JAKARTA - Pengamat terorisme, Mardigu Wowiek Prasantyo, menilai tepat keputusan pemerintah tak pulangkan ISIS eks. WNI agar Republik Indonesia tak bernasib sama dengan Negara Troya.

Langkah Presiden Jokowi yang tak lagi mengakui mereka sebagai WNI pun, dinilai sudah tepat berdasarkan peraturan yang ada. Kepada wartawan, Sabtu (15/2/2020), Mardigu menyinggung Patriot Act Amerika dan Kebijakan Anti Radikalisme Inggris sebagai aturan internasional yang mengena untuk hal ini.

Di dalam negeri, Republik Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 yang membuat para Eks ISIS itu memang layak kehilangan status WNInya. Pasal 23 butir (d) UU tersebut mengamanatkan, WNI kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan, "masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin dahulu dari Presiden,".

Tapi, amanat UU itu, menurut Mardigu, tak bisa berlaku untuk mereka yang berada di dalam negara Indonesia. Padahal, jumlah mereka yang anti pada Negara Kesatuan Republik Indonesia, juga disinyalir tak sedikit; jauh lebih besar dari 689 orang ISIS Eks. WNI yang ada di luar negeri.

"Dulu tahun 2004 kami survey kekuatan mereka 100.000an (orang/jiwa), sekarang isi ceramah mesjid 35% 'keras' dan mendukung kilafah. Jadi kisaran 5 jutaan (orang/jiwa) ada jumlahnya. Mulai dari yang ikut-ikutan, sampai yang promotor di panggung, 2000-5000an orang 'disebut ustad, dll'" kata Mardigu.

"Pemahaman anti Pancasila ini cair, beragam bentuknya. Tapi cirinya satu; 'ke arab-araban'" ujar Mardigu.

Mardigu menjelaskan, ancaman kelompok mereka di dalam negeri jelas masih ada meski tak sekuat masa dahulu seiring melemahnya kekuatan ISIS. Melemahnya ISIS, juga melemahkan penyebaran doktrin mereka yang disebut-sebut juga menggunakan jalur digital.

"5-3 tahun lalu kenceng, sekarang ISIS sudah lemah. Jadi, doktrin via digital sudah bukan dari mereka lagi," pungkas Mardigu.***