BUKU adalah jendela dunia. Masih relevankah ungkapan tersebut di era milenial ini?

Sejak zaman dulu, buku merupakan sumber ilmu pengetahuan. Berbagai hal dapat manusia pelajari melalui buku, mulai dari ekonomi, budaya, politik, hukum, agama, seni maupun aspek kehidupan lainnya. Namun di era milenial ini, ada sumber informasi lain yang lebih lengkap yaitu internet.

Kapan kita terakhir berkunjung ke perpustakaan? Atau kapan terakhir kita membeli buku? Selain buku sekolah atau buku kuliah, mungkin jarang sekali kita membeli buku. Akses kita lebih banyak menggunakan internet.

Bagaimanapun juga di zaman milenial ini akses informasi melalui internet begitu mudah. Pilihan berbagai informasi dapat dicari melalui mesin pencarian di internet, mulai dari resep masakan, cara budidaya tanaman hias, cara memperbaiki mesin cuci yang rusak, sampai hal-hal yang bersifat remeh temeh dapat ditemukan di internet.

Saat ini internet sudah menjadi bagian kebutuhan hidup sehari-hari. Berbagai informasi sangat mudah didapatkan, bukan hanya sekedar mudah, tapi juga lengkap dan praktis. Cukup hanya dengan satu gawai sudah bisa mendapatkan berbagai informasi. Ribuan buku yang mestinya tersusun dalam sebuah perpustakaan besar, saat ini bisa dilihat hanya dengan sebuah laptop atau telepon seluler.

Itulah kelebihan era digital, sehingga muncul istilah bahwa internet adalah gerbang dunia, dan dimanapun namanya gerbang pasti lebih besar dari pada jendela.

Dalam keseharian tanpa disadari kecenderungan meninggalkan buku dan beralih ke internet sudah terjadi.

Tengoklah belanja bulanan atau tahunan, berapa rupiah yang dikeluarkan untuk membeli buku, majalah atau koran? Lambat laun produk cetakan itu ditinggalkan. Lalu tengoklah berapa rupiah yang dibelanjakan untuk membeli pulsa?

Hampir semua anggota rumah tangga mengkonsumsi pulsa, mulai dari anak-anak sampai orang tua. Maka tak mengherankan bila suatu ketika biaya pulsa suatu keluarga akan melebihi biaya untuk membeli beras.

Berdasarkan hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2020, hampir 53 persen penduduk di Riau yang berumur 5 tahun ke atas sudah mengakses internet. Dari jumlah tersebut sekitar 98,54 persen mengakses melalui telepon seluler.

Dalam mengakses internet, sebanyak 97,47 persen mengakses internet dari rumah sendiri, artinya biaya pengeluaran untuk pulsa dikeluarkan oleh rumah tangga tersebut.

Berdasarkan tujuan mengakses internet, masyarakat Riau paling banyak mengakses internet untuk tujuan sosial media, hiburan dan mendapatkan informasi/berita. Sosial media merupakan tujuan paling favorit masyarakat Riau ketika mengakses internet, yaitu sekitar 87,11 persen.

Internet mungkin bisa menggantikan peran buku kalau memang tujuannya untuk mendapatkan informasi. Yang terpenting bahwa esensi membaca dalam rangka mendapatkan informasi dan pengetahuan tetap dilakukan oleh masyarakat.

Bila akses internet tidak dalam rangka tersebut, maka akan sangat memprihatinkan, apalagi bila internet hanya sebagai sarana untuk mencari hiburan.

Pada bulan Maret tahun 2016, sebuah riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State University menempatkan Indonesia diperingkat 60 dari 61 negara soal minat membaca. Kondisi yang cukup memprihatinkan.

Saat ini informasi begitu bertaburan di internet, baik yang sahih maupun hoax. Maka perlu kehati-hatian dalam menyerap semua informasi. Tidak seperti buku yang relatif lebih dijamin kesahihannya, informasi internet tidak semua sahih. Mungkin di sini letak kelebihan buku.

Pada sebuah buku ada penulis, ada editor, kadang ada kata pengantar dari seorang profesional atau juga ada sambutan dari penerbit. Artinya, buku sebelum dicetak harus melalui proses yang relatif panjang.

Kelebihan lain dari buku adalah kualitas. Tidak sembarang tulisan bisa dicetak dalam sebuah buku yang akhirnya bisa dibaca oleh banyak orang. Tulisan tersebut harus benar-benar bermutu dan mempunyai nilai.

Bila tulisan berupa sastra seperti novel tentu ada kelebihan misal dari alur cerita, pemilihan kata atau dari segi seni sastra yang lain. Sedangkan bila buku non fiksi tentu ada pembahasan materi yang mendalam sebelum dipublikasikan.

Sedangkan pada internet, selain web resmi milik suatu kantor, majalah atau koran, juga terdapat web yang dikelola perorangan atau kelompok yang belum tentu terkontrol secara mendalam isinya, terutama tentang kesahihan informasinya.

Belum lagi informasi di media sosial, dimana setiap orang bisa menulis dan mengunggahnya untuk dibaca orang lain. Artinya, diperlukan daya nalar yang lebih tinggi ketika menyerap informasi dari internet dibandingkan informasi dari sebuah buku.

Pada beberapa kasus, membaca buku relatif lebih menarik karena lebih nyaman di mata. Efek radiasi dari gadget kadang membuat mata terasa lebih cepat lelah. Keuntungan lain dari buku adalah bisa dibawa ke mana saja walau ke daerah tanpa sinyal, misal ke daerah pelosok atau di dalam pesawat terbang. Tak heran saat ini masih terdapat komunitas yang masih mencintai buku.

Untuk beberapa orang, buku bisa menjadi sebuah maha karya. Seseorang bisa dikenal publik lewat buku yang ditulisnya. Pada zaman Balai Pustaka, banyak buku sastra yang dihasilkan oleh penulis-penulis dari tanah Sumatera, seperti Marah Rusli, Merari Siregar, Abdul Muis dan lain-lain. Lalu di zaman ini muncul juga penulis buku seperti Andrea Hirata, Tere Liye dan lain-lain. Begitu banyak sosok yang terkenal karena karyanya menulis buku.

Pada tanggal 17 Mei diperingati sebagai Hari Buku Nasional. Tujuan dari peringatan ini adalah untuk memacu minat baca masyarakat Indonesia dan meningkatkan penjualan buku.

Begitu banyak informasi yang telah dibagikan melalui buku. Perjalanan sejarah umat manusia tidak bisa lepas dari buku. Begitu besar jasa buku dalam kehidupan ini.

Seiring perubahan zaman, perubahan teknologi, mungkin buku mulai ditinggalkan namun semangat membaca harus terus ditingkatkan. Selamat Hari Buku Nasional.*** 

Joko Prayitno adalah Statistik Ahli Madya pada BPS Provinsi Riau.