JAKARTA - Pansus Papua DPD, mendesak Menkopolhukam dan Jajarannya untuk membeberkan kepada masyarakat secara kongkrit terkait peristiwa 19 Agustus 2019 serta peristiwa pengungsi di Kabupaten Nduga Papua dan persoalan-persoaan HAM.

Desakan ini diungkapkan Ketua Pansus Papua DPD RI, Dr. Filep Wamafma, Senin (25/11/20129) di Jakarta. "Pasca peristiwa rasisme yang berdampak pada kerusuhan di Papua maupun Papua Barat juga merupakan suatu akar masalah yang membutuhkan keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang masih tersirat dalam hati orang asli Papua. Kami minta Menkopulhukam bisa menjelaskannya," ujarnya.

Kehidupan kebhinekaan dan kerukunan hidup bersama yang telah terbangun dengan baik di tanah Papua kata Dia, semakin hilang dengan terciptanya rasa kebencian bahkan permusuhan antar anak bangsa.

"Khusus untuk Kasus Nduga dan Wamena kami berharap adanya ruang dan kenyamanan khususnya bagi para pengungsi. Saya berharap ada tindakan-tindakan nyata agar masyarakat di Kabupaten Nduga khususnya Pengungsi tidak menjadi korban serta dapat merayakan Natal dan Tahun Baru dikampung halamannya," ujarnya.

Meskipun persoalan rasisme, pelanggaran HAM di tanah Papua, soal penyelesaian kasus dugaan pelanggaran masa lalu (Wasior 2001 dan Wamena 2003 yang berkas perkaranya telah dikembalikan pada tanggal 27 November 2018 lalu oleh mantan Jaksa Agung M.Prasetyo belum selesai, namun menurutnya Pemerintah pusat justeru menciptakan isu-isu baru seperti pemekaran yang berdampak pada timbulnya konflik suku, antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten Kota.

"Ide pemekaran ini sesungguhnya tidak menyelesaikan persoalan tetapi justru menciptakan persoalan baru," sesalnya.

Pemerintah kata Dia, seolah-olah tidak dapat menciptakan konsep dan solusi sehingga yang menjadi korban dari konfilik tersebut adalah rakyat yang tidak berdosa.

"Suatu kerinduan dan keinginan dari rakyat Papua dalam menciptakan Papua sebagai zona damai yang telah tertanam sejak dahulu. Kini stigma bagi Provinsi papua dan Papua barat adalah sebagai wilayah konflik yang mengakibatkan penambahan pasukan di tanah Papua yang begitu besar yang berdampak pada ketakutan masyarakat Papua," tandasnya.

"Kami tidak ingin adalagai pembungkaman demokrasi dan adanya maklumat tentang kebebasan menyampaikan pendapat dimuka umum kaitan dengan aspirasi yang terkait dengan persoalan politik yang selalu disuarakan baik oleh mahasiswa, elit politik, tokoh Adat, tokoh agama dan pemerhati masalah di tanah Papua dan pelanggaran HAM di tanah Papua," pintanya.

"Kebebasan dalam era demokrasi di negara yang kita cintai ini tidak begitu dirasakan oleh Mahasiswa Papua. Setiap kali menyampaikan aspirasi, mahasiswa selalu dihadapkan dengan intimidasi baik oleh pihak keamanan maupun oleh Ormas reaksional. Bahkan stigma separatis dan makar selalu menjadi dasar bagi aparat penegak hukum dalam mengatasi aksi-aksi Mahasiswa baik di ibukota Negara maupun di seluruh wilayah Indonesia, sebagaimana Kasus Rasisme terhadap Mahasiswa Papua di Asrama Kamasan Surabaya,".

"Peristiwa ini mendapat simpati oleh seluruh masyarakat papua untuk menolak terhadap sikap rasisme dalam kehidupan kebhinekaan dan persatuan kebangsaan. Walaupun demikian aksi-aksi mahasiswa tersebut kemudian ditetapkan oleh penyidik sebagai tindakan “Makar” dan kini Mahasiswa Papua mendapatkan tindakan penahanan dan juga ditetapkan sebagian sebagai DPO. Kami berharap Menkopolhukam dapat melakukan tindakan-tindakan berdasarkan kewenangannya untuk membebaskan seluruh mahasiswa Papua yg ditahan dan melakukan pendekatan dialogis dalam rangka mendengar dan merangkul Mahasiswa Papua sebagai bagian dari generasi masa depan NKRI," pungkasnya.***