JAKARTA - "Ada pasar gelap lah, kalau saya ingin katakan, sebelum mendapat dukungan dari sebuah Partai," kata Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Saan Mustofa secara virtual dalam diskusi bertajuk 'UU Pilkada dan Kekhawatiran Menguatnya Dinasti Politik', Selasa (28/7/2020).

Hal tersebut, dijelaskan Saan, semakin memperberat seseorang yang ingin mencalonkan diri dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) untuk mendapatkan dukungan politik yang disyaratkan, karena kuatnya peran konglomerasi politik. Karenanya, Ia menyarakan agar ambang batas pencalonan Kepala Daerah dikurangi menjadi 10 persen.

"Ke depan, UU Pilkada ini ramah bagi calon-calon kepala daerah yang punya rekam politik yang memadai, kompetensi, dan komitmen terhadap demokrasi dan kepentingan masyarakat," kata Saan.

Senada dengan Saan, Anggota Komisi II fraksi PKS DPR RI, Mardani Ali Sera juga menyatakan, pihaknya mengajukan agar syarat ambang batas dikurangi menjadi 5 persen atau maksimal 10 persen.

Mardani menegaskan buruknya politik dinasti sebagai bagian dari residu demokrasi. Menurut Mardani, penting dibuka kekebasan bagi masyarakat untuk mencalonkan diri dalam Pilkada, meski tentu harus dipertimbangkan juga pengalaman politik setiap calon dalam partai politik atau aktifitas mengurus kepentingan masyarakat di wilayahnya.

"Kita minta Pilkada dan Pilpres turun Thresholdnya, 5 persen. Maksimal 10 persen kursi, atau 15 persen suara," kata Mardani.

Menurunkan ambang batas pencalonan, juga menjadi pandangan Anggota Komisi II fraksi Golkar, Zulfikar Arse Sadikin. Zulfikar bahkan meminta agar syarat ambang batas dihapus, guna membuka seluas-luasnya peluang bagi setiap/segala warga negara Indonesia untuk memcalonkan diri dalam Pilkada sebagaimana amanat UUD.

Adapun mengenai politik dinasti, Zulfikar berpandangan, hal itu tak menjadi soal. Lagi-lagi, karena UUD mengamatkan memang membuka seluas-luasnya kesempatan.

Turut hadir secara fisik dalan diskusi yang berlangsung di Media Center DPR RI, Senayan, Jakarta itu, Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini. Ia menyatakan, politik dinasti atau politik kekerabatan dalam konteks destruktif sebagai bagian dari upaya pihak tertentu untuk melanggengkan kekuasaan.

Dan, jika poltik dinasti kadung terjadi di Pilkada 2020, maka hal yang semoga bisa dilakukan adalah membuka seluas-luasnya akses informasi terkait calon kepada masyarakat pemilih. KPU, diharap bisa memfasilitasi hal ini.

Dan mengenai revisi UU Pilkada yang saat ini tengah berproses bersama-sama dengan revisi UU Pemilu, diharap Titi, juga memuat ketentuan hukum yang tegas atas segala bentuk politik uang, termasuk apa yang disebut Saan sebagai 'pasar gelap'.***