PEKANBARU, GORIAU.COM - Provinsi Riau masih mengalami defisit daya listrik hingga 277 Megawatt (MW). Sementara kebutuhan akan listrik meningkat setiap tahunnya. Pertumbuhan elektrifikasi di Riau mencapai 14 persen setiap tahunnya.

Untuk saat ini, kebutuhan listrik di Riau sebesar 592 MW. Artinya, kapasitas pembangkit yang terpasang baru sebesar 315 MW. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau terus melakukan upaya untuk defisit daya ini.

Salah satu langkah atau solusi jangka menengah dan panjang yang akan dilakukan ada dengan memanfaatkan biomassa dari perkebunan kelapa sawit. Limbah cairnya akan diolah menjadi sumber energi terbarukan.

"Kita akan memanfaatkan biomassa ini untuk penunjang tambahan kebutuhan listrik di Riau. Sementara kita juga masih menunggu realisasi tambahan daya sebesar 35 ribu MW dari Pemerintah Pusat," kata Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Riau (Gubri), H Arsyadjuliandi Rachman.

Wacana pengembangan biomassa menjadi sumber energi ini sudah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo saat kunjungannya ke Riau tahun lalu.

"Saat ini, jumlah pabrik kelapa sawit lebih dari 185 unit. Biomassa dari pabrik ini akan kita manfaatkan untuk memproduksi listrik, terutama memanfaatkan limbah cairnya," ucapnya.

Menurut Plt Gubri, apa yang telah dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau pada tahun 2014 patut dicontoh.

"Misalnya ada 30 ton limbah cair pabrik kelapa sawit bisa memproduksi listrik satu MW. Kalau misalnya ada 100 pabrik kelapa sawit aktif, maka sudah 100 MW bisa dihasilkan. Kita bisa bantu untuk listrik penerangan bagi masyarakat di Riau," katanya.

Pada 2014, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral saat itu Susilo Siswoutomo meresmikan proyek percontohan pemanfaatan limbah cair sawit untuk pembangkit listrik perdesaan berkapasitas satu MW di Tambusai Utara, Kabupaten Rokan Hulu.

Pembangkit biogas tersebut untuk mengalirkan listrik bagi 1.050 keluarga warga Desa Rantau Sakti, Rokan Hulu, yang hingga saat itu belum mendapat aliran listrik dengan memanfaatkan limbah cair pabrik kelapa sawit.

Kelebihan pembangkit berbasis limbah cair sawit atau Palm Oil Mill Effluent (POME) antara lain pengoperasiannya lebih murah dibandingkan dengan pembangkit bahan bakar minyak (genset diesel atau PLTD).

Potensi penghematan pengalihan pembangkit diesel ke biogas dengan kapasitas satu MW rata-rata mencapai Rp1,6 miliar per bulan atau Rp19,25 miliar per tahun.

Selain itu, pemerintah sedang menyusun regulasi dan insentif melalui mekanisme 'feed in tariff' agar harga listrik dari pembangkit energi baru dan terbarukan lebih kompetitif. Apalagi di Kabupaten Rokan Hulu saja terdapat 29 pabrik kelapa sawit.

Proyek percontohan pembangkit biogas di Rokan Hulu, Riau dibangun menggunakan dana APBN Kementerian ESDM dengan nilai kontrak sebesar Rp28 miliar. Pembangkit listrik itu memanfaatkan gas metana yang dihasilkan oleh POME.

Limbah diolah dalam suatu bak raksasa yang dinamakan 'anaerobic baffled reactor' yang ditutup dengan membran sehingga gas metana yang dikeluarkan bisa terperangkap. Gas ini dialirkan untuk dimurnikan menjadi bahan bakar bagi mesin pembangkit listrik yang dapat menghasilkan listrik untuk kebutuhan masyarakat.***