DHAKA - Pemerintah Bangladesh akan merelokasi 6.000 hingga 7.000 pengungsi Muslim Rohingya ke Pulau Bhashan Char di Teluk Benggala. Padahal, pulau tersebut dinilai tidak layak huni.

Dikutip dari republika.co.id, Komisioner Pengungsi Bangladesh Mahbub Alam mengatakan, para pengungsi telah bersedia direlokasi ke pulau Bhashan Char.

''Sekitar 6.000 hingga 7.000 pengungsi menyatakan keinginan mereka dipindahkan ke Bhashan Char,'' ujarnya, dikutip Aljazirah, Ahad (20/10).

Namun dia tak mengungkapkan kapan proses relokasi akan dilakukan. Namun, seorang perwira senior Angkatan Laut Bangladesh yang terlibat dalam pembangunan fasilitas di Bhashan Char mengatakan pemindahan dapat dimulai pada Desember mendatang.

Nur Hossain (50 tahun) adalah salah satu pengungsi Rohingya yang bersedia direlokasi ke Bhashan Char. Keputusan itu diambilnya setelah diperlihatkan rekaman video yang menunjukkan bagaimana fasilitas penampungan di pulau tersebut.

''Saya setuju pergi. Kamp di sini (di Leda) sangat padat. Ada masalah pangan dan perumahan,'' kata Hossain.

Namun, kelompok-kelompok hak asasi manusia telah memperingatkan tentang risiko pemindahan para pengungsi ke Bhashan Char. Mereka menilai pulau itu rentan dan tak mampu menahan terjangan badai.

Seorang warga yang tinggal di Pulau Haitya, yang lokasinya dekat dengan Bhashan Char mengatakan, pulau yang akan dijadikan tempat penampungan pengungsi Rohingya itu memang tak layak huni. ''Sebagian pulau terkikis oleh musim hujan setiap tahun. Pada waktu itu, kami tidak pernah berani pergi ke pulau tersebut. Jadi bagaimana ribuan Rohingya akan tinggal di sana,'' ujarnya.

Terkait hal itu, Mahbub Alam mengatakan infrastruktur keselamatan telah dibangun di Bhashan Char, mencakup tanggul setinggi tiga meter di sepanjang garis pembatasnya untuk mencegah gelombang pasang selama badai. Bangladesh juga telah membangun gudang untuk menyimpan ransum berbulan-bulan.

Belum ada komentar dari PBB mengenai rencana relokasi ribuan pengungsi Rohingya ke Bhashan Char. Saat berpidato di sidang Majelis Umum PBB pada September lalu, Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina menyinggung tentang krisis Rohingya.

Menurutnya, penyelesaian masalah dan krisis Rohingya memang sangat bergantung pada Myanmar. ''Myanmar harus mewujudkan kemauan politik yang jelas untuk kembalinya (pengungsi) Rohingya yang aman, berkelanjutan, dan bermartabat,'' ucap Hasina.

Dia mengusulkan empat poin untuk menyelesaikan krisis Rohingya dan mempercepat proses repatriasi. Hal itu termasuk pencabutan Undang-Undang (UU) Kewarganegaraan Myanmar tahun 1982. UU itu diketahui menyisihkan Rohingya sebagai warga negara sehingga mereka yang kini mengungsi di Bangladesh tak memiliki keyakinan untuk kembali ke kampungnya.

Hasina pun mengusulkan agar otoritas Myanmar mengajak perwakilan pengungsi Rohingya untuk mengunjungi dan berkeliling Rakhine. Hal itu dilakukan dengan pendampingan perwakilan lembaga internasional. Dengan demikian para pengungsi memiliki penilaian sendiri apakah mereka aman untuk kembali atau tidak.

Dia berpendapat hingga saat ini Myanmar masih gagal menciptakan lingkungan yang kondusif di Rakhine. ''Sampai sekarang tidak ada satu pun Rohingya yang kembali ke negara asalnya karena kegagalan Myanmar mengembangkan lingkungan yang aman dan sehat di Rakhine,'' ujar Hasina.

Pada Agustus 2017, lebih dari 700 ribu orang Rohingya melarikan diri dari Rakhine dan mengungsi ke Bangladesh. Hal itu terjadi setelah militer Myanmar melakukan operasi brutal untuk menangkap gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA).***