JAKARTA, GORIAU.COM - Greenomics Indonesia menuding klaim raksasa Asia Pulp and Paper (APP) untuk menghentikan pembukaan hutan alam tidak lebih dari sebuah pencitraan. Pasalnya, areal konsesi perusahaan tersebut seluas lebih dari 2,5 juta hektare (ha) sudah tak lagi menyisakan hutan alam.

“Klaim APP untuk menghentikan pembukaan hutan alam patut dipertanyakan karena hutan alam di areal konsesi mereka sebenarnya sudah habis,” kata Direktur Eksekutif Greenomics Elfian Effendi di Jakarta, Selasa (5/3/2013).

Laporan yang dirilis Greenomics mengungkapkan, sudah tidak ada lagi hutan alam tersisa di sembilan areal konsesi APP. Lahan yang disiapkan sebagai areal moratorium pembukaan hutan alam seluas 198.841 hektare justru sudah berupa semak belukar dan mayoritas berkonflik dengan masyarakat.

Laporan Geenomics tersebut berjudul “Mengapa Asia Pulp and Paper (APP) direkomendasikan oleh Kementerian Kehutanan Indonesia untuk merevisi APP Sustainability Roadmap 2020 and Beyond?”, dirilis 22 Oktober 2012. Laporan tersebut dibuat berdasarkan hasil analisis spasial yang mengacu pada data deliniasi mikro, rencana kerja usaha (RKU), dan rencana kerja tahunan (RKT) pada masing-masing HTI APP.

Dalam laporan tersebut, Greenomics juga melakukan konfirmasi dengan APP. Dalam pernyataannya, APP menyebutkan, ada areal hutan alam seluas 204 ha berada satu blok, tidak terpencar-pencar, yang terkena kebijakan moratorium. Areal 204 ha itu terdapat di konsesi HTI milik APP, yakni PT Satria Perkasa Agung Unit Merawang.

“Dengan luas izin sembilan HTI milik APP seluas 1.082.934 ha, areal moratorium hutan alam yang benar-benar masih berupa tutupan hutan alam dan berada dalam satu blok hanya 204 ha, tentu klaim moratorium hutan alam terlalu bombastis,” kata Greenomics.

Elfian menilai, laporan tersebut kini sedang diperbaharui merespon komitmen APP untuk menghentikan pembukaan hutan alam terhitung 1 Februari 2013. Namun melihat data yang ada, pihaknya pesimistis laporan pembaruan akan mengungkap hal yang berbeda dengan laporan pertama. Elfian berjanji laporan pembaruan tersebut akan dirilis dalam waktu dekat.

Dia mengingatkan, kawasan lindung seperti sempadan sungai atau lahan dengan kelerengan curam dan areal yang harus dipertahankan sesuai dengan ketentuan deliniasi makro-mikro yang ditetapkan Kementerian Kehutanan tidak selayaknya diklaim sebagai lahan yang terkena kebijakan moratorium pembukaan hutan alam APP.

“Sebab tanpa kebijakan tersebut, areal tersebut sudah pasti tidak boleh dibuka,” kata Elfian.

Temuan Greenomics sama dengan beberapa yang sudah diumumkan oleh Eyes on the Forest pada Juli 2012. Muslim Rasyid, koordinator Jikalahari dan anggota Eyes on the Forest menjelaskan, dari analisis mereka menemukan tidak ada hutan alam yang tersisa untuk diterapkan dalam kebijakan baru APP di Riau. “Kami percaya kebijakan baru APP tidak menawarkan manfaat konservasi untuk hutan di luar Riau sekalipun,” papar dia.

APP mengumumkan penghentian pembukaan hutan alam pada areal konsesi dan seluruh rantai pasokan bahan bakunya pada 5 Februari lalu menyusul dilansirnya dari Sustainability Roadmap APP Visi 2020 yang diluncurkan Juni 2012. Kebijakan tersebut lebih cepat dua tahun dari rencana pelaksanaan pada 2015. (alina musta'idah/bsc)