JAKARTA - Seorang petani dari Provinsi Riau, Suryono, menjadi salah satu pembicara di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Perubahan Iklim atau COP-22, di Maroko. Suryono berbicara sebagai petani yang sukses beralih dari praktik pertanian yang mendegradasi lingkungan ke pengelolaan lahan hutan berkelanjutan.

''Perasaan saya sangat bangga karena petani kecil seperti saya, bisa didengar di luar negeri. Semoga apa yang saya lakukan bisa jadi contoh orang lain," kata Suryono, Rabu (9/11/2016).

Dia diundang menjadi salah satu pembicara dalam satu sesi COP-22 dengan topik Putting People at the Centre-Climate Friendly Forest Based Livelihood, di Paviliun Indonesia, Bab Ighli Marrakesh, Maroko, Senin (7/11) pukul 16.00 waktu setempat.

Dai berada di satu panggung bersama Amy Duchelle perwakilan dari Center for International Forestry Research (CIFOR), Koordinator Indonesia untuk ICRAF-CGIAR Sonya Dewi, dan Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Hadi Daryanto.

''Cita-cita saya berbicara di sini (forum dunia) adalah menjadi inspirasi bagi petani lain. Saya ingin mmenegaskan mengelola lahan dengan cocok tanam jauh lebih bermanfaat dibanding apa yang saya lakukan dulu,'' kata dia.

Pria kelahiran Medan, Sumatera Utara, 1975, ini dinilai menjadi contoh petani yang berhasi memitigasi perubahan iklim dengan bertani holtikultura, menjadi informan titik api, dan turut andil menjaga lingkungan serta mencegah tejadinya kebakaran lahan dan hutan.

Suryono mengisahkan perjalanan hidupnya yang beralih dari petani kelapa sawit menjadi petani holtikultura. Dari kampung halamannya di Medan, dia merantau ke Dusun Sukajaya Kampung Pinang Sebatang Barat, Kecamatan Tualang, Kabupaten Siak, pada 2000 hingga sekarang. Di sana dia tinggal bersama istri dan tiga orang anak.

Pekerjaan awalnya sejak 2000 adalah bercocok tanam kelapa sawit di Kecamatan Tualang, Kabupaten Siak. Kemudian, Suryono pada 2013 menyadari bertani hortikultura lebih menguntungkan ketimbang sawit. Dia mengambil keputusan nekat dengan menumbangkan seluruh tanaman sawit di kebun dua hektare miliknya dan menggantinya dengan tanaman holtikultura.

Beberapa jenis sayuran yang mulai ditanam Suryono antara lain kangkung, bayam, cabai, melon, semangka, kacang panjang, timun, pepaya, dan jagung. Banyak orang menduga dia sudah gila karena dalam benak masyarakat setempat, menanam sayuran tidak menguntungkan.

Dia mengakui, awalnya, memang tidak mudah ketika masuk ke pasar tradisional, karena harus berhadapan dengan para tengkulak, yang sudah lama beroperasi untuk memasok komoditas itu dari Pekanbaru. Namun, kerja keras Suryono mulai membuahkan hasil setelah berjualan sekitar satu tahun, sehingga banyak petani yang mulai mengikuti langkahnya untuk menanam sayuran dan menjualnya langsung ke pasar.

Ketika menjadi petani sawit dengan lahan dua hektare, Suryono mampu meraih penghasilan maksimal sekitar Rp 2-3 juta per bulan. Namun, kini dengan mengolah lahan setengah hektare untuk ditanami sayuran, dia berhasil meraup penghasilan sekitar Rp 15 juta per bulan. Bahkan, pada lahan yang sama itu, Suryono bisa mempekerjakan sembilan orang warga setempat. ***