PEKANBARU - Kelompok teroris biasanya mencari perhatian terhadap media untuk sebisa mungkin mendapatkan penerimaan publik dengan mengusung sensasi sebagai "nilai berita". Nilai berita ini bagi media massa adalah sebuah tuntutan, namun bagi pelaku teroris merupakan sebuah propoganda.

Hal tersebut diungkapkan Sekretaris PWI Riau Eka Putra ST, saat menjadi salah satu narasumber dialog pencegahan radikalisme dan terorisme yang ditaja Polda Riau dengan BNPT dan FKPT Riau, di Hotel Alpha Pekanbaru, Senin (30/11/2015).

Menurut Eka, media massa menerima bentuk simbiosis tersebut demi untuk mengambil gambar atau vidio yang menarik dan menjadi berita-berita yang mengejutkan serta menjadi leading news terhadap kompetitornya. "Pelaku teror ini sangat pandai mengambil waktu atau menggunakan momentum tertentu, memilih lokasi yang dapat dijangkau media massa, dan targetnya adalah kebanyakan pemerintahan sehingga bisa dipantau perkembanganya pasca aksinya melalui media," sambutnya.

Dengan hal tersebut menurutnya media massa sangat berperan untuk memutuskan hubungan simbiosis mutualisme tersebut. "Untuk itu sebagai media dalam menghadapi dan meliput teror, yang pertama kali dilakukan adalah tetap bersikap profesional dan independen," tambahnya.

Dia juga menambahkan, sebagai wartawan selaku peliput dari media massa, harus bertindak sesuai dengan tugas jurnalisme. Seperti memberikan informasi yang layak dan perlu diketahui publik, serta bertanggung jawab atas kebenaran dan mengedepankan kepentingan publik.

"Informasi yang disampaikan media kepublik, harus selalu memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik, jujur, akurat, proposional dan komprehensif," jelasnya.

Supaya benar-benar putus hubungan dengan teroris, media harus cerdas, bukan menulis semua kejadian yang ada, ada beberapa hal yang wajib tidak dipublikasikan ke masyarakat dengan alasan tertentu. "Dengan pengetahuan yang lebih masalah terorisme, media tidak hanya bisa bersikap independen, tapi juga bisa menjelaskan pada masyarakat tentang bahayanya terorisme." jelasnya lagi.

Langkah berikutnya adalah tidak mendramatisir aksi teror secara berlebihan dan membuat pemberitaan yang sensasional.

"Misalnya kejadian bom bali, jangan sampai wartawan berspekulasi tentang siapa dalang teror, dengan mewancarai paranormal atau pakar yang tidak jelas kepakaranya. Namun sebaliknya, media juga harus waspada terhadap kemungkinan manipulasi informasi dan disinfomasi dari berbagai pihak, karena banyak kepentingan politik yang terlibat dalam semua aksi teror yang bisa dimanfaatkan dari media," tukasnya.

Organisasi teror biasanya akan mengundang media untuk melakukan wawancara terhadap tokoh-tokoh mereka sehingga mendapatkan publikasi yang luas. "Jurnalis harus cakap dalam wawancara serta memahami UU Pers/KEJ dan memiliki wawasan kebangsaan. Jadi jurnalis jangan sampai terperangkap dalam empati dan ketertarikan berlebih dalam penyebarab idiologi yang mereka sampaikan," pungkas Eka. ***