JAKARTA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo berharap neraca perdagangan Indonesia - Selandia Baru yang selalu defisit dari sisi Indonesia, bisa menuju surplus di 2019 bahkan tahun-tahun kedepannya.

Data Badan Pusat Statistik menunjukan, sejak 2014 defisit selalu terjadi pada Indonesia, dari USD -354,619 juta di 2014, menjadi USD -200,756 juta di 2015, lalu USD -294,361 juta di 2016, kemudian USD -313,764 juta di 2017, serta USD -317,784 juta di 2018.

"Setelah lembaga legislatif memberikan dukungan stabilitas politik terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo, kini tugas Tim Ekonomi Kabinet Indonesia Maju harus fokus bekerja menciptakan stabilitas ekonomi. Sehingga bisa memacu peningkatan produktifitas dan kualitas produk dalam negeri untuk bisa menembus pasar internasional, khususnya ke Selandia Baru yang punya potensi pasar luar biasa," ujar Bamsoet usai menerima Duta Besar Selandia Baru untuk Indonesia, H.E. Mr. Jonathan Austin, di Ruang Kerja Ketua MPR RI, Jakarta, Senin (25/11/19).

Kandidat Ketua Umum Partai Golkar 2019-2024 ini menjelaskan, ekspor Non Migas Indonesia ke Selandia Baru seperti kopi, teh dan rempah-rempah, maupun alat pertanian dan lainnya, sebetulnya sudah menunjukan kemajuan. Data BPS mencatat, di 2016 jumlahnya mencapai USD 357,569 juta, menjadi USD 411,953 juta di 2017, dan USD 486,826 juta di 2018.

"Potensi ekspor non migas ke Selandia Baru tak boleh disia-siakan Tim Ekonomi Kabinet Indonesia Maju. Diversifikasi ekspornya juga masih berpeluang diperluas. Jangan sampai akibat ketidakfokusan Tim Ekonomi, menyebabkan daya saing dan produktifitas nasional Indonesia menurun. Sehingga mengakibatkan Selandia Baru maupun negara tujuan ekspor lainnya mengganti barang-barang produk Indonesia dari negara lain," tutur Bamsoet.

Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini memandang, Tim Ekonomi Kabinet Indonesia Maju juga perlu memahami visi Presiden Joko Widodo untuk mengundang investasi seluasnya guna membuka lapangan pekerjaan baru. Karena itu, perlu adanya pemangkasan regulasi yang menghambat investasi. Legislatif sudah mendukungnya dalam pembahasan Omnibus Law.

"Laporan Doing Business 2020 yang dirilis World Bank menempatkan Selandia Baru di posisi pertama dunia sebagai negara dengan kemudahan bisnis terbaik, dengan skor 86,8 (skala 0-100). Sedangkan Indonesia masih berada stagnan di posisi 73 dengan skor 69,6. Di ASEAN saja, kita masih kalah dari Singapura (peringkat 2 dunia dengan skor 86,2), Malaysia (peringkat 12, skor 81,5), Thailand (peringkat 21, skor 80,1), Brunei Darussalam (peringkat 66, skor 70,1), dan Vietnam (peringkat 70, skor 69,8). Di tahun mendatang, dengan semangat gotong royong dan kebersamaan, peringkat Indonesia harus naik tajam. Tak boleh stagnan apalagi menurun," pungkas Bamsoet.***