JAKARTA - DPR RI dinilai tak memiliki empati, bahkan tengah menari di atas penderitaan rakyat, terutama korban virus corona.

Pasalnya, DPR menunjukkan keegoisan dengan tetap ngotot melanjutkan proses pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja dan Rancangan Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) di tengah pandemi corona menuai kritik dari berbagai kalangan.

Demikian diungkapkan Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Charles Simabura dalam diskusi "DPR Mencuri Kesempatan: Membebaskan Koruptor, Meloloskan Omnibus Law, RUU KUHP dan Pemasyarakatan" melalui layanan live streaming, Minggu (5/4/2020).

"DPR menari di atas penderitaan korban Covid-19. Kenapa kita bilang DPR menari, ya sepertinya memang mereka hanya berpegang kepada apa yang menjadi misi dan gol politik apa yang mereka perjuangkan dari sebelum peristiwa Covid-19 terjadi," ujarnya.

Charles menegaskan, DPR tidak punya kepekaan terhadap kondisi bangsa yang saat ini sedang berjuang melawan pandemi corona. Menurut Charles, dengan kondisi saat ini, fungsi legislasi DPR sudah selayaknya dinonaktifkan terlebih dahulu.

Dengan demikian, DPR dapar fokus membantu pemerintah menghadapi pandemi corona. Apalagi, Presiden sudah menerbitkan Perppu nomor 1 tahun 2020 untuk menanggulangi virus corona.

DPR seharusnya fokus mengawal implementasi Perppu nomor 1 tahun 2020. Selain itu, DPR berkewajiban menindaklanjuti Perppu tersebut untuk disahkan menjadi Undang-undang atau tidak. Sementara, Omnibus Law Cipta Kerja, RUU KUHP dan RUU Pemasyarakatan yang ngotot untuk dibahas DPR saat ini memiliki muatan yang mengundang polemik di masyarakat.

"Apa iya kalau proses legislasi ini dilanjutkan, ini akan menyelesaikan persoalan bangsa hari ini atau justru sebaliknya, ketika proses legislasi ini dilanjutkan malah memperburuk kondisi bangsa kita," katanya.

Charles menyatakan DPR berpotensi melanggar sejumlah asas mengenai pembentukan peraturanperundang-undangan jika tetap ngotot membahas dan mengesahkan Omnibus Law Cipta Kerja, RUU KUHP dan RUU Pemasyarakatan di tengah pandemi corona.

DPR berpotensi melanggar asas kejelasan tujuan pembentukan ketiga RUU tersebut. Ditegaskan, dalam kondisi normal saja, ketiga RUU itu menimbulkan prokontra di tengah masyarakat, apalagi saat kondisi seperti saat ini.

Selain itu, DPR berpotensi dilanggar melanggar asas kedayagunaan. Hal ini lantaran, ketiga RUU itu dibahas saat negara sedang menghadapi Covid-19.

Dikatakan, Omnibus Law, RKUHP, dan Permasyarakatan merupakan produk hukum normal yang dibutuhkan pada saat kehidupan normal kembali.

Sementara saat ini masyarakat membutuhkan kekuatan seluruh elemen bangsa, termasuk DPR melalui fungsi pengawasannya untuk bahu membahu menyelesaikan pandemi corona.***