsin yang berasal dari pankreas babi. Bahan ini digunakan untuk memisahkan sel inang dari microcarrier-nya,'' kata Direktur Eksekutif LPPOM MUI, Muti Arintawati dalam rilis yang diterima Republika.co,id, Ahad (21/3).

Bahan babi juga ditemukan pada penyiapan bibit vaksin rekombinaan (research virus seed) sampai siap digunakan untuk produksi (tahap master seed dan working seed). Dalam tahap ini, ada tripsin dari babi sebagai salah satu komponen pada media yang digunakan untuk menumbuhkan E.coli dengan tujuan meregenerasi transfeksi plasmid p5713 p-DEST ChAdOx1 nCov-19.

Lebih lanjut, Muti mengatakan hasil kajian itu tercantum dalam dossier yang dikaji pada Materials of Animal Origin Used in non-GMP Host Cell Line Culture and Banking yang tertera keterangan trypsin purified from porcine pancreas.

Selain itu, pada Materials of Animal Origin Used in Pre-GMP Virus Seed Development dengan keterangan LB Broth containing bovine peptone and porcine enxyme.

''Berdasarkan penelusuran informasi atas data publikasi ilmiah menunjukkan informasi yang sama,'' ujar dia.

Jadi, dapat disimpulkan berdasarkan fatwa MUI, penggunaan bahan asal babi pada tahap proses produksi mana pun tidak diperbolehkan. Dengan begitu, proses audit tidak dilanjutkan ke pabrik sehingga laporan hasil kajian langsung diserahkan ke Komisi Fatwa MUI untuk ditetapkan status halal-haramnya.

Alasan Darurat

Sebelumnya, MUI telah mengeluarkan fatwa bahwa vaksin AstraZeneca dinyatakan haram karena menggunakan unsur babi dalam proses produksinya. Kendati demikian, vaksin tersebut boleh digunakan karena alasan darurat.  

Bantah Kandung Babi

Pihak AstaZeneca melalui keterangan resminya yang diterima Tribunnews.com, pada Ahad (21/3/2021), membantah vaksin AstraZeneca mengandungan bahan babi.

Pihak AstraZeneca menjamin, vaksin yang turut diproduksi oleh Universitas Oxford ini tidak mengandung unsur hewani. Hal tersebut telah dikonfirmasi oleh Badan Otoritas Produk Obat dan Kesehatan Inggris.

''Semua tahapan proses produksinya, vaksin vektor virus ini tidak menggunakan dan bersentuhan dengan produk turunan babi atau produk hewani lainnya,'' jelasnya.

Pihaknya juga meyakini hal tersebut yang didasari oleh persetujuan dari 70 negara di dunia. Beberapa negara tersebut didominasi oleh negara muslim yakni, Arab Saudi, UEA, Kuwait, Bahrain, Oman, Mesir, Aljazair dan Maroko dan banyak Dewan Islam di seluruh dunia.

Keseluruhannya, kata pihak AstraZeneca, telah menyatakan sikap bahwa vaksin ini diperbolehkan untuk digunakan oleh para Muslim.

''Semua vaksin, termasuk Vaksin Covid-19 AstraZeneca, merupakan bagian penting dalam menanggulangi pandemi Covid-19 agar dapat memulihkan keadaan di Indonesia secepatnya,'' ujarnya.***