JAKARTA -Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengungkap proyek pengelolaan satelit di Kementerian Pertahanan (Kemenhan) yang menyebabkan negara menelan kerugian ratusan miliar rupiah.

Dikutip dari Kompas.com, peristiwa itu terjadi sekitar tahun 2015, ketika RI menyewa satelit dan tak memenuhi kewajiban bayar sesuai nilai sewa.

Hal ini menyebabkan Indonesia digugat di pengadilan arbitrase internasional sehingga harus membayarkan uang sewa dan biaya arbitrase dengan nilai fantastis.

Kasus ini pun kini tengah diselidiki oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan, perkara ini telah diselidiki sejak beberapa tahun lalu dan dalam waktu dekat akan masuk ke tingkat penyidikan.

"Kami sudah melakukan penelitian dan pendalaman atas kasus ini, dan sekarang sudah hampir mengerucut. Insya Allah dalam waktu dekat perkara ini naik ke penyidikan," kata Burhanuddin dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (13/1/2022).

Dikutip dari pemberitaan Kompas.id Mei 2018, Dirjen Kekuatan Pertahanan Kemenhan Bambang Hartawan menjelaskan, kemelut ini berawal ketika tahun 2015 Satelit Garuda milik Indonesia keluar dari orbit. Akibatnya, terjadi kekosongan pada orbit 123 derajat Bujur Timur (BT).

Berdasarkan aturan International Telecommunication Union (ITU), negara yang telah mendapat hak pengelolaan wajib mengisi kembali slot tersebut dengan satelit lain dalam waktu 3 tahun.

Jika tak dipenuhi, hak pengelolaan slot orbit akan gugur dan diberikan ke negara lain.

Merespons hal ini, Presiden Joko Widodo lantas memerintahkan Menteri Pertahanan kala itu, Ryamizard Ryacudu, untuk membenahinya.

“Menhan lalu ditugaskan presiden mengisi kekosongan,” kata Bambang pada 4 Desember 2015.

Pertimbangannya, kategori slot adalah satelit L-band. Hal ini dinilai sangat strategis karena hanya sekitar delapan negara yang punya slot tersebut.

Slot L-band dianggap sangat penting untuk pertahanan karena bisa dipakai pada cuaca apa pun. Selain itu, jumlahnya juga tak banyak.

Kebetulan, ketika itu, ada satelit Artermis milik Avanti Communication Limited yang akan habis bahan bakarnya pada 2019.

Kemenhan pun akhirnya membuat kontrak sewa satelit Artemis dengan biaya sebesar 30 juta dollar AS. Kontrak diteken kendati penggunaan slot orbit 123 derajat BT dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) baru diterbitkan 29 Januari 2016.

Kemenhan juga membuat kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat selama kurun waktu 2015-2016.

Namun, perjalanan kontrak ini tak mulus. Satelit Airbus tak pernah dibayar sehingga kontrak dianggap ditunda.

Pembayaran ke Avanti juga tak sesuai nilai kontrak yang disepakati, sehingga perusahaan itu menarik satelit Artemis dari 123 BT November 2017.

Sementara, Menko Mahfud mengungkap, pada saat melakukan kontrak dengan Avanti, Kemenhan belum memiliki anggaran. Anggaran juga belum tersedia ketika Kemenhan teken kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat.

Pada tahun 2016, kata Mahfud, anggaran telah tersedia tetapi Kemenhan melakukan self blocking.

Atas permasalahan ini, Avanti menggugat Indonesia di London Court of Internasional Arbitration.

Pada 9 Juli 2019, pengadilan arbitrase menjatuhkan putusan yang berakibat negara harus mengeluarkan pembayaran untuk sewa satelit Artemis.

"Biaya arbitrase, biaya konsultan dan biaya filling satelit sebesar ekuivalen Rp 515 miliar," kata Mahfud.

Tak hanya itu, Navayo juga mengajukan tagihan sebesar 16 juta dolar AS kepada Kemenhan.

Terkait perkara ini, Pengadilan Arbitrase Singapura pada 22 Mei 2021 mengeluarkan putusan yang mewajibkan Kemenhan membayar 20.901.209 dollar AS atau setara Rp 314 miliar kepada Navayo.

"Selain keharusan membayar kepada Navayo, Kemhan juga berpotensi ditagih pembayaran oleh Airbus, Detente, Hogan Lovells dan Telesat, sehingga negara bisa mengalami kerugian yang lebih besar lagi," kata Mahfud.***