JAKARTA - Panitia Khusus (Pansus) Papua DPD RI mengunjungi MG, salah satu tersangka kasus pembunuhan karyawan PT. Istaka Karya, di Rumah Tahan Salemba, Jakarta, Rabu (15/1/2020).

MG disangka menjadi otak dalam insiden pilu yang terjadi di Nduga, Papua, pada tahun 2018 lalu.

Anggota Pansus Papua DPD RI, Yorrys Raweyai kepada wartawan mengungkapkan, kunjungannya ke Rutan Salemba ini, menyusul keterangan LBH Jakarta pada pihaknya.

"Tadi malam tim LBH Jakarta menemui Pansus Papua DPD RI menjelaskan proses persidangan enam adik-adik mahasiswa yang dituduh makar, maka kami sekarang mendatangi Rutan Salemba," kata Yorrys.

Dia mengatakan, LBH Jakarta menyampaikan ada masalah dalam kasus yang dialami MG yang sebenarnya masih anak-anak. MG masih berusia 14 tahun.

Dalam kasus ini, MG dituduh sebagai "otak" pembunuhan terhadap 17 karyawan PT. Istaka Karya, di Nduga, Papua yang terjadi pada Desember 2018 lalu.

"Kami sepakat untuk mengunjungi MG di Salemba untuk bisa menggali apa yang sebenarnya terjadi. Prosesnya akan ditindaklanjuti secara formal kepada institusi terkait," kata Yorrys.

Turut serta dalam kunjungan ini, Anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan Papua, Komaruddin Watubun. Ia mengatakan, "yang perlu diperhatikan dalam peradilan kasus MG adalah persoalan bahasa karena yang bersangkutan tidak lancar berbahasa Indonesia dan hanya bisa bahasa lokal,".

Selain itu menurut dia, dalam proses hukumnya, MG dimintai keterangan sambil dipukul menggunalan senjata yang mengenai belakang kepalanya. Komaruddin menegaskan, "hal itu jangan terjadi lagi,".

"Ini urusan sensitif soal Papua, jangan sampai masa lalu yang belum selesai, kemudian muncul masalah baru hanya karena kelalaian kita dalam proses hukum. Karena tujuan proses hukum adalah penegakan keadilan," katanya.

Komaruddin juga menyoroti proses persidangan tersangka kasus dugaan makar yaitu Dano Anes Tabuni dan Ambrosius Mulait. Hakim, disebut tidak mau melanjutkan persidangan karena yang bersangkutan menggunakan koteka, padahal koteka bagi masyarakat Papua merupakan simbol adat.

"Koteka dianggap tidak sopan dan melanggar etika peradilan, itu perlu ditinjau lagi agar tidak menjadi masalah baru," kata dia.

Anggota DPR RI lainnya, Willem Wandik dari fraksi Partai Demokrat menilai, banyak kejanggalan dalam proses penanganan para warga dan mahasiswa Papua yang dituduh makar, yang jumlahnya tujuh orang di Kalimantan Timur dan enam orang di Rutan Salemba.

Dia menilai, para warga dan mahasiswa Papua tersebut berjuang untuk masalah rasisme namun justru dituduh dengan tindakan makar.

"Karena itu kami perannya di bawah Yorrys Raweyai, DPR RI dan DPD RI dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan untuk menegakan sistem ketatanegaraan Indonesia," katanya.***