PEKANBARU, GORIAU.COM - Menjadi jaksa penuntut umum (JPU) ternyata tidak mudah. Apalagi untuk memahami kasus-kasus yang spesifik. Jika tak memahami persoalan, bisa terjadi seperti peristiwa di sidang dugaan korupsi vaksin meningitis jemaah Umroh Provinsi Riau tahun 2012 yang digelar Pengadilan Tipikor Pekanbaru, Kamis (e4/10/2013).

Pada sidang terdakwa Kepala Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Bandara Sultan Syarif Kasim II (SSK II) Pekanbaru Iskandar mengatakan jaksa penuntut umum tidak memahami persoalan dan tidak bisa membedakan vaksin untuk kekebalan tubuh.

Pernyataan itu disampaikan Iskadar usai mendengarkan tanggapan JPU. Iskardar menganggap kinerja Jaksa Penuntut Umum (JPU) lemah, dia mengklaim JPU tidak konsen dalam menangani kasus ini.

''Saya lihat JPU tidak konsen, seakan-akan saya dipersidangan ini dilecehkan,'' sebut terdakwa.

Di depan ketua majelis, Isnurul, SH, MH sebagai hakim ketua, terdakwa juga menerangkan, korupsi vaksin ini adalah kasus korupsi ketebelan tubuh (obat) bukan benda, jadi jangan disamakan dengan kasus lain.

''Untuk itu saya berharap pihak JPU harus banyak membaca dan benar-benar memahami masalah dengan baik, Kalau tidak PN ini bisa di remehkan oleh kasus-kasus yang lain,'' ujarnya dengan nada keras.

Seperti diketahui, dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ibrahim Sitompul, SH, disebutkan bahwa perbuatan terdakwa dilakukan antara bulan Januari 2011 sampai Desember 2011 dan Januari 2012 sampai Juli 2012. Masa itu, KKP Pekanbaru diberi kewenangan memberikan vaksin meningitis bagi setiap calon jamaah umroh. Untuk mendapatkan vaksin itu, terdakwa meminta jemaah membayar dengan harga yang melebihi ketentuan.

Terdakwa Iskandar, melalui Kasi Upaya Kesehatan Lintas Wilayah drg Mariane Donse (tersangka) dan pejabat fungsional dr Suwignyo (juga tersangka, keduanya dituntut dalam berkas terpisah), memaksa jamaah umroh untuk membayar dana vaksin antara Rp200 ribu hingga Rp550 ribu.

Alasan terdakwa meminta bayaran lebih, sebagai upaya anggaran subsidi silang, jika vaksin meningitis itu kosong atau tidak lagi diberikan pemerintah pusat melalui Kementerian Kesehatan.

Kenyataannnya, hal itu hanya upaya terdakwa untuk mendapatkan keuntungan dari dana vaksin yang dibayarkan ribuan jamaah. Berdasarkan hasil audit, negara dirugikan Rp759.300.000.

Atas perbuatannya itu, terdakwa dijerat jaksa dengan pasal berlapis yakni, Pasal 12 huruf e Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi, junto pasal 55 ayat 1 ke KUHP, junto Pasal 64 ayat 1 ke 1 KUHP.

Setelah dr. Iskandar menyampaikan Duplik atas Replik dari JPU, maka majelis hakim menutup persidangan dan dilanjutkan pekan depan dalam agenda mendengarkan putusan dari majelis hakim. ***