JAKARTA -- Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengungkapkan, mahasiswi FIB Universitas Brawijaya (UB) Malang berinisial NWR (NWR) menjadi korban kekerasan seksual selama hampir 2 tahun.

Bahkan saat dalam kondisi hamil, polisi yang menjadi pacar NWR, Bripda Randy Bagus, tetap memaksanya melakukan hubungan seks.

Sebelumnya diberitakan, NWR ditemukan tak bernyawa dekat makam ayahnya di pemakaman umum Desa Japan, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, beberapa hari lalu, sekitar pukul 15.30 WIB. NWR diduga bunuh diri dengan meminum racun. 

''NWR adalah korban kekerasan yang bertumpuk dan berulang-ulang dalam durasi hampir 2 tahun sejak 2019,'' kata Siti Aminah Tardi, selaku Komisioner Komnas Perempuan dalam konferensi pers Komnas Perempuan, Senin (6/12/2021), seperti dikutip dari Kompas.com.

Ami menuturkan, NWR sudah terjebak dalam siklus kekerasan dalam pacaran yang menyebabkan terpapar pada tindak eksploitasi seksual dan pemaksaan aborsi.

Dari penyelidikan polisi, Bripda Randy ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana aborsi atau pasal dengan sengaja menggugurkan kandungan atau mematikan janin. Randy telah memaksa NWR untuk aborsi sebanyak dua kali, yakni pada Maret 2020 dan Agustus 2021.

Saat menghadapi kehamilan yang tidak diinginkan, pacar NWR yang berprofesi sebagai anggota kepolisian memaksanya untuk menggugurkan kehamilan dengan berbagai cara.

''Si pelaku memaksa NWR menggugurkan kehamilannya dengan memaksa meminum pil KB, obat-obatan dan jamu jamuan, bahkan pemaksaan hubungan seksual karena beranggapan sperma akan dapat menggugurkan janin,'' jelas Ami.

Peristiwa pemaksaan aborsi bahkan terjadi hingga dua kali. Pada kali kedua bahkan korban sampai mengalami pendarahan, trombosit berkurang dan jatuh sakit. 

Dalam keterangan korban, pemaksaan aborsi oleh pelaku juga didukung oleh keluarga pelaku yang awalnya menghalangi perkawinan pelaku dengan korban dengan alasan masih ada kakak perempuan pelaku yang belum menikah dan kemudian bahkan menuduh korban sengaja menjebak pelaku agar dinikahi. 

Pelaku juga diketahui memiliki hubungan dengan perempuan lain, namun pelaku bersikeras tidak mau memutuskan hubungan asmaranya dengan korban. 

Disampaikan Ami, kejadian-kejadian ini selain berdampak pada kesehatan fisik, korban juga mengalami gangguan kejiwaan yang hebat. 

''Ia merasa tidak berdaya, dicampakkan, disia-siakan, berkeinginan menyakiti diri sendiri dan didiagnosa obsessive compulsive disorder (OCD) serta gangguan psikosomatik lainnya,'' jelasnya.

Sudah Minta Bantuan

Ami melanjutkan, NWR telah berupaya meminta bantuan untuk menyikapi peristiwa kekerasan yang dialaminya.

Korban telah berkonsultasi dengan dua lembaga bantuan hukum di daerahnya yang menyarankan korban untuk segera melaporkan tindakan pelaku ke Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri.

Juga, dengan mengadukan kasusnya kepada Komnas Perempuan tengah Agustus 2021. Komnas Perempuan berhasil menghubungi NWR pada 10 November untuk memperoleh informasi yang lebih utuh atas peristiwa yang dialami, kondisi dan juga harapannya.

''Sebelumnya, Komnas Perempuan telah berupaya menjangkau korban (melalui) aplikasi whatsapp (WA) dan sempat direspons korban untuk menanyakan prosedur pengaduan. Juga, melalui telpon, tetapi tidak terangkat,'' ceritanya.

Pada saat berhasil dihubungi, korban menyampaikan bahwa ia berharap masih bisa dimediasi dengan pelaku dan orangtuanya, dan membutuhkan pertolongan konseling karena dampak psikologi yang dirasakannya. 

Setelah mendengarkan keterangan korban, Komnas Perempuan kemudian mengeluarkan surat rujukan pada 18 November 2021 kepada P2TP2A Mojokerto. 

''Karena kapasitas psikolog yang terbatas dan jumlah klien yang banyak maka penjangkauan tidak dapat dilakukan sekerap yang dibutuhkan, tetapi juga sudah dilakukan dan dijadwalkan kembali di awal Desember,'' kata dia.

''Berita mengenai korban telah mengakhiri nyawanya menjadi pukulan bagi kita semua, khususnya kami yang berupaya menangani kasus ini,'' tambahnya.

Lebih lanjut, kata Ami, kasus NWR adalah akibat yang sangat memilukan dari situasi lonjakan kasus yang terjadi sepanjang 2020-2021, menyebabkan antrian kasus yang panjang, tetapi jumlah kapasitas psikolog yang terbatas,sehingga sistem untuk penyikapan pengaduan, mulai dari verifikasi kasus, pencarian lembaga rujukan, dan pemberian rekomendasi juga ikut terlambat.

''Situasi lembaga layanan serupa ini jelas merupakan bom waktu terutama di hadapan lonjakan kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual,'' kata dia.

''Keterlambatan dalam membantu NWR adalah pelajaran sangat berharga bagi kita semua,'' imbuhnya.***