JAKARTA - Sejumlah pimpinan dan anggota Komite I D bPD RI melakukan kunjungan kerja ke Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) dalam rangka inventarisasi materi RUU Perubahan atas UU nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara.

Rombongan yang dipimpin oleh Wakil Ketua Komite I DPD RI, Fachrul Razi dan Fahira Idris ini diterima oleh Asisten I Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, Raja Ariza di Batam (21/5).

Fokus rombongan Komite I DPD RI ini adalah untuk menyerap aspirasi dan informasi yang diperlukan dari Pemerintah Provinsi Kepri terkait rencana Komite I DPD RI menyusun RUU Perubahan UU 43/2008 tentang Wilayah Negara.

Dalam sambutan pengantarnya dihadapan jajaran Pemprov Kepri, Fachrul Razi yang juga anggota DPD RI daerah pemilihan Provinsi Aceh, menjelaskan, strategi dan kebijakan membangun perbatasan sejauh ini berjalan dengan menggunakan basis dan pendekatan yang bersifat rejim pemerintahan dan cenderung temporer. Komite I DPD RI melihat upaya membangun perbatasan belum menggunakan model pembangunan yang berkelanjutan (sustainability development).

“Kita semua tentu saja masih ingat, di era pemerintahan sebelumnya, ada semangat yang sangat tinggi dan rencana yang kuat untuk menjadikan perbatasan sebagai halaman depan bangsa. Hal itu ditandai dengan dibuatnya Undang–Undang nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara yang didalamnya terkandung amanat untuk membentuk Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP)”, tegas Fachri.

Ketika itu, lanjut Fachrul, BNPP diidentifikasi sebagai sebuah lembaga superbody yang diyakini akan mampu mengentaskan kemiskinan di wilayah perbatasan dan mendorong terealisasinya pembangunan berkelanjutan di wilayah perbatasan.

Fachrul menambahkan, kelahiran dan perkembangan BNPP ternyata tidak mampu merubah wajah dan kondisi perbatasan yang masih saja terisolasi. UU nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara yang didalamnya didominasi oleh pengaturan BNPP layaknya “macan kertas”, yaitu kebijakannya, strateginya dan termasuk undang-undangnya, tidak bisa diimplementasikan.

Menurut Fachrul, Dalam pandangan Komite I DPD RI, masalah implementasi UU Nomor 43 tahun 2008 tidak terlepas dari tumpang tindih regulasi yang ada selama ini.

Polemik kewenangan ini berdampak buruk terhadap kesejahteraan masyarakat perbatasan. Mengacu pada pasal 361 UU nomor 23 tahun 2014, menunjukan bahwa realitas daerah-daerah perbatasan di Indonesia saat ini masih merupakan daerah miskin dan terbelakang.

Hal ini dapat dilihat dari data daerah tertinggal tahun 2015, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 131 Tahun 2015 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2015-2019, yaitu dari 541 kabupaten/kota di seluruh Indonesia terdapat 122 (22,55 persen) kabupaten tertinggal, 20 diantaranya merupakan kabupaten perbatasan (16,4%) dari kabupaten tertinggal.

“Atas dasar realitas kesenjangan sosial, ekonomi, politik, kemananan dan pertahanan di wilayah-wilayah perbatasan itulah, Komite I DPD RI memandang perlunya revisi atas UU nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara," ujarnya.

Wakil Ketua Komite I DPD RI lainnya, Fahira Idris mengatakan, melalui studi empirik yang telah dilakukan Komite I DPD RI sebelumnya, ada 7 isu strategis yang perlu dituangkan kedalam revisi UU Wilayah Negara, antara lain Batas fisik wilayah Negara; Pengawasan Perbatasan; Pengelolaan Wilayah Negara; Tumpang tindih regulasi yang mengatur tentang wilayah negara; Konflik kewenangan; Pengelolaan wilayah negara cenderung dilaksanakan secara sektoral; dan Bias pembagian wilayah Negara.

Fahira lebih lanjut menjelaskan, bagi Komite I DPD RI pentingnya Pemerintah Pusat, Daerah dan Masyarakat berkoordinasi dan berbagi peran dalam tata kelola wilayah negara dan perbatasan. 

Pemerintah pusat perlu menyusun rencana induk pengelolaan kawasan perbatasan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat maupun kewenangan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota. Pemerintah daerah, lanjutnya, mengintegrasikan rencana induk pengelolaan kawasan perbatasan ke dalam  dokumen perencanaan dan anggaran daerah.

Sedangkan peran serta masyarakat adalah membantu pelaksanaan pengamanan wilayah negara dengan melaporakan hal-hal tertentu yang dapat mengancam pertahanan dan keamanan negara,membantu pelaksanaan pengawasan batas negara dgn membantu hal-hal tertentu yang berdampak terhadap kerugian negara (bea) serta membantu pelaksanaan pembangunan ekonomi Kawasan perbatasan dengan pelibatan dalam pengembangan aktivitas ekonomi.

Menanggapi mendesaknya dilakukan reformasi BNPP, Fahira mengatakan, BNPP harus ditingkatkan menjadi Badan Pengelola Wilayah Negara Tata Ruang. Karena itu, tegas Fahira, perlu dipertimbangkan apakah istilah ini akan dipakai karena penamaan ini bisa berarti badan ini mengelola seluruh wilayah Indonesia. “Hal ini perlu definisi lebih jauh”, pungkasnya.

Menanggapi usulan perubahan UU Wilayah Negara ini, Asisten I Pemerintah Provinsi Kepri, Raja Ariza mendukung upaya yang akan dilakukan oleh Komite I DPD RI. Baginya, perubahan UU ini harus mampu berdampak pada anggaran untuk daerah provinsi perbatasan serta merubah pola pikir pemerintah pusat terhadap wilayah perbatasan.

“Sepanjang kami di Kepri ini masih disamakan dengan wilayah darat oleh pemerintah pusat, Kepri tidak akan pernah maju," tegasnya.***