Man is by nature a political animal...,” demikian petuah Aristoteles 2300 tahun lampau. Menurutnya, manusia adalah hewan yang berpolitik. Yang dimaksud politik oleh Aristoteles di sini berbeda dengan konteks politik yang kita persepsikan sekarang, seperti pertarungan lobi-lobi di parlemen, atau perebutan kekuasaan antar dua atau lebih kandidat. Secara harfiah, politik berasal dari kata polis (kota). Masyarakat Yunani Kuno membangun kehidupan bersama dalam suatu negara-kota (city-state) yang disebut polis, misalnya Athena dan Sparta. Maka, yang dimaksud dengan hewan berpolitik oleh Aristoteles adalah kecenderungan manusia membangun satu tempat untuk berkumpul dan menjalin hubungan dengan sesamanya.

Dalam sudut pandang ilmu kemasyarakatan kecenderungan manusia untuk berkumpul dan berhubungan dengan sesamanya itu karena didorong oleh perasaan butuh dan aman. Manusia tidak dapat memenuhi kebutuhannya jika tidak berkelompok, dan semakin besar kelompok maka semakin tinggi rasa aman terhadap ancaman dari luar. Kelompok ini – jika kita percaya pada dalil kontrak sosial – pada akhirnya membangun suatu otoritas yang diserahi oleh mereka sendiri sebagian hak-hak mereka, dengan imbalan mereka mendapatkan keamanan. Inilah cikal-bakal negara dan pemerintahan. Kemudian, dalam suatu kelompok akan ada kepentingan yang berbeda-beda yang dapat menghambat tercapainya tujuan bersama. Di sinilah letak raison d’etre kepemimpinan. Esensi kepemimpinan adalah tercapainya tujuan melalui kerja sama kelompok (Blanchard, 1996).

kepemimpinan

Sejarah kepemimpinan hampir setua sejarah manusia itu sendiri. Hal itu karena “kepemimpinan telah dimulai dari awal interaksi manusia,” (Nienaber, 2010:663). Prinsip-prinsip kepemimpinan dapat ditemukan sejak masa Mesir Kuno pada tulisan “Instruction of Ptahhotep” (Bass dan Bass, 2008) tahun 2300 SM. Masalah kepemimpinan muncul baik dalam aspek agama maupun filsafat. Dalam Islam, kepemimpinan berada dalam posisi yang dimuliakan. Sabda Rasulullah S.A.W, “Adilnya seorang raja dalam sehari lebih dicintai oleh Allah daripada ibadah tujuh puluh tahun.” Dalam ranah filsafat ada Lao Tzu (Tao Te Ching) yang menyatakan bahwa pemimpin adalah orang yang memberi keteladanan alih-alih intimidasi dalam membina pengikutnya.

Gary Yukl (1994) dengan definisinya yang cukup melingkupi memberi artian kepemimpinan sebagai proses pemimpin memengaruhi pengikut untuk menafsirkan keadaan, pemilihan tujuan organisasi, pengorganisasian kerja, dan memotivasi pengikut untuk mencapai tujuan organisasi. Artian ini menggambarkan kepemimpinan dalam organisasi. Pengaruh seorang pemimpin kepada bawahan/pengikutnya sangat menentukan kepemimpinannya di organisasi.

Dalam kerangka manajemen, kepemimpinan merupakan salah satu fungsi manajer. Menurut Stoner salah satu tugas dari seorang manajer adalah memikul tanggung jawab (the manager assumes responsibility). Tanggung jawab bersifat inheren dalam kepemimpinan. Ada hadits yang seringkali dikutip ketika berbicara kepemimpinan dan tanggung jawab, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari: 4789). Seorang manajer/pemimpin yang baik selalu bekerja sama dengan bawahannya dan bertanggung jawab atas apa-apa yang dilakukan diri maupun bawahannya.

Kekuasaan

Jika kepemimpinan diibaratkan koin, maka sisi sebelahnya adalah kekuasaan. Konsep kepemimpinan dan kekuasaan memang punya kaitan erat. Karena hal itulah orang seringkali menyamakan kepemimpinan dengan kekuasaan. Tetapi, pada uraian berikutnya kita akan melihat keduanya berbeda.

Di kalangan teoritisi kekuasaan, definisi dari Robert Dahl yang intuitif itu mungkin yang paling terkenal. Menurutnya, kekuasaan seperti yang digambarkannya dengan, “A memiliki kekuatan atas B sejauh ia bisa mendapatkan B untuk melakukan sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan B”. Gambaran ini memperlihatkan bahwa menurut Dahl kekuasaan merupakan kemampuan seseorang untuk memengaruhi pikiran atau tingkah laku orang lain, sehingga orang yang dipengaruhi itu mau melakukan sesuatu yang sebetulnya orang itu enggan melakukannya.

Lalu, apa yang membedakan pengaruh dalam kepemimpinan yang diutarakan oleh Yukl dengan pengaruh dalam kekuasaan oleh Dahl barusan?

Menurut Robbins dan Judge (2007) kepemimpinan memerlukan kesesuaian tujuan. Pengaruh Anda dalam kepemimpinan dapat saja ditanggalkan oleh pengikut jika dia merasa tidak lagi punya kepentingan atau tujuan yang sama dengan Anda. Berbeda dengan kekuasaan yang tidak memerlukan kesesuaian tujuan. Kekuasaan adalah sumber daya. Melalui kekuasaan, seorang pemimpin memiliki kekuatan agar pengikutnya dapat melaksanakan kehendaknya baik dengan kerelaan atau keterpaksaan.

Dalam konteks perundang-undangan, pemerintah mendapatkan kekuasaannya karena untuk menjalankan fungsi negara. Pemerintah adalah institusi yang melaksanakan amanat UUD 1945, yaitu “...menyelenggarakan kesejahteraan umum.” Artinya, pemimpin pemerintahan (eksekutif) menggunakan kekuasaannya tak lain dan tak bukan hanyalah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Kekuasaan yang digunakan dengan tujuan selain dari amanat undang-undang tidak dapat dibenarkan. Kekuasaan Macchiavellian yang hanya bertujuan untuk mengamakan kekuasaan itu sendiri adalah menyimpang dari karakter konstitusi kita. Seperti yang disebutkan tadi, konstitusi bertujuan menyelenggarakan kesejahteraan. Sayangnya, gerak sejarah pemerintahan memperlihatkan hal berbeda. Kekuasaan di tangan beberapa eksekutif digunakan hanya untuk mengakomodir praktik-praktik klientelisme. Makin besar kekuasaan, makin besar pula korupsinya demi keuntungan pribadi dan mitra. Persis yang disampaikan Lord Acton di abad ke- 18, “power tends to corrupt,” kekuasaan cenderung berbuat korupsi.

Saya percaya, ketika masyarakat berkata, “politik itu kotor...” sebenarnya itu refleksi mereka atas praktik-praktik kotor kekuasaan yang dipertontonkan di pemerintahan. Politik itu ilmu. Yang membuat kotor adalah praktisinya. Pembahasan politik begitu luas, dan kekuasaan hanya salah satu dimensinya. Ketika kekuasaan dipermainkan secara brutal, maka masyarakat awam – yang lebih mudah terbawa generalisasi – lebih melihatnya sebagai politik. Anehnya, anggapan ini seolah-olah benar dan dibenarkan. Bagi para penguasa adalah lumrah merebut dan/atau mempertahankan kekuasaan meskipun itu dengan cara kotor.

Otoritas dan legitimasi pemerintahan

Kekuasaan pemerintahan diisi oleh dua hal: otoritas dan legitimasi. Otoritas atau wewenang adalah kekuasaan formal. Kewenangan di pemerintahan didapatkan dari tatanan hukum rasional. Weber menyebutnya sebagai wewenang rasional-legal. Wewenang rasional-legal tidak bersifat ajeg. Ia dapat dicabut kapan saja jika si pemilik wewenang menyalahi aturan, atau melanggar konstitusi. Sifat ini dimaksudkan sebagai perwujudan kedaulatan rakyat. Umumnya, mekanisme pencabutan wewenang ini dapat melalui impeachment (seperti yang pernah dialami Presiden AS Nixon dan Clinton).

Jika otoritas datang dari seperangkat aturan, maka legitimasi muncul dari yang diperintah (rakyat). Menurut Weber agar suatu wewenang dapat dilaksanakan, maka diperlukan legitimasi. Dengan kata lain, wewenang hanya dapat berjalan jika ia memiliki dua pengakuan dari rakyat: pengakuan hak pemerintah untuk memerintah, dan pengakuan kewajiban rakyat untuk menaati perintah. Pemerintahan yang baik akan meningkatkan legitimasi di mata publiknya. Tetapi, jika pemerintahan buruk, legitimasi akan terhapus. Ciri paling jelas hilangnya legitimasi kepemimpinan di pemerintahan misalnya tidak terpilih lagi saat pemilu.

Dalam sejarah pemerintahan Indonesia, seringkali kerapuhan legitimasi diikuti oleh konflik berdarah. Pertama, saat permulaan kejatuhan Presiden Sukarno di tahun 1965, dan tahun-tahun setelahnya yang berdarah-darah. Kedua, lengser keprabonnya Presiden Suharto di tahun 1998.

Kedua kejadian tersebut sebenarnya mengingatkan saya pada kronik-kronik masyarakat Asia Tenggara yang dicatat oleh Anthony Reid dalam bukunya “Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680”. Raja-raja di daerah ‘Tanah di Bawah Angin’ (sebutan untuk kawasan Asia Tenggara) cenderung bertindak absolut. Ketika kawasan Eropa mulai merintis jalan menuju demokrasi dan keterbukaan, sebaliknya, Asia Tenggara mulai tumbuh sebagai daerah tertutup yang dikuasai para tiran. Kerasnya para raja-raja absolut itu dalam menjaga kekuasaannya mungkin terlihat jelas dari catatan seorang Belanda, Van Vliet, di tahun 1640 yang mencatat perkataan Raja Naresuan dari Siam:

Beginilah kalian orang Siam harus diperintah... Kalian adalah rumput di lahan yang subur: makin pendek kalian dipotong, makin bagus kalian bertumbuh. Aku akan menyebar emas di jalan-jalan dan membiarkannya di sana berbulan-bulan. Barangsiapa yang menginginkan emas itu akan mati.

Gaya kepemimpinan otoriter meski terlihat kuat pada dasarnya rapuh dalam legitimasi. Pemerintahan adalah proses yang terjadi dalam hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah. Maka, seorang pemimpin pemerintahan juga perlu menjaga kualitas hubungannya dengan yang diperintah. Dalam negara demokrasi, legitimasi dibentuk oleh rakyat. Pemimpin yang baik tahu benar bagaimana menggunakan wewenangnya dan mendapatkan legitimasi dari masyarakat.

Para pemimpin pemerintahan perlu melihat bahwa ada korelasi kuat antara absolutisme pemerintahan di kawasan Asia Tenggara dengan kemiskinan yang tercipta di kawasan tersebut sejak permulaan abad ke- 18. Sultan Iskandar Muda, yang ditulis oleh Reid (1999: 342) dari catatan Beaulieu tahun 1666, dikenal sebagai sultan yang gemar membunuh ‘orangkaya’ untuk menjaga kekuasaan absolutnya. Masalahnya, para orangkaya ini berasal dari kaum pedagang, yang membawa kemakmuran negeri Aceh dari sektor perdagangan. Tindakan ini menyebabkan berkurangnya porsi perdagangan secara drastis di Aceh sehingga menghilangnya potensi pemasukan bagi Kesultanan Aceh. Reid mencatat pola itu tersebar di banyak wilayah kerajaan/kesultanan di Asia Tenggara. Menciptakan kemiskinan masif di wilayah Asia Tenggara. Di abad modern, kemerosotan ekonomi seringkali menjadi pemicu delegitimasi kekuasaan pemerintah. Hal itu terjadi misalnya pada pemerintahan Jerman (1933), Rumania (1989), dan Indonesia (1998).

Lalu, bagaimana sebenarnya kepemimpinan dan kekuasaan yang ideal dalam pemerintahan? Seperti yang telah disebutkan sebelumnya kekuasaan pemerintahan hanya dijalankan dengan tujuan meraih kemakmuran bersama sebagaimana amanat undang-undang. United Nations Development Programme (UNDP) menjabarkan prinsip pemerintahan bagi negara-negara yang mengakui dirinya demokratis. Prinsip itu terangkum dalam kondisi yang jamak disebut sebagai good governance. Menurut UNDP, ada 9 prinsip yang perlu dijalankan untuk mencapai kondisi pemerintahan yang baik, yaitu 1) partisipasi, 2) kepastian hukum, 3) transparansi, 4) tanggung jawab, 5) konsensus, 6) keadilan, 7) efektivitas dan efisiensi, 8) akuntabilitas, dan 9) visi strategik.

Sumber kekuasaan bagi kepemimpinan pada pemerintahan demokratis dewasa ini adalah legitimasi dan keahlian. Pemimpin pemerintahan diberikan mandat oleh undang-undang sehingga rakyat mematuhinya atas dasar itu. Kemudian, 9 prinsip tadi memerlukan keahlian di bidang pemerintahan, hukum, ekonomi, politik, dan lain sebagainya sehingga rakyat percaya si pemimpin mampu membawa kemakmuran, dan memberikan kepatuhannya atas dasar kepercayaan itu.

Pemimpin pemerintahan perlu sekali melihat dirinya pertama-tama sebagai orang yang diserahi kekuasaan sebagai amanat undang-undang demi mengurus hajat hidup orang banyak. Kedua, meskipun secara samar kekuasaan berpotensi menarik keuntungan bagi dirinya, tidak dibenarkan bagi pemimpin pemerintahan memiliki intensi politik ke arah itu. Inilah yang termaktub dalam etika jabatan. Kepemimpinan dan kekuasaan bukanlah tujuan. Keduanya tidak lebih dari sekadar kendaraan politik untuk mewujudkan cita-cita tertinggi kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu masyarakat adil dan makmur. ***

* Mohammad Ali Dosti adalah seorang PNS Pemkab Pelalawan