TELUK KUANTAN - Masyarakat Desa Marsawa, Kecamatan Sentajo Raya, Kuansing mengeluhkan kondisi bendungan Balai Benih Ikan (BBI) yang kini airnya tidak jernih lagi, sehingga lokasi ini pun menjadi sepi pengunjung.

Hal ini dikarenakan dampak dari aktivitas Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) atau biasa disebut 'dompeng' oleh masyarakat Marsawa. Akibatnya, air bendungan BBI menjadi tercemar dan tak layak pakai lagi.

"Dulu bendungan ini menjadi tempat wisata yang menarik karena airnya jernih. Selain itu, bendungan juga menjadi tempat masyarakat memenuhi kebutuhan air ketika kemarau tiba, kadang untuk diminum kadang cuma untuk mandi saja, sekarang masyarakat harus bermimpi mengulang itu kembali," ujar Tokoh Pemuda Setempat, Aji Nur Sahid, Senin (3/8/2020).

GoRiau Masyarakat saat mendatangi kan
Masyarakat saat mendatangi kantor desa untuk meminta solusi.

Bendungan Teso atau yang lebih akrab disebut Bendungan WK ini, jelas Aji, merupakan aset yang dibangun Pemerintah Pusat melalui Balai Wilayah Sungai Sumatra III tahun 1982.

"Dulu bendungan WK ini sangat indah, baik dari segi kualitas air hingga lingkungan sekitarnya. Ini juga menggerakkan roda perekonomian masyarakat, mulai dari petani ikan, wisatawan, pedagang, nelayan dan lainnya. Semuanya rusak karena aktivitas PETI ini," ujar Aji.

Ditambahkan Aji, akibat dari aktivitas PETI ini banyak bibit-bibit ikan yang mati. Padahal dibawah BBI Teso ini ada tempat pembibitan ikan milik Pemda setempat, tentunya ini harus menjadi perhatian semua pihak.

Hal tersebut diduga karena air sudah tercemar air raksa akibat aktivitas PETI, dimana tanah menggembur hingga berlumpur, dan air berbau, sehingga tersisa hanya ikan yang mampu hidup di air keruh.

GoRiau Masyarakat desa saat melakukan
Masyarakat desa saat melakukan 'sweeping' ke lokasi PETI dan kemudian mengamankan alat tambang.

Adapun kondisi ikan yang mati, berdasarkan pengamatannya, kondisi mata ikan membengkak atau mengalami kebutaan, insangnya penuh dengan lumpur, dan perut menggembung.

"Kondisi biota atau tumbuhan sungai juga memprihatinkan, rumput tempat hidup biota sungai musnah, dasar sungai berpalung-palung, dan volume air naik juga tidak dapat diprediksi lagi," tambahnya.

Lebih jauh, Aji juga khawatir jika aktivitas PETI ini tidak dihentikan, maka kondisi akan semakin parah. Ia mencontohkan, kondisi besi-besi bangunan bendungan sudah mulai terkikis akibat tercemar air raksa.

"Tanah jadi tandus dan gersang, pintu air bendungan jadi tersumbat, dan masyarakat juga tidak bisa mencari kehidupan di bendungan ini," tutupnya.

Sementara itu, Kepala Desa Mersawa, Mukhtar, membenarkan bahwa masyarakat Mersawa mengeluhkan kondisi air yang terkena dampak dari aktivitas PETI ini.

Tapi, lanjutnya, keluhan ini sudah ditanggapi oleh pihak kepolisian dan personel kepolisian juga sudah turun ke lapangan untuk mengentikan aktivitas PETI ini.

Pihak desa juga sudah meminta supaya pihak terkait menjernihkan kembali air di bendungan WK ini, supaya bisa dimanfaatkan seperti sedia kala.

"Aktivitas PETI itu kan sudah lama disana, sebetulnya tak terlalu marak seperti dulu-dulu, sekarang paling banyak ya bisa dihitung jari lah," tuturnya.

Aktivitas PETI ini, kata Mukhtar, bukan berada di wilayah pemerintahannya melainkan dari daerah lain yang berada di luar kecamatan Sentajo Raya, yakni Kecamatan Kuantan Tengah.

Terkait ikan yang mati diduga akibat keracunan air raksa, menurut Mukhtar kondisi pencemaran air belum sampai ke tahap itu. Namun, memang ada kekhawatiran di tengah masyarakat ke arah sana.

GoRiau Kondisi ikan yang diduga mati
Kondisi ikan yang diduga mati akibat tercemar air raksa.

"Iya memang dikhawatirkan, kalau air tak jernih lagi bakal banyak ikan yang mati dan petani ikan jadi rugi. Tapi sekarang belum sampai kesana lah. Kami sudah kesana sama kawan-kawan dari BBI. Kalaupun ada yang mati mungkin karena cuaca, kan disini panas hujan panas hujan. Masih wajar lah," pungkasnya. ***