JAKARTA - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva menjadi saksi ahli dalam sidang yang digelar Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP).

Sidang tersebut terkait KPU yang tak meloloskan Oesman Sapta Odang (OSO) dalam pencalonan anggota legislatif Dewan Pimpinan Daerah (DPD RI), padahal dirinya telah memenangkan gugatan di PTUN dan Bawaslu.

Hamdan mengaku, kehadirannya dalam sidang ini bukan untuk membela Bawaslu. Melainkan hanya untuk menyampaikan apa yang ia ketahui tentang ilmu-ilmu atau pengetahuan tentang yang dipersoalkan saat ini.

"Ya saya kira ini adalah proses yang biasa ada pengaduan dari orang merasa dirugikan dan DKPP melakukan sidang. Ini normal saja dalam mekanisme pemilu kita tadi saya diminta sebagai ahli oleh Bawaslu bukan dalam arti saya membela Bawaslu," kata Hamdan di DKPP, Jakarta Pusat, Rabu (13/2).

Menurutnya, banyak orang yang masih salah mengartikan terkait atau tentang putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA) dan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

"Yang mempertentangkan antara satu dan yang lain dan memilih yang mana. Ini adalah sesuatu hal yang putusan MK, putusan MA, putusan PUTN itu adalah wilayah yang berbeda-beda. Putusan MK itu menyangkut court of norm, jadi pengadilan tentang norma, apakah suatu norma UU bertentangan dengan UUD. Jadi putusan MK, putusan yang bersifat memberikan norma yang benar mengenai konstitusi. Jadi level putusan MK norma yang dibuatnya levelnya UU," jelasnya.

"Kemudian pelaksanaannya adalah ada pada organ negara yang melaksanakan norma itu dalam hal ini KPU. KPU membuat PKPU untuk melaksanakan norma yang diputuskan oleh MK. Terhadap implementasi norma, yang dikeluarkan oleh KPU ini, ada yang gugat lagi, karena boleh menurut UU kita yaitu ada yang gugat di MA pengajuan peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU. Nah kita sudah tahu semua, putusan MA itu jelas bahwa sepanjang tidak memberlakukan surut, maka norma yang dikeluarkan oleh KPU itu adalah benar. Artinya apa, kalau dia memberlakukan surut terhadap proses yang sudah ada, itu adalah ilegal norma yang dibuat oleh KPU itu. Jadi ini beda sudah, putusan MK mengenai norma UU, putusan MA menyangkut norma yang dibuat KPU," pungkasnya.

Sebelumnya, KPU tidak meloloskan Oesman dalam pencalonan anggota legislatif Dewan Pimpinan Daerah (DPD RI), padahal dirinya telah memenangkan gugatan di PTUN dan Bawaslu. KPU menolak pencalonan OSO karena Mahkamah Konstitusi (MK) melarang pengurus partai politik maju sebagai calon anggota DPD RI.

Namun OSO menang gugatan di PTUN dan Bawaslu. Kedua lembaga tersebut meminta agar KPU memasukkan nama OSO di DCT, tapi ditolak. Sehingga OSO menggugat kembali ke DKPP karena diyakini komisioner KPU melanggar kode etik.***