PEKANBARU - Wakil Ketua DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Riau, Hardianto meminta Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau untuk bisa menjalankan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP).

"Kalau pola kita hanya bergantung pada APBD itu mimpi, saya katakan lagi, mimpi kalau ada pemerintah yang bisa mensejahterakan rakyat Riau, bohong itu, siapapun kepala daerahnya," tegas Politisi Gerindra ini kepada GoRiau.com, Sabtu (13/2/2021).

Hal tersebut disampaikan Hardianto melihat fakta yang ada, dimana APBD Riau relatif menurun, apalagi di masa pandemi Covid-19 ini. Bahkan, di periode 2014-2019 lalu, Hardianto menjumpai besaran di angka Rp 11 T.

"Jangankan untuk bantu masyarakat, hal yang prioritas saja tidak bisa kita biayai, jadi TJSP ini adalah peluang yang ada tak kita manfaatkan selama ini. Kami di DPRD kan bukan eksekutor, dan data-data perusahaan itu ada di pemerintah," terangnya.

Diceritakan Hardianto, memang Perda itu dibuat tidak pada zaman dia menjadi legislator, namun dia mengakui sudah mempelajari Perda itu dan ternyata Perda ini sangat bagus jika realisasikan, mengingat banyak sektor yang bisa dibantu mulai dari peningkatan ekonomi, sosial, pendidikan, agama, hingga infrastruktur.

Perda ini, sambung Hardianto, harusnya bisa menjadi payung bagi kabupaten kota dalam membuat Perda yang sama. Sehingga, perusahaan bisa menyalurkan dana TJSP-nya dengan maksimal dan tepat sasaran.

"Tujuannya, bagaimana keberadaan perusahaan di Riau selain bisa meningkatkan iklim Invetsasi tapi juga harus memberikan manfaat kepada lingkungan masyarakat sekitar usahanya," ujarnya.

Perda ini, jelas Hardianto, mengatur tentang adanya forum TJSP yang diisi oleh beberapa unsur dan dipimpin oleh pemerintah setempat. Kalau di tingkat Provinsi, Gubernur menunjuk orang yang menjadi Ketua Forum.

"Setahu saya, yang baru diaktifkan itu adalah forum TJSP di Kabupaten Bengkalis," tuturnya.

Lebih jauh, Hardianto menerangkan ada tiga sisi yang sangat penting dalam memaksimalkan Perda ini, yang pertama unsur perusahaan, yang kedua adalah pemerintah, dan terakhir masyarakat sekitar.

Perusahaan, jelas Hardianto, harus memiliki kemauan dan itikad baik dalam memberikan anggaran TJSP kepada masyarakat, karena dia paham bahwa itu akan membebani keuangan perusahaan.

"Jadi, banyak oknum perusahaan yang menghindari ini, kita harus fair juga bahwa TJSP ini beban dari perusahaan, tapi ini kan bukan kehendak kita, tapi ini ada regulasi yang mengatur. Artinya, perusahaan tidak hanya mencari untung tapi juga membantu pemerintah dalam mensejahterakan rakyat, ini yang paling rumit," katanya.

Kemudian di sisi pemerintahan, Hardianto menyebut bahwa kepala daerah bertanggungjawab untuk mengkomunikasikan, mengkoordinir, membina dan mengawasi perusahaan dalam merealisasikan TJSP, sekaligus menggaransi bahwa maysarakat berhak menerima dan menikmatinya.

"Dari periode lalu, saya tidak mendengar bahwa ada fokus yang luar biasa dilakukan dari pemerintah untuk tim ini bisa hidup dan merealisasikan ke masyarakat. Sehingga, masyarakat bisa terayomi. Kenyataannya, forum ini banyak yang mati suri atau bahkan tidak ada sama sekali," ulasnya.

Terakhir, di sisi masyarakat, Hardianto melihat bahwa terkadang masyarakat merasa malu, segan dan punya banyak pertimbangan dalam meminta ini. Padahal, Kemendagri sendiri tidak pernah mencabut Perda ini.

"Bagi masyarakat terkategori berhak menerima, mereka harus proaktif, jangan hanya menunggu, karena regulasi ini bisa saja dijadikan bancakan untuk oknum pejabat di tempat masing-masing. Perusahaan kan tidak di audit BPK. Kalau tidak ada pengawasan, ya mereka senang dong," tuturnya.

"Jadi, masyarakat yang berada di kawasan perusahaan dan memang berhak menerima CSR, silahkan buat laporan dan sampaikan ke kami di DPRD Riau atau di DPRD kabupaten kota, karena saya yakin semangat kami sama dengan semangat kawan-kawan di DPRD kabupaten/kota," tutupnya.

Sebelumnya, Meski sudah membuat Peraturan Gubernur (Pergub) tentang Corporation Social Responsibilities (CSR) pada tahun 2015 lalu, ternyata Pemprov Riau hingga hari ini belum menjalan Perda tersebut sesuai harapan awal.

Wakil ketua Komisi III, Karmila Sari, mengatakan Perda tersebut memuat aturan tentang pembentukan Forum Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP), dimana setiap perusahaan yang beroperasi di suatu wilayah wajib melaporkan kontribusinya ke forum tersebut.

"Perda ini kita buat sejak tahun 2012, tahun 2015 sudah turun Pergubnya tapi forumnya belum terbentuk, artinya CSR perusahaan di Riau belum tertib," kata politisi Golkar ini, Minggu, 26 Januari 2020.

Harusnya, ujar Karmila, Pemprov Riau harus memaksimalkan CSR dari perusahaan untuk bisa membangun sejumlah fasilitas bagi masyarakat, di luar realisasi APBD.

Perusahaan, jelas Karmila, wajib memberikan kontribusi terhadap masyarakat sekitar wilayah kerjanya. Namun yang terjadi saat ini banyak perusahaan enggan mengeluarkan dana untuk membangun fasilitas di desa tempat mereka berinvestasi. ***